Rabu, 14 November 2012

Pengertian "Artha"


ARTHA, SIDDHARTHA & PARAMARTHA
Oleh: Sugi Lanus


Kata artha diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi harta atau arta yang berarti kekayaan (uang di dalamnya). Dikenal luas istilah arta benda yang bermakna berbagai benda kepemilikan. Berkembang pula ungkapan gila harta: mabuk kepayang lupa laut-daratan diperbudak nafsu menimbun kekayaan (duit); dan istilah gila harta sepadang dengan mata duitan, atau dalam ungkapan zaman sekarang kerap disebut matre! Apa sesungguhnya makna kata artha?

ARTHA dalam literatur SANSEKERTA

Dalam literatur Sansekerta, kata artha mengandung makna yang netral. Artha berarti tujuan. Simak saja gelar beliau yang tercerahi meraih kesempurnaan pikiran dalam samadi, beliau yang telah mencapai ke-buddha-an bergelar SIDDHARTHA (siddha+artha). Beliau yang terjapai dan terpenuhi (siddha) tujuannya (artha). Artha dalam konteks siddhartha adalah tujuan mulia kehidupan yaitu pencerahan bathiniah. Tujuan perjalanan sang roh, yaitu tercerahi atau moksa.

Demikian juga artha dalam Catur Purusartha (catur=empat; purusa=manusia, tertinggi; artha=tujuan). Penyusun Catur Purusartha adalah dharma, artha, kama, moksa. Jika digambarkan seekor burung; dharma dan artha berada di satu sayap, dan kama dan moksa adalah sayap lainnya. Ada kewajiban (dharma) dan tujuan (artha), ada getar energi (kama) dan keheningan tertinggi (moksa). Empat variable kehidupan itulah yang menjadi pilar-pilar penyusun dan sekaligus saran pembebasan manusia.

Śrīmad Bhāgavatam, 5.6.17, menyebutkan: parama-puruṣa-artham — bermakna the best of all human achievements. Parama=tertinggi, purusa=manusia, artham=pencapaian. Sebait kutipan itu berbunyi seperti ini: yasyām eva kavaya ātmānam avirataḿ vividha-vṛjina-saḿsāra-paritāpopatapyamānam anusavanaḿ snāpayantas tayaivaparayā nirvṛtyā hy apavargam ātyantikaḿ parama-puruṣārtham api svayam āsāditaḿ no evādriyante bhagavadīyatvenaivaparisamāpta-sarvārthāḥ

[Pelayan Tuhan selalu menyucikan diri dalam pelayanan kebaktian agar terbebas dari berbagai kesengsaraan eksistensi material. Dengan jalan ini, pelayan Tuhan menikmati kebahagiaan tertinggi (parama-puruṣārtham), dan pembebasan dipersonifikasikan(bahkan) datang untuk melayani mereka. Meskipun demikian, mereka tidak menerima layanan tersebut, sekalipun jika ditawarkan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk pelayan Tuhan, pembebasan (mukti) menjadi tidak penting karena mereka telah mencapai mencapaian transendental melalui pelayanan kasih, mereka telah mencapai semua yang diinginkan dan telah melampaui semua keinginan material].

Dalam konteks tersebut artha bukan benda kepemilikan, bukan uang, bukan harta gona-gini atau deposito, tapi sebuah tujuan di jalan dharma untuk mencapai moksa. Ini pula yang menjadi penjelas gelar Sang Buddha, Siddharta Gotama. Siddha+artha, Ga+uttama. Siddha=terjapai-terpenuhi,artha=tujuan, ga=jalan, utama=mulia. Beliau yang tercapai tujuannya di jalan kemuliaan.

SANG HYANG PARAMARTHA

Pemeluk Hindu (di Bali) mewarisi berbagai gelar atau sebutan Tuhan dari khasana Sastra Jawa Kuna, baik dalam kakawin atau kidung. Gelar Tuhan tersebut seperti: Sang Hyang Paramakawi, Sang Hyang Paramatma, Sang Hyang Paramacintya. Oleh penyair periode Jawa Kuna, Tuhan diberi gelar sebagai “Penyair Tertinggi”, Sang Hyang Paramakawi. Sebagai titik renungan dan sekaligus tujuan kehidupan, Tuhan diberi gelar “Tujuan Tertinggi.” Gelar inilah yang kini kita kenal sebagai Sang Hyang Paramartha. Serupa kata artha dalam Purusartha dan Siddharta, kata artha dalam Paramartha dekat dengan kebenaran, keheningan dan kesujatian.

Berikut salah satu kutipan dari naskah klasik Jawa Kuno, lontar Nirartha Prakreta yang dipercaya dikarang oleh Danghyang Nirartha. Beliau memuja yang tertinggi pada pembuka karyanya, sebagai ‘tujuan tertinggi’ (Bhatara Paramartha), sebagai berikut:

‘Santawya ngwah i jon Bhatara Paramarthatyanta rih niskala’. [Mohon maaf pada beliau maha pelindung Paramartha yang bersifat gaib]

Tuhan dalam pembuka sastra kakawin, yang biasanya dipuja dalam manggala (bait pertama atau bait pembuka), menjadi tujuan utama manusia, menjadi tujuan terdalam perenungan seorang kavya (penulis kakawin). Jalinan bahasa dan untaian kisah dalam kakawin diharapkan mengetarkan bathin pembaca, dan tentunya penulisnya sendiri. Menulis kakawin, dan juga membacanya, adalah jalan memasuki getar keindahan sampai akhirnya “memasuki” pintu keindahan dan memahami Dia yang memiliki keindahan tertinggi, Sang Hyang Paramartha (Beliau tujuan tertinggi keberadaan manusia).

Bagi para kawi (penulis karya sastra kakawin), Sang Hyang Paramartha adalah langit keindahan. Horizon kemana kita mesti terbang mengepakkan dua sayap (dwija) terbang melintasi lautan perulangan (samsara), untuk meraih kelahiran ruhaniah (dwijati). Dari dwija (sayap dua) ke dwijati (kelahiran kedua) menuju Paramartha.

Kata artha yang pada awalnya dekat dengan siddharta dan paramartha, tampaknya dalam proses penyerapan kata tersebut ke dalam bahasa Indonesia menjadi harta atau arta, telah kita mengkorupsi maknanya. Kita telah menghempaskannya pada urusan keduniawian. Arta telah menikung dan identik dengan arta benda dan gila harta. Arta tidak lagi berdampingan dengan Sang Hyang Paramartha (Tuhan).

Dalam konteks kekinian, dalam hidup yang senantiasa ‘terhimpit waktu’, barangkali penting untuk menimbang kembali untuk mengembalikan artha dan Paramartha berdamping-dampingan, mungkin dengan demikian kita bisa ber-artha dalam keseimbangan batiniah.

Sumber:
http://berbudaya.com/2011/12/28/artha-siddhartha-paramartha/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar