Senin, 13 Agustus 2012

Pembacaan Weda Saat Upacara


Svadhyaayam sravayet pitrye.
Dharmasastrani caiva hi.
Akhyaananitihasamsca
Puranani khilanica
(Manawadharmasastra III.232).

Artinya: Pada waktu upacara yadnya terutama saat pemujaan leluhur, ia harus menperdengarkan kepada tamu-tamunya ajaran Weda, ketentuan-ketentuan hukum suci, cerita kepahlawanan dan cerita dalam kitab-kitab Purana dan Khila.

Dalam tradisi Hindu di Indonesia pada umumnya dan di Bali khususnya, kita akan menyaksikan pembacaan ajaran-ajaran agama lewat sastra weda. Pembacaan sastra weda itu umunya dalam bentuk kekawin atau prosa yang diambil dari Itihasa dan Purana.

Pembacaan sastra weda bukanlah dilaksanakan berdasarkan adat istiadat belaka, walaupaun hal itu dilakukan sudah mentradisi. Pemahaman yang demikian itu akan menyeret Agama Hindu disebut agama adat. Pembacaan itu sastra weda tidak saja diperdengarkan pada umat penyelenggara upacara yadnya. Namun juga kepada tamu atau sang athiti yadnya. Karena dilakukan secara turun temurun dan tidak pernah dijelaskan sumber ajarannya, akhirnya banyak kegiatan hidup beragama disebut kegiatan adat saja.

Pembacaan sloka atau syair-syair susastra Weda saat ada upacara yadnya secara berulang-ulang, sebenarnya ditegaskan oleh Swami Radhakrishnan dalam komentar terjemahan kitab Chandogya Upanisad III.4.1-2. Dasar penyelenggaraan upacara yadnya itu sebenaranya diambil dari Itihasa dan Purana. Dibacakan cerita-cerita dan ajaran-ajaran yang terkandung dalam Itihasa dan Purana diharapkan nilai-nilai Weda dapat menyusup ke dalam lubuk hati nurani umat yang ikut dalam upacara yadnya tersebut.

Dalam hal ini, sangat patut kita ingatkan bahwa pembacaan sastra weda itu janganlah dianggap hal yang bersifat formal ritual belaka. Yang aktif dalam pembacaan sastra weda itu hanyalah mereka yang membaca dan yang menterjemahkan saja. Sedangkan umat yang ikut dalam yadnya tersebut acuh tak acuh saja. Bahkan, salah satu kabupaten di Bali ada yang menilai membaca sastra Weda hanyalah sebagai pelengkap formal ritual belaka. Pemaknaan pementasan dan pembacaan sastra Hindu pun hampir ditinggalkan. Bayangkan saja, pementasan wayang kulit, topeng, arja, pembacaan kekawin dipentaskan dalam satu arena. Pada hal semuanya itu menceritakan isi dari sastra Weda seperti Itihasa dan Purana. Akibatnya, peserta upacara sama sekali tidak dapat mengikuti apa isi kekawin dan thema ceritra pementasan tersebut. Ada yang berkomentar bahwa hal itu semuanya untuk dipersembahkan kepada yang di niskala saja.

Inti ajaran yang terkandung dalam sastra Weda yang diperdengarkan lewat pembacaan atau pementasan, semestinya diperhatikan umat, mengingat media upacara yadnya itu bukanlah sebagai media agama dalam artian ritual formal belaka. Upacara yadnya memiliki dimensi yang sangat luas sebagai media menanamkan ajaran Agama Hindu secara integral. Inilah hal yang perlu mendapatkan perhatian umat Hindu. Pementasan dan pembacaan sastra Weda itu perlu ditata lebih baik agar tidak sampai kehilangan makna mendasarnya. Sebenarnya, pementasan dan pembacaan itu tidak semata untuk para seniman yang pentas. Namun, lantunan sastra Weda itu harus dimaknai secara benar sesuai dengan petunjuk kitab suci.

Pembacaan sastra Weda itu juga ditekankan dalam kitab Adi Parwa terutama pada upacara Pitra Yadnya saat Narpana Pitra. Dalam kitab Adi Parwa dinyatakan bahwa, pembacaan Mahabharata sampai selesai akan membuat yadnya berjalan sempurna, Sang Pitra suka dan lenyaplah dosa-dosa yang mendengarkannya.

Demikianlah keutamaan makna pembacaan dan penterjemahan sastra Weda baik dalam bentuk kidung maupun kekawin. Pementasan kesenian yang mengangkat ajaran dan cerita sastra Weda tersebut jangan dibiarkan kehilangan makna spiritualnya. Janganlah diganti dengan pementasan yang sekadar membuat ketawa, lebih-lebih lawakan yang berbau porno. Hal itu akan membuat semakin hilangnya nilai pementasan, pembacaan dan penerjemahan satra Weda.

Sumber: Balipost 3 Oktober 2001

4 komentar:

  1. mendengar nama Weda, terbesit di pikiran saya kitab suci agama hindu.
    tetapi kenapa kita dari sekolah dasar (SD) tidak pernah di kenalkan kitab tersebut.
    bagaimana bentuknya, seberapa tebalnya, dimana sekarang disimpang dan banyak pertanyaan2 yg muncul..
    tidak seperti agama lain, yg dari kecil di ajarkan cara membaca & memahami kitab suci nya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Konsep pendakian kesempurnaan Weda melalui sistem pewartaan Itihasa dan Purana dinyatakan dalam kitab Vayu Purana I.201 yang berbahasa Sansekerta: "Hendaknya Veda diwartakan melalui Itihasa dan Purana. Weda takut kalau orang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa orang bodoh itu akan memukulnya". Sejalan dengan sloka Vayu Purana itu adalah Sarasamuscaya 39 dalam penjelasan bahasa Jawa Kunonya persis seperti isi Vayu Purana tersebut. Ini artinya masyarakat yang tidak memiliki kemampuan atau kesempatan mendalami mantram-mantram Weda Sruti dan sloka-sloka Weda Smrti dengan memahami isi Itihasa dan Purana sudah berarti mendalami isi Weda. jadi kesimpulannya, untuk mempelajari Weda itu ada tahapan2 nya agar weda itu tidak sampai membuat orang tersesat dan mungkin membuat orang malah salah arah. Agama Hindu sangat mengedepankan pendidikan ketimuran, mana yg untuk anak kecil, mana yg dewasa, semua ada tahapannya, bukan kebablasan, memang semua pengetahuan bagus untuk diketahui, hanya saja sesuaikan dengan umur dan kemampuan.. sesuatu yang instan belum tentu bagus, bahkan lebih byk efek negatifnya, mungkin seperti itu yg bisa saya berikan penjelasan bli, mari sama2 belajar untuk selalu mengisi diri dengan pengetahuan... hehehe :)
      (pelih koment, kenehe balas komen bli ne.. hehehe)

      Hapus
  2. Konsep pendakian kesempurnaan Weda melalui sistem pewartaan Itihasa dan Purana dinyatakan dalam kitab Vayu Purana I.201 yang berbahasa Sansekerta: "Hendaknya Veda diwartakan melalui Itihasa dan Purana. Weda takut kalau orang bodoh membacanya. Weda berpikir bahwa orang bodoh itu akan memukulnya". Sejalan dengan sloka Vayu Purana itu adalah Sarasamuscaya 39 dalam penjelasan bahasa Jawa Kunonya persis seperti isi Vayu Purana tersebut. Ini artinya masyarakat yang tidak memiliki kemampuan atau kesempatan mendalami mantram-mantram Weda Sruti dan sloka-sloka Weda Smrti dengan memahami isi Itihasa dan Purana sudah berarti mendalami isi Weda. jadi kesimpulannya, untuk mempelajari Weda itu ada tahapan2 nya agar weda itu tidak sampai membuat orang tersesat dan mungkin membuat orang malah salah arah. Agama Hindu sangat mengedepankan pendidikan ketimuran, mana yg untuk anak kecil, mana yg dewasa, semua ada tahapannya, bukan kebablasan, memang semua pengetahuan bagus untuk diketahui, hanya saja sesuaikan dengan umur dan kemampuan.. sesuatu yang instan belum tentu bagus, bahkan lebih byk efek negatifnya, mungkin seperti itu yg bisa saya berikan penjelasan bli, mari sama2 belajar untuk selalu mengisi diri dengan pengetahuan... hehehe :)

    BalasHapus
  3. tetapi jaman sekarang semua sudah serba instan.
    Kalau tidak di imbangi, maka akan ketinggalan jauh.
    seperti iklannya komeng, yang lain makin jauuuh ketinggalan.
    dari beberapa stasiun TV di indonesia, banyak sekali film2 yg berbau agama.
    sangat miris saya liat, anak tetangga malah hapal meniru gaya mereka. seperti salam dan doa2 mereka
    hikz...
    Kapan ya ada lagi film yg berpatokan pada Veda,

    BalasHapus