Sebentar lagi sebagian besar remaja-remaja putri di seluruh belahan dunia akan disibukkan dengan agenda mereka membeli kado dan cokelat. Seluruh toko-toko souvenir dan pernak pernik berbau cinta dan kasih sayang akan dipadati oleh para remaja, demikian pula pedagang cokelat akan ramai diserbu pesanan cokelat cinta pada saat itu. Hari itu adalah tanggal 14 Februari, hari yang sebagian orang lebih dikenal dengan hari Valentine (Valentine Day). Hari Valentine dimaknai sebagai hari kasih sayang, yang lebih sempitnya lagi saat dimana seorang wanita memberikan cokelat atau kado kepada laki-laki yang mereka sayangi, atau yang mereka sukai secara spesial. Hal itu tidak hanya terjadi di luar negeri saja, tetapi di Indonesia pun para remaja tidak kalah antusiasnya merayakan hari tersebut. Semua ini karena pengaruh globalisasi. Globalisasi merupakan tantangan dan sekaligus peluang bagi eksistensi Agama Hindu. Tidak ada satu bangsa atau budaya apapun di belahan dunia ini yang tidak terlepas dari globalisasi atau era kesejagatan yang demikian tampak pesat mendera setiap bangsa. Berbagai produk budaya global telah merambah berbagai aspek kehidupan.
Globalisasi telah menimbulkan semakin tingginya intensitas pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan oleh masyarakat tidak jarang mengalami perubahan karena pengaruh nilai-nilai budaya keresahan psikologis dan krisis identitas di kalangan masyarakat (Ardika, 2005:18). Terlepas dari dampak positif dan negatif globalisasi tersebut, tampak beragam respon masyarakat Hindu, Bali Kususnya. Di satu pihak mereka optimis menghadapi tantangan globalisasi tersebut, di pihak yang lain ada yang sangat pesimis dan khawatir terhadap memudarnya berbagai nilai budaya Bali. Tapi Agama Hindu dan budaya Bali tetap mampu menghadapi budaya global, namun demikian kekhawatiran sebagian masyarakat tentang dampak negatif globalisasi perlu diusahakan jalan untuk mengatasi dan mungkin mencegahnya.
Hal tersebut diatas tidak terlepas dari ajaran Weda, terutama Manawa Dharmasastra sebagai kitab Hukum Hindu yang memberikan petunjuk yang jelas bagaimana kita menghadapi dan mempraktikan dharma dalam kehidupan sehari-hari sesuai tempat dimana kita berada dan sesuai perkembangan jaman. Dalam Manawa Dharmasastra VII.10 disebutkan sebagai berikut:
KARYAM SOVEKSO SAKTIMCA, DESA-KALA-CA TATVATAH,
KURUTE DHARMASSDDHIYARTHAM, VISWARUPAM PUNAH-PUNAH.
Artinya:
Setelah mempertimbangkan sepenuhnya maksud, kekuatan, dan tempat serta waktu , untuk mencapai keadilan ia menjadikan dirinya bermacam wujud, untuk mencapai tujuan keadilan yang sempurna.
Sloka di atas menegaskan bahwa didalam mempraktikan aturan dan ajaran Dharma hendaknya dilaksanakan berdasarkan: Iksa (Tujuan), Sakti (kemampuan), Desa (wilayah), Kala (waktu, perkembangan zaman), Tatva (sastra dan keadaan), untuk menyukseskan tujuan dharma dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini merupakan sebuah jawaban mengapa Hindu Nusantara berbeda dengan Hindu India, dan mengapa pula ajaran Hindu dalam pratiknya selalu menyesuaikan dengan Perkembangan zaman dan sesuai wilayah dimana penganutnya berada.
Berdasarkan petunjuk Weda Smerti (Dharmasastra) di atas, mari kita kaji “Hari Valentine” yang biasa dilaksanakan setiap 14 Februari ini lebih dalam.
A. Sejarah Hari Valentine
1. Perayaan Kesuburan bulan Februari
Asosiasi sebagian orang, menganggap bahwa pertengahan bulan Februari dengan cinta dan kesuburan sudah ada sejak dahulu kala. Menurut tarikh kalender Athena kuno, periode antara pertengahan Januari dengan pertengahan Februari adalah bulan Gamelion, yang dipersembahkan kepada pernikahan suci Dewa Zeus dan Hera.
Di Roma kuno, 15 Februari adalah hari raya Lupercalia, sebuah perayaan Lupercus, dewa kesuburan, yang dilambangkan setengah telanjang dan berpakaian kulit kambing. Sebagai bagian dari ritual penyucian, para pendeta Lupercus menyembahkan korban kambing kepada sang dewa dan kemudian setelah minum anggur, mereka akan lari-lari di jejalanan kota Roma sembari membawa potongan-potongan kulit domba dan menyentuh siapa pun yang mereka jumpai. Terutama wanita-wanita muda akan maju secara sukarela karena percaya bahwa dengan itu mereka akan dikarunia kesuburan dan bisa melahirkan dengan mudah.
2. Hari Raya Gereja
Menurut Ensiklopedi Katolik (Catholic Encyclopaedia 1908), nama Valentinus paling tidak bisa merujuk tiga martir atau santo (orang suci) yang berbeda:
- seorang pastur di Roma
- seorang uskup Interamna (modern Terni)
- seorang martir di provinsi Romawi Africa.
Koneksi antara ketiga martir ini dengan hari raya cinta romantis tidak jelas. Bahkan Paus Gelasius I, pada tahun 496, menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada yang diketahui mengenai martir-martir ini namun hari 14 Februari ditetapkan sebagai hari raya peringatan santo Valentinus. Ada yang mengatakan bahwa Paus Gelasius I sengaja menetapkan hal ini untuk mengungguli hari raya Lupercalia yang dirayakan pada tanggal 15 Februari.
Sisa-sisa kerangka yang digali dari makam Santo Hyppolytus di Via Tibertinus dekat Roma, diidentifikasikan sebagai jenazah St. Valentinus. Kemudian ditaruh dalam sebuah peti emas dan dikirim ke gereja Whitefriar Street Carmelite Church di Dublin, Irlandia. Jenazah ini telah diberikan kepada mereka oleh Paus Gregorius XVI pada 1836. Banyak wisatawan sekarang yang berziarah ke gereja ini pada hari Valentine, di mana peti emas diarak-arak dalam sebuah prosesi khusyuk dan dibawa ke sebuah altar tinggi. Pada hari itu sebuah misa khusus diadakan dan dipersembahkan kepada para muda-mudi dan mereka yang sedang menjalin hubungan cinta.
Hari raya ini dihapus dari kalender gerejawi pada tahun 1969 sebagai bagian dari sebuah usaha yang lebih luas untuk menghapus santo-santa yang asal-muasalnya bisa dipertanyakan dan hanya berbasis legenda saja. Namun pesta ini masih dirayakan pada tempat-tempat tertentu.
3. Valentinius
Guru ilmu Gnostisisme yang berpengaruh Valentinius, adalah seorang calon uskup Roma pada tahun 143. Dalam ajarannya, tempat tidur pelaminan memiliki tempat yang utama dalam versi Cinta Kasih Kristianinya. Penekanannya ini jauh berbeda dengan konsep dalam agama Kristen yang umum. Stephan A. Hoeller, seorang pakar, menyatakan pendapatnya tentang Valentinius mengenai hal ini: “Selain sakramen permandian, penguatan, ekaristi, imamat dan perminyakan, aliran gnosis Valentinius juga secara prominen menekankan dua sakramen agung dan misterius yang dipanggil “penebusan dosa” (apolytrosis) dan “tempat pelaminan”…”
4. Era abad pertengahan
Catatan pertama dihubungkannya hari raya Santo Valentinus dengan cinta romantis adalah pada abad ke-14 di Inggris dan Perancis, di mana dipercayai bahwa 14 Februari adalah hari ketika burung mencari pasangan untuk kawin. Kepercayaan ini ditulis pada karya sang sastrawan Inggris pertengahan ternama Geoffrey Chaucer pada abad ke-14. Ia menulis di cerita Parlement of Foules(Percakapan Burung-Burung) bahwa
For this was sent on Seynt Valentyne’s day (“Untuk inilah dikirim pada hari Santo Valentinus”)
When every foul cometh there to choose his mate (“Saat semua burung datang ke sana untuk memilih pasangannya”)
Pada zaman itu bagi para pencinta sudah lazim untuk bertukaran catatan pada hari ini dan memanggil pasangan mereka “Valentine” mereka. Sebuah kartu Valentine yang berasal dari abad ke-14 konon merupakan bagian dari koleksi pernaskahan British Library di London. Kemungkinan besar banyak legenda-legenda mengenai santo Valentinus diciptakan pada zaman ini. Beberapa di antaranya bercerita bahwa:
- Sore hari sebelum Santo Valentinus akan gugur sebagai martir (orang suci dalam ajaran Katolik), ia menulis sebuah pernyataan cinta kecil yang diberikannya kepada sipir penjaranya yang tertulis, “Dari Valentinusmu”.
- Ketika serdadu Romawi dilarang menikah oleh Kaisar Claudius II, santo Valentinus secara rahasia membantu menikahkan mereka.
Pada kebanyakan versi legenda-legenda ini, 14 Februari dihubungkan dengan keguguran sebagai martir.
5. Hari Valentine pada era modern
Hari Valentine kemungkinan diimpor oleh Amerika Utara dari Britania Raya, negara yang mengkolonisasi daerah tersebut. Di Amerika Serikat kartu Valentine pertama yang diproduksi secara massal dicetak setelah tahun 1847 oleh Esther A. Howland (1828 – 1904) dari Worcester, Massachusetts. Ayahnya memiliki sebuah toko buku dan toko peralatan kantor yang besar dan ia mendapat ilham untuk memproduksi kartu dari sebuah kartu Valentine Inggris yang ia terima. (Semenjak tahun 2001, The Greeting Card Association setiap tahun mengeluarkan penghargaan “Esther Howland Award for a Greeting Card Visionary”.)
B. Tradisi Hari Valentine di negara-negara non-Barat
Di Jepang, Hari Valentine sudah muncul berkat marketing besar-besaran, sebagai hari di mana para wanita memberi para pria yang mereka senangi permen cokelat. Namun hal ini tidaklah dilakukan secara sukarela melainkan menjadi sebuah kewajiban, terutama bagi mereka yang bekerja di kantor-kantor. Mereka memberi cokelat kepada para teman kerja pria mereka, kadangkala dengan biaya besar. Cokelat ini disebut sebagai Giri-choko, dari kata giri (kewajiban) dan choco (cokelat). Lalu berkat usaha marketing lebih lanjut, sebuah hari balasan, disebut “Hari Putih”(White Day) muncul. Pada hari ini (14 Maret), pria yang sudah mendapat cokelat pada hari Valentine diharapkan memberi sesuatu kembali.
Di Taiwan, sebagai tambahan dari Hari Valentine dan Hari Putih, masih ada satu hari raya lainnya yang mirip dengan kedua hari raya ini ditilik dari fungsinya. Namanya adalah “Hari Raya Anak Perempuan” (Qi Xi). Hari ini diadakan pada hari ke-7, bulan ke-7 menurut tarikh kalender kamariyah Tionghoa.
Di Indonesia, budaya bertukaran surat ucapan antar kekasih juga mulai muncul. Budaya ini menjadi budaya populer di kalangan anak muda. Bentuk perayaannya bermacam-macam, mulai dari saling berbagi kasih dengan pasangan, orang tua, orang-orang yang kurang beruntung secara materi, dan mengunjungi panti asuhan di mana mereka sangat membutuhkan kasih sayang dari sesama manusia. Pertokoan dan media (stasiun TV, radio, dan majalah remaja) terutama di kota-kota besar di Indonesia marak mengadakan acara-acara yang berkaitan dengan valentine.
C. Menyikapi Hari Valentine dari sudut Pandang Hindu
Samàno mantraá samitiá samàni
samànam manaá saha cittam eûàm,
samanam mantram abhi mantarey vah,
samanena vo havisa juhomi.
Rgveda X.191.3.
Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah bersama. Satukanlah hati, dan pikiranmu dengan yang lain.Aku anugrahkan pikiran yang sama, dan fasilitas yang sama pula untuk kerukunan hidupmu
Samànì va àkutiá samànà hådayàni vaá,
samànam astu vo mano yathà vaá susahàsati.
Rgveda X.191.4.
Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkan saling pengertian di antara kamu. Dengan demikian engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan
Berdasarkan kutipan Rg Weda di atas sudah sepantasnya kita mempertimbangkan segala sesuatu yang berkaitan dalam kehidupan, baik kehidupan sehari-hari maupun di hari-hari raya serta hari spesial yang mengglobal seperti hari Valentine.
Dari berita-berita yang beredar di internet bahwa “Kota-kota besar di Indonesia pada moment Valentine tahun 2009, penjualan kondom malam Valentine Day terdongkrak tajam dibanding hari biasa. Beberapa di antaranya adalah apotek-apotek yang mengaku bahwa sedikitnya 20 kotak kondom berisi 3 buah merek apapun ludes terjual khusus di malam Valentine Day. Dan ada beberapa apotek yang menegaskan bahwa dalam 24 jam sudah menjual sedikitnya 6 kotak kondom berisi 24 merek dan isi 13 kotak yang dibeli oleh pemuda remaja setiap mendekati pertengahan Februari. Umumnya, pembeli adalah pria berusia 20 tahun’.
Dari kutipan berita diatas dapat disimpulkan bahwa hari Valentine dijadikan ajang “SEKS BEBAS’ ,”melakukan seks diluar nikah” hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Sanatana Dharma atau lebih dikenal dengan nama Hindu.
Setiap orang dari kita tahu bahwa seks adalah merupakan kebutuhan biologis manusia. Bila hubungan seks bebas dikatakan tidak baik, lalu seperti apakah hubungan sek yang baik itu?. Menurut pandangan Agama Hindu, hubungan seks itu dianggap sakral dan ada aturan mainnya adalah sebagai berikut:
Kesucian dalam berhubungan seks, banyak diatur dalam Manawa Dharmasastra, Parasara Dharmasastra dll.:
a. Hubungan seks dalam Hindu tidak semata-mata “for fun” tetapi yang lebih utama adalah untuk mendapat keturunan yang disebut sebagai “dharma sampati.”
Dengan demikian seks di luar nikah, menurut Hindu adalah dosa, termasuk “paradara” dalam trikaya parisuda (kayika).
b. Hubungan seks antara Suami istri agar dilakukan secara sakral:
- Membersihkan badan/ mandi terlebih dahulu
- Sembahyang mohon restu Dewa-Dewi Smara Ratih
- Hubungan seks jangan dilakukan:
- ketika sedang marah, mabuk, tidak sadar, sedih, takut, terlalu senang.
- ketika wanita sedang haid
- waktu yang tidak tepat: siang kangin (fajar), bajeg surya (tengah hari), sandyakala (menjelang matahari terbenam), purnama, tilem, rerainan (hari raya), odalan, sedang melaksanakan upacara panca yadnya.
- jangan meniru “gaya binatang”, yang disebut “alangkahi akasa” (melangkahi angkasa)
- dalam berhubungan seks selalu berbentuk “lingga-yoni”
- Kalau senang hubungan seks diiringi musik, pilih yang slow/ tenang, jangan lagu dangdut atau yang ribut/ underground atau house-music, apalagi gaya tripping. Makanya di Bali dahulu ada gambelan “smara pegulingan” (artinya: asmara di tempat tidur) adalah jenis gambelan khas yang di tabuh di Puri-Puri di saat Raja sedang berintim ria dengan Permaisuri.
c. Bila hubungan seks dilaksanakan dengan patut sesuai swadharma kama sutra, maka anak yang lahir mudah-mudahan berbudi pekerti yang baik, menuruti nasihat orang tua, rajin sembahyang, pintar, sehat, pandai bergaul dan hidupnya sukses.
Tetapi bila hubungan seks menyimpang, maka anak yang lahir disebut anak “dia-diu” yakni: bandel, menyakiti hati ortu, bodoh, jahat, banyak musuh, sulit hidupnya, sakit-sakitan.
D. Larangan Sek bebas
Sex bebas dan “kumpul kebo” dalam Agama Hindu dilarang dan termasuk perbuatan adharma atau perbuatan dosa. Dalam Manawa Dharmasastra III.63 disebutkan:
Kuwiwahaih kriya lopair, wedanadhyayanena ca, kulanya kulam tamyanti, brahmanati kramena ca
Dengan berhubungan seks secara rendah diluar cara-cara perkawinan (brahmana wiwaha, prajapati wiwaha dan daiwa wiwaha), dengan mengabaikan upacara pawiwahan, dengan mengabaikan weda, dengan tingkah laku hina, tidak memperhatikan nasihat Sulinggih maka keluarga-keluarga besar, kaya dan berpengaruh akan hancur berantakan.
Parasara Dharmasastra X.1:
Catur varnamsya sarva trahiyam prokta tu niskrtih, agamyagamate ca iva suddhau candrayanam caret
Aku (Bhagvan,Tuhan) telah menguraikan tentang upacara penebusan dosa bagi keempat golongan sosial; seorang laki-laki setelah menggauli seorang wanita yang dilarang untuknya harus melakukan penebusan dosa candrayanam.
Parasara Dharmasastra X.30:
Jarena janayed garbhe tyakte mrte patau, tam tyajed apare rastre patitam papa karinim.
Wanita yang memperoleh kehamilan dengan kekasih gelapnya (tidak melalui upacara pawiwahan), atau setelah ditinggal suaminya atau selama ketidakhadiran suaminya di negeri jauh, harus diusir ke sebuah kerajaan asing (keluar wilayah).
Selain itu dalam Sarasamuscaya yang menguraikan tentang Trikaya Parisudha, disebutkan salah satu dosa dari Kayika (perbuatan) adalah “Paradara” atau dalam bahasa sekarang “berzina” sebagaimana tertulis dalam pasal 153 :
Paradara na gantavyah sarvavarnesu karhicit, na hidrcamanayusyam yathanyastrinisevanam.
Menggoda, memperkosa, menggauli wanita dengan usaha curang (tidak melalui pawiwahan) jangan dilakukan karena akan menyebabkan dosa dan berumur pendek.
Dalam Lontar Dharma Kauripan disebutkan bahwa anak yang lahir diluar perkawinan adalah anak “dia-diu”, anak yang cuntaka, akan mengalami hidup yang susah. Hubungan seks sebelum pawiwahan dikatakan sebagai dosa yang disebut “kama kaperagan”.
Syarat mutlak yang tak bisa ditawar adalah, seks harus dilakukan dengan cara yang benar, dengan sarana yang suci dan dengan semangat welas-asih yang tinggi. Atau dalam manifesto yang sederhana: Pengalaman spiritual yang suci, dari seks hanya bisa diraih dari hubungan seks yang sah, yaitu hubungan suami-istri. Dalam bahasa ilmiah, pengalaman spiritual itu bisa dianalogikan—tidak disamakan—dengan kepuasan psikologis puncak, kedamaian psikologis yang tinggi, dan keseimbangan jiwa. Hubungan seks secara jahat, atau hubungan seks pra-nikah, atau hubungan selingkuh, apalagi hubungan seks menyimpang, tak akan bisa menghadirkan pengalaman spiritual yang suci dan agung, dan jika dikaitkan dengan konsep keyakinan Hindu, hubungan seks yang tidak sah akan membawa karma negatif bagi jiwa kita.
Dari uraian diatas dapat kita simpulkan beberapa hal mengenai “Hari Valentine” menurut pandangan Hindu. Secara kontekstual valentine tidak bertentangan dengan Hindu, namun jika kita melihat dari fakta yang ada, bahwa hari valentine dijadikan ajang seks bebas, maka sangat bertentangan dengan ajaran veda. Jika anda tidak suka, syukuri hari tersebut sebagai hari kasih sayang. Jika anda suka, rayakan apa adanya jangan sampai dijadikan ajang seks bebas. Pada praktiknya tidak menutup kemungkinan ada saja beberapa pasangan yang memiliki keinginan atau hasrat untuk merayakan valentine dengan seks bebas, ada beberapa saran dan kutipan yang perlu kita semua renungkan sebelum akhirnya terperosok lebih dalam ke arah seks bebas.
· Saran buat lelaki : anda sebagai lelaki sudah sepatutnya menghargai dan menghormati perempuan.
Renungkan sloka Manawa dharmasastra dan praktikan;
Dimana perempuan dihormati disana para dewa merasa senang, akan tetapi dimana perempuan tidak dihormati disana tidak ada upacara suci yang berpahala. (MDs, III:56)
Dimana perempuan hidup sedih, keluarga itu akan cepat mengalami kehancuran, sebaliknya, dimana perempuan tidak hidup menderita, keluarga itu akan hidup bahagia. (MDs, III: 57)
pada hari raya memberinya hadiah perhiasan, pakaian, dan makanan.(MDs, II:59)
· Saran buat perempuan : wanita yang berhubungan seks diluar nikah maka ia termasuk orang cuntaka (tidak suci), sehingga anda dilarang memasuki tempat-temapt suci, seperti pura. Jika anda melanggar itu tanggung jawab sendiri dihadapan Hukum Karma.
Canakya Niti Sastra XIV.1
Atmaparadha-vrksasya,Phalanyetani dehinam. Darydrya-roga-duhkhani,Bandhanavyasanani ca.
Dari pohon dosa diri sendiri, orang mendapatkan buah berupa kemiskinan, penyakit, kedukaan, ikatan, dan kebiasaan buruk.
Seorang wanita biasanya susah menghadapi dilema cinta, apalagi kekasihnya mengancam bahwa jika tidak melakukan hubungan seks dikatakan bahwa seorang perempuan tidak cinta , tidak sayang, dll. Itu hanya “PEMBENARAN” bukan “KEBENARAN”. Untuk menghadapi dilema seperti itu kita lihat dalam kitab Weda Smerti ;
Canakya Niti sastra III.2:
….sambhramah snehamahkhyati
Cinta kasih terlihat dari rasa hormat dan kelembutan.
Jadi lelaki yang mengatakan pembenaran seperti itu hanyalah “Cinta karena Nafsu” bukan “Kasih Sayang”
Agar tidak terjebak oleh apa yang disebut “Cinta Buta dan Cinta Nafsu”, renungkan sloka dibawah ini:
Canakya Nitisastra XIII.6
Yasya sneho bhayam tasya, Sneho duhkhasya bhajanam.
Sneho mulani duhkhani, Tani tyaktva vaset sukham
Dimana ada cinta disana ada ketakutan, cinta adalah tempat bagi kedukaan, dan cinta juga yang merupakan permulaan dari segala kedukaan. Oleh karena itu , tinggalkan segala kecintaan itu dan mantaplah dalam kesukaan.
“Selain seorang ISTRI yang sah semua wanita adalah IBU. Selain seorang SUAMI yang sah semua laki-laki adalah AYAH”
PENUTUP
Saringlah kebudayaan luar dengan memperhatikan ajaran Weda, jika ia bertentangan silakan diabaikan jika itu baik silakan kita praktikan. Karena tidak semua kebudayaan luar itu membawa dampak positif bagi kehidupan kita.
Jika melihat makna filosofinya Valentine Day, jelas Veda sangat akomodatif. Ini tercermin dalam konsep 'Tat Twam Asi" dan 'Vasudaiva Kutumbakam'. Pesan inti dari kedua konsep tersebut adalah supaya umat manusia mengembangkan persaudaran dan substansi dari persaudaraan adalah 'kasih sayang'. Hanya caranya tidak harus meniru masyarakat barat. Kebanyakan orang memberi bunga saat Valentine day karena bunga melambangkan bahasa cinta/kasih sayang. Bunga memberi kesan keindahan, keasrian, kesejukan, ketenangan, kedamaian yang kesemuanya merupakan refleksi dari cinta/kasih sayang. Bukankah sebagai umat hindu kita juga mengungkapkan rasa cinta dan bakti kepada Hyang Widhi dengan mempersembahkan bunga kepada Beliau setiap hari?. Tidak suka bunga. Tidak suka coklat. Jadi bagaimana? Gampang. Yang namanya rasa kasih saying atau cinta kasih dapat direalisasikan ke dalam bentuk perbuatan angawe sukanikanang wong len dan tidak harus menunggu tanggal 14 Februari. Anda bisa membantu anak-anak anda mengerjakan PR sekolah sebagai ungkapan cinta kepada anak-anak anda misalnya. Atau masak makanan kesukaan suami/isteri, anak-anak, orang tua misalnya. Atau mencabut rambut uban bapak/ibu sebagai ungakapan cinta anda kepada mereka misalnya. Dan masih banyak cara lainnya. Jadi Weda tidak alergi dan tidak anti pada tradisi dari manapun datangnya selama tradisi tersebut mengandung kebenaran universal sekalipun ia secara implisit tidak terdapat dalam Weda. Bahasa Weda adalah bukan hanya bahasa suku tertentu. Bahasa Weda adalah bahasa universal. Oleh karena bahasanya universal maka Weda menerima kebenaran universal yang diungkapkan dengan bahasa yang berbeda dari manapun datangnya.
bagus wacana...sejutu!!!
BalasHapuskalau tiang pribadi.. kembali ke diri kita sendiri bli. apa kita akan merayakan valentine dengan hal-hal positif atau hanya dijadikan kedok untuk pembenaran akan hal-hal diluar norma agama dan moral. tapi alangkah baiknya kalau ada wejangan mengenai hal ini. walau hanya sedikit, itu tatap berarti. satu tulisan yang bagus niki bli..
Hapus