Dalam sebuah perjalanan spiritual
kita akan dipertemukan pada sisi yang berbeda dari dunia material. Jika dalam
konsep material kita belajar dulu baru berjalan, namun tidak demikian halnya dengan
konsep spiritual. Dalam konsep spiritual kita berjalan sambil belajar,
perjalanan adalah guru yang utama. Bukan belajar dulu baru berjalan, tetapi berjalan
atau melaksanakan kewajiban sesuai apa yang sementara itu kita pahami dengan
tanpa membatasi pemahaman kita maka Tuhan akan datang mengajari manusia itu. Seperti
halnya wahyu, wahyu itu turun bukan karena duduk diam baca buku tetapi karena
perjalanan manusia dan perilaku, perkataan dan pikiran manusia itu selama
perjalanan. Bagaimana cara para leluhur dan orang-orang suci supaya mendapat
wahyu itu susah untuk dicatat, namun yang dapat kita catat itu hanya apa wahyu
yang didapat oleh beliau. Seperti itulah perjalanan dalam konsep spiritual, bahwa perjalanan
adalah guru yang utama.
Sabtu, 08 Desember 2012
Jumat, 07 Desember 2012
Upacara Rsi Gana, Dewa Yadnya atau Bhuta Yadnya?
Warga Hindu di Bali dan orang
Bali yang berada di luar Bali mengenal ada banyak jenis upacara. Ada yang
menyebutkan upacara Rsi Gana itu bukan sebagai caru atau bhuta yadnya,
melainkan digolongkan ke dalam dewa yadnya. Alasannya, Rsi Gana bukan untuk
mengharmoniskan alam lewat proses somya,
melainkan pemujaan kepada Ganapati sebagai Wigneswara agar terhindarkan dari
berbagai rintangan. Menurut Ida Pandita Dukuh, yang manakah betul sesungguhnya,
apakah Rsi Gana itu upacara tergolong bhuta yadnya ataukah dewa yadnya?
Made A Dwipranatha
Sidemen, Karangsem
Rentan Waktu Caru dan Tawur
Di Bali ada berbagai jenis
upacara keagamaan. Di antaranya bhuta yadnya, setingkat macaru dan tawur.
Lantas, apa ada batasan jangka waktu setiap tingkatan dan jenis upacara macaru
dan tawur? Pada saat seperti apa mesti digelar upacara bhuta yadnya yang
dinamakan caru dan bilamana lantas menggunakan tawur? Mohon penjelasannya.
Ni Wayan Sukasih
Buahan, Payangan, Gianyar
Banten Bukan Penebus Dosa
Banten vs Dosa
Warga Hindu (Bali) tiap kali
menggelar upacara keagamaan bersaranakan banten. Termasuk saat melakukan
upacara menyucikan diri secara niskala, banten juga menjadi sarana utama. Ida
Pandita Dukuh, sesungguhnya seberapa besar banten bisa menyucikan dosa? Apakah
banten bisa menggantikan dosa? Kalau banten memang bisa menebus dosa, atau
setidaknya mengurangi berat-ringan dosa, tidakkah orang-orang kaya akan
berlomba-lomba menebus dosa dengan banten, lalu tinggallah si miskin yang
sakit-sakitan saja terus berkubang sepanjang hayat pada dosa? Kalau cuma
miskin, orang pun bisa saja meminjam dulu uang, yang penting dosa akhirnya bisa
dihapuskan.
Bagaimana ini mesti dipahami,
diterangkan, biar pihak non-Bali Hindu juga bisa memahami praktek keagamaan
kita di Bali yang sampai kini sedikit-sedikit menggunakan banten sebagai sarana
rasa bakti, meskipun tidak lagi dengan membuat langsung, melainkan cukup dengan
membeli, layaknya membeli komoditas lain di pasar swalayan? Terus terang saya
belum menemukan jawaban tepat, karena itulah saya bertanya kepada Ida Pandita
Dukuh. Mohon dapat diterangkan sejelas-jelasnya. Matur suksma.
Made Yudyastana
Tampaksiring, Gianyar
Selasa, 04 Desember 2012
Kisah Parikesit dan Dewi Kunti: Pencarian dan Keyakinan Seorang Bhakta
Dewi Drupadi
histeris, lima putra dan semua saudaranya terbunuh pada malam hari selagi tidur
seusai perang Bharatayuda. Aswatama telah membunuh seluruh keturunan Pandawa
yang masih hidup, sebagai balas dendam atas kematian Drona, ayahandanya, yang
menurutnya dilakukan Pandawa dengan penuh tipu muslihat. Arjuna bersama Sri
Krishna mengejar Aswatama yang bersembunyi di pertapaan Abyasa, kakek para
Pandawa dan Hastina. Saat Arjuna menemukan Aswatama, mereka berperang tanding.
Akhirnya, Bramastra, senjata Brahma, senjata sangat canggih dari Aswatama
dilepaskan. Arjuna merasakan bulu kuduknya meremang, dan diingatkan Sri Krishna
untuk segera melepaskan senjata yang sama.
Saat kedua senjata
mengudara, Abyasa berteriak menggelegar, “Batalkan segera arah senjata-senjata
itu, apabila sempat bertemu dunia akan musnah dan kalian berdua harus
menanggung akibatnya! “Arjuna dapat mengendalikan dan menarik kembali
senjatanya. Akan tetapi tidak demikian dengan Aswatama, dia belum mahir
mengendalikan senjata tersebut dan agar tidak kembali dan membunuh dirinya maka
senjata itu diarahkannya ke calon cucu Pandawa yang masih berada dalam
kandungan, agar habis anak keturunan Pandawa.
Dewi Utari
merasa ada sebuah gumpalan energi gelap mengejar dan mengancam kehidupan
kandungannya dan dia memanggil nama Sri Krishna. Dewi Utari merasakan bahwa Sri
Krishna memintanya duduk diam, menutup mata dan berdoa. Dewi Utari merasakan
kedamaian, dan dalam bayangannya Sri Krishna telah masuk ke dalam kandungannya
menunggu bramastra datang, kemudian menangkap dan membawa senjata itu keluar
dari tubuhnya. Ada rasa kelegaan setelah bahaya yang mengancam bayi dalam
kandungannya hilang. Bayinya telah diselamatkan Sri Krishna.
Kisah Parikesit: 7 Hari Menjelang Kematian
Kala itu
Maharaja Parikesit sedang berburu di hutan, hari sangat panas dan dia merasa
sangat kehausan. Sang Raja masuk pertapaan seorang pertapa dan minta air
penghapus dahaga. Sang pertapa sedang khusyuk bermeditasi, matanya tertutup dan
tidak ada perhatian dengan kedatangan sang maharaja. Parikesit berkata, “Apakah
Resi benar-benar bermeditasi sehingga pikiran dan indera terabaikan, ataukah
hanya mencoba menghindari saya karena keangkuhan dari seorang resi? Apabila
seorang maharaja yang belum mencapai kesadaran sempurna datang, apakah seorang resi
tidak perlu membuka mata?” Dalam keadaan tak nyaman karena sangat kehausan,
pikiran jernih sang raja sedikit terkesampingkan. Keangkuhan seorang maharaja
bangkit, dirinya mengambil bangkai ular dan meletakkannya di leher sang resi.
Dan sang maharaja pun pergi meninggalkan pondok tersebut.
Di dalam salah
satu kamar, Sringi, putra sang resi mendengar gerutuan seorang ksatria yang
tidak sopan dan kemudian melihat ada ular yang dilingkarkan di leher ayahnya
yang sedang bermeditasi. Putra sang resi menjadi marah, “Bagaimana etikanya
seorang kesatria dapat melakukan hal demikian terhadap seorang brahmana? Tugas
kesatria adalah melindungi orang-orang suci. Hal ini dapat terjadi karena Sri
Krishna sudah tidak ada tak ada di atas permukaan bumi lagi. Wahai kesatria
kukutuk dirimu agar digigit ular beracun dalam waktu seminggu!”
Saumika, sang
resi terganggu oleh kemarahan sang putra dan membuka mata, “Wahai putraku, kau
telah berdosa terhadap seorang maharaja. Akibat kesalahan kecil, kau mengutuk
terlalu berat. Apabila sang maharaja mati, para penjahat akan berkembang biak,
peran agama menurun dan terjadi kebingungan di masyarakat. Dan, semua kejahatan
yang akan terjadi ini berasal dari ketergesa-gesaanmu dan akan membunuh kita
semua. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa mengampuni
pemahamanmu yang belum matang ini.”
Kisah Asura Hiranyaksa dan Waraha Awatara
Setelah banjir
besar dan bumi tenggelam dalam mahapralaya, semuanya berada dalam ketenangan
yang sempurna. Ketiga guna: rajas-agresif, tamas-malas, dan satwik-tenang
berada dalam keseimbangan, seperti api
yang ditarik ke dalam kayu. Tak ada gerakan. Setelah beberapa lama, ada
waktunya keseimbangan terganggu. Munculah tangkai bunga teratai dari pusar Narayana.
Brahma lahir dan merasa berada dalam bunga teratai yang tak terukur besarnya.
Brahma mencari pangkal bunga dan tak bisa tercapai sehingga kembali pada
tempatnya semula. Seakan ada suara yang menyuruh dia bertapa dan dia mendapat visi
tentang Narayana yang sedang terbaring pada Adhisesha yang putih seperti
tangkai teratai. Seakan Narayana berkata, “Aku memberi tugas menciptakan dunia
dan makhluknya.” Dan Brahma menjawab, “Semoga demikian.”
Pencarian
Brahma yang gagal untuk mencapai pangkal bunga teratai yang tidak tidak terukur
besarnya, adalah seperti pencapaian manusia dalam mencari Tuhannya. Akhirnya
Brahma mendengarkan suara nuraninya dan mendapat petunjuk untuk bertapa. Keluar
dari Brahma wujud empat resi: Sanaka, Sananda, Sanatama dan Sanathkumara dan
mereka menolak permintaan Brahma untuk mencipta lebih lanjut. Brahma sangat
marah tetapi dapat mengendalikannya dan dari keningnya keluar bayi merah yang
menangis yang dinamakan Rudra. Brahma berkata, “Tempat kamu adalah hati,
indera, hidup , langit, dan semua unsur alam. Kamu dapat mencipta di
tempat-tempat tersebut!” Brahma kemudian mencipta sepuluh putra, Atri,
Angirasa, Pulastya, Pulaha, Kratu, Bhrigu, Daksa, Marici, Wasishta, Narada.
Dharma dan Adharma pun adalah putra Brahma. Dari hati Brahma juga lahir
keinginan. Bayang-bayang Brahma mengambil bentuk sebagai putra yang bernama
Kardama. Dari pikiran dan badan Brahma diciptakalah seluruh dunia. Dari empat
mukanya lahir empat Weda. Brahma kemudian membagi tubuhnya menjadi satu pria
dan satu wanita yang disebut Swayambhu Manu dan Satarupa. Dari mereka lahir
lima anak, tiga putri: Akuti, Prasuti Dan Dewahuti serta dua pria: Priyawrata
dan Uttanapada. Akuti menikah dengan Ruchi, Dewahuti dengan Kardama dan Prasuti
dengan Daksa. Dan anak-anak mereka mendiami dunia ini. Kisah-kisah dalam Srimad
Bhagawatam adalah kisah-kisah dari semua anak keturunan Brahma.
Kisah Kardama: Putra, Suami, dan Ayah yang Mampu Memberi Teladan
Dalam Srimad
Bhagawatam dikisahkan bahwa setelah mahapralaya, Brahma yang baru saja muncul
dari bunga teratai tidak dapat mengukur kedalaman tangkai bunga teratai yang
keluar dari pusar Narayana. Narayana pun
masih merupakan misteri bagi Brahma. Kemudian Brahma mendapat perintah untuk
bertapa dan baru setelah itu memperoleh visi tentang Narayana dan mendengar
perintah-Nya untuk menciptakan dunia dan makhluknya. Akan tetapi tidak semua
putra yang diciptakannya mematuhi perintah Brahma untuk membantu penciptaan.
Sanaka, Sananda, Sanatama dan Sanathakumara menolak permintaan Brahma untuk
mencipta lebih lanjut. Kardama dan Manu adalah dua orang putra Brahma yang
patuh kepada perintah Bapaknya.
Kardama pergi
ke hulu sungai Saraswati dan bertapa hingga beberapa tahun lamanya. Pada suatu hari dalam pandangan Kardama,
Narayana muncul dan bertanya tentang apa yang diinginkannya. Kardama menjawab,
“Hamba adalah manusia yang beruntung yang telah mendapatkan karunia untuk
menyaksikan Tuhan. Tuhan adalah Parambrahman, Roh Yang Maha Agung, dan setelah
menyaksikan Tuhan manusia tak punya keinginan lainnya lagi. Saudara hamba
Narada telah melakukan hal demikian pada kalpa yang lalu, sehingga pada kalpa
ini dia dilahirkan lagi sebagai dewaresi. Akan tetapi ayahanda hamba telah
memerintah hamba untuk melakukan tugas penciptaan, oleh karena hamba tidak
dapat menghilangkan keinginan untuk menyelesaikan tugas dari ayahanda kami.
Oleh karena itu kami mohon agar Tuhan berkenan memberikan wanita sempurna
kepada kami, sehingga kami dapat mempersembahkan putra-putri terbaik bagi
dunia. Bagaimana pun tujuan utama kami adalah Tuhan, oleh karena itu mohon
berkahmu agar kami sekeluarga selamat dalam melaksanakan peran kami di dunia
ini.”
Senin, 03 Desember 2012
Kisah Dewahuti: Seorang Putri, Istri, Ibu dan Sekaligus Hamba Yang Berbhakti
Ketika Kardama
telah pergi melanjutkan perjalanan spiritualnya sebagai Sanyasin. Dan, Kapila
sudah menginjak remaja kala Dewahuti teringat kehidupannya di masa lalu. Dewahuti
adalah seorang putri yang baik yang patuh terhadap kedua orang tuanya,
Swayambhu Manu dan Satarupa. Sejak kecil Dewahuti begitu yakin bahwa Tuhan Yang
Maha Pengasih akan membimbing dirinya lewat orang-orang yang berada di
dekatnya. Dewahuti yakin bahwa ayah dan ibunya adalah guru pemandu yang diutus
Tuhan untuk membimbingnya saat dirinya lahir ke dunia. Setelah Dewahuti kawin
dengan Kardama dan ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, Dewahuti menganggap
Kardama sebagai guru spiritualnya. Dan, setelah Kardama pergi, maka Dewahuti
merasa yakin bahwa Kapila, putranya sendiri adalah wujud Narayana yang akan
memandu dirinya yang tidak mengenal Weda dan ilmu ketuhanan lainnya kecuali
hanya berbekal pengabdian yang tulus.
Dewahuti
teringat pesan Brahma, sang mertua pada saat dirinya dan Kardama menikah,
“Menantu terkasihku, Narayana berkehendak mengajarkan Brahmawidya, ilmu tentang
ketuhanan kepada dunia. Oleh karena itu, Narayana akan lahir sebagai putramu.
Dia akan mengajari ilmu itu pertama kali kepadamu, agar kau terbersihkan dari
Awidya, ketidaktahuan yang menjadi penyakit di dunia ini! Mereka yang sakit
jiwanya merasa dirinya hampa, akan selalu mengejar kedudukan, ketenaran dan
kekayaan. Seseorang yang ingin menonjolkan dirinya pun, sedang menderita sakit.”
Dewahuti berkata
kepada Kapila, “Putraku, ibu tahu bahwa kau adalah Narayana sendiri. Aku minta
kau membantu ibumu ini. Aku lelah dan muak hidup dengan hanya memuaskan
kesenangan indera dan pikiran. Kamu adalah matahari yang dapat mengusir
kegelapan pikiran orang awam seperti diriku. Di dalam badan yang terdiri dari 5
elemen alami, sudah Kau tanamkan rasa “aku” dan “milikku”. Berilah aku jalan
untuk menuju kedamaian dan keselamatan.” Kapila tersenyum dan berkata, “Wahai
ibu, menurutku hanya ada satu yoga yang
mengakhiri penderitaan atau samsara. Aku telah mengajarkannya kepada
para resi yang sudah siap pada kalpa lalu. Dan, Aku akan memberi pelajaran yang
lebih mudah. Ibu, adalah pikiran yang menyebabkan perbudakan atau kebebasan.
Manakala pikiran di arahkan keluar diri, ia akan mengembara menjauhi Atman.
Akan tetapi jika pikiran berbalik ke dalam diri, mengarah kepada-Ku, maka ia
akan menjadi penyebab kebebasan dari jerat indera. Ini adalah langkah pertama
menuju tujuan. Manakala rasa “aku” dan “milikku” lenyap, pikiran akan bebas
dari nafsu, kemarahan dan lain-lainnya. Pikiran menjadi murni. Kesenangan dan
penderitaan dunia tidak akan mempengaruhinya. Keterikatan pada dunia dilepaskan
dengan jalan bhakti terhadap-Ku dan mempertahankan kesadaran kebenaran tentang
Aku, maka selanjutnya pikiran dapat merasakan ketuhanan. Dari semua jalan
kepada-Ku, Bhakti adalah yang paling mudah. Para bijak mengatakan keterikatan
adalah salah satu sifat yang tak dapat dipisahkan dari manusia. Keterikatan
selalu ada, maka ubahlah obyek keterikatan dari obyek luar diri kepada obyek di
dalam diri, dari obyek duniawi menjadi keterikatan pada-Ku.
Jumat, 30 November 2012
Kisah Daksha: Keangkuhan Seorang Prajapati
Daksha adalah
salah satu putra Brahma diantara 9 putra Brahma yang diangkat sebagai
“prajapati”, yang mencipta dan menjaga kelestarian makhluk. Brahma kawin dengan
Prasuti putri dari Swayambhu Manu dan mereka dikaruniai 15 putri. Sati adalah
salah satu putrinya yang dikawinkan dengan Mahadewa. Pada suatu saat diadakan
upacara Yajna Agung yang diketuai oleh Marici, kakak Daksha. Semua penduduk
kahyangan hadir. Dan, pada saat Daksha masuk dia nampak begitu berwibawa
seperti matahari yang menyinari ruangan upacara. Semua resi berdiri dan
menghormat Daksha kecuali Brahma dan Mahadewa. Daksha kemudian bersujud
mengambil debu di kaki Brahma, sang ayahanda dan meletakkannya di kepala. Akan
tetapi Daksha tersinggung dan marah kepada Mahadewa yang tidak berdiri menyambutnya
seperti resi-resi yang lain, padahal Mahadewa adalah menantunya.
Daksha kemudian
mengambil air di dengan telapak tangannya dan mengutuk, “Mahadewa ini adalah
yang terburuk di antara semua dewa, dia tidak akan menerima bagian yajna
seperti dewa yang lain.” Dan Daksha langsung pulang ke rumahnya. Para pengikut
Mahadewa tersinggung dan Nandikeswara berkata, “Daksha ini orang bodoh, ia
sangat angkuh dan melupakan Mahadewa. Sesungguhnya ia bernasib sial, ia jauh
dari rahmat Tuhan. Ia tidak lebih baik dari binatang yang hidup hanya untuk
kepuasan laparnya. Para resi yang setuju dengan kutukan Daksha akan menderita.
Mereka akan mengalami siklus kelahiran dan kematian. Mereka akan disibukkan
dengan urusan duniawi dan meninggalkan Tuhan. Mereka akan terlibat dalam banyak
upacara agama, mereka akan kehilangan cinta mereka terhadap disiplin, tapa.
Mereka akan menjadi peka terhadap bujukan pikiran dan juga terhadap
ketidaktahuan sehingga mereka terlibat dalam hal-hal duniawi.”
Bhrigu saudara
Daksha marah karena ada orang yang mengganggu upacara dan mengutuk, “Aku
mengutuk para pengikut Mahadewa, mereka yang memuja dia sebagai yang terbesar
disebut Prasandi, orang yang munafik. Mereka akan menentang Weda dan tidak
aktif dalam upacara yang ditentukan oleh Weda. Mereka menjadi kotor. Mereka
berpakaian seperti Mahadewa, memakai perhiasan yang dibuat dari tulang.”
Mahadewa merasa sedih dan segera meninggalkan tempat upacara tersebut.
Kisah Dhruwa: Kegigihan Tekad Seorang Anak Menemukan Tuhan
Uttanapada
putra Manu mempunyai dua istri: Suniti dan Suruchi. Suniti mempunyai putra
bernama Dhruwa dan Suruchi mempunyai putra bernama Uttama. Pada suatu saat Raja
bermain dengan Uttama dan sang putra duduk dalam pangkuannya. Dhruwa datang dan
ingin duduk di pangkuan ayahnya juga. Suruchi, ibu tiri Dhruwa mendatangi Dhruwa,
menyeretnya menjauhi suaminya dan berkata, “Dhruwa, kamu adalah putra raja
juga, akan tetapi kamu bukan putraku, kau tidak akan memperoleh perlakuan yang
sama dengan Uttama. Kau adalah anak sial. Kesialanmu adalah karena kamu putra
perempuan yang bukan diriku. Jika ingin mendapat perlakuan yang sama dengan
Uttama, maka kau harus bertapa agar dikehidupan berikutnya kau lahir dari
Suruchi bukan lahir lewat ibumu!”
Raja
mendengarkan, akan tetapi dia diam saja, karena dia memang lebih sayang kepada
Suruchi daripada Suniti. Dhruwa kecil sakit hati atas kata-kata kejam ibu
tirinya dan menoleh kepada ayahnya yang hanya diam saja. Dhruwa kemudian lari
menuju ibunya dan menangis terisak-isak. Suniti langsung memangkunya dan ikut
menangis. Suniti berkata, “Dhruwa, ada dua jalan untuk menyelesaikan
kekecewaan, jalan pertama berupaya memenuhi keinginanmu, akan tetapi raja
memang lebih suka pada Suruchi daripada aku. Ada benarnya juga kata Suruchi,
bahwa ini terkait dengan masalah sebab-akibat di masa lalu, sehingga kau dapat
memperbaiki nasib dengan jalan berbuat kebaikan. Jalan kedua adalah jalannya
orang yang gigih, jalannya orang bijak yaitu tidak berkeinginan lagi terhadap sesuatu.
Bila seseorang sudah menyaksikan Narayana, maka dia sudah tidak menginginkan
apa-apa lagi. Putraku, berdoalah kepada Narayana Yang Agung, tempat
perlindungan bagi semua yang menderita. Setelah bertemu dengannya, maka kau
tidak menginginkan yang lainnya lagi.” Suniti tidak pernah mengira bahwa
perkataannya untuk menenangkan Dhruwa, menjadi pemicu baginya untuk menemukan
Narayana.
Kisah Wena: Kelahiran Putra Yang Dipaksakan Karena Hasrat Orang Tua
Setelah 30
ribu tahun memerintah, maka Dhruwa telah mempersiapkan sistem pemerintahan yang
baik, serta sebuah institusi dari kumpulan para resi sebagai Dewan Pertimbangan
Agung Kerajaan. Segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik dan mestinya
pemerintahan selanjutnya akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi sebuah sistem
yang baik tetap memerlukan manusia yang handal untuk menjalankan sistemnya.
Ternyata tidak mudah mendapatkan seorang raja yang baik yang melindungi negara
dan rakyatnya serta sekaligus menjadi bhakta yang saleh. Utkala adalah putra
Dhruwa yang menggantikannya sebagai raja. Utkala adalah seorang ahli filsafat
dan di usia muda sudah mendapat gelar Brahmi. Namun ia tidak begitu
memperhatikan kepemerintahan. Dia tidak menjaga kemuliaan dan kewibawaan
sebagai seorang raja.
Para resi
akhirnya memilih Watsara, adik Utkala sebagai penggantinya. Selanjutmya setelah
Utkala sudah merasa tua maka dia menunjuk putranya, Anga sebagai raja
penggantinya. Pada suatu hari, Anga yang belum dikaruniai seorang putra
mengadakan upacara Aswamedha, persembahan kepada Narayana, akan tetapi sampai
akhir upacara tidak ada dewa yang hadir. Sang Raja merasa sangat sedih dan
bertanya kepada para bijak, apakah kesalahannya sehingga para dewa tidak
berkenan hadir. Para resi menjawab, bahwa tidak ada sesuatu yang salah dalam
upacara tersebut. Bisa jadi dikarenakan kesalahan sang raja dalam kelahiran
sebelumnya. Kemudian para resi menyarankan sebaiknya raja mengadakan upacara
yang lain untuk meminta putra terlebih dahulu.
Sebagai
seorang raja tentu saja dia berhasrat mempunyai seorang putra yang dapat
meneruskan tahtanya setelah dia memasuki usia tua. Sang raja tidak sadar bahwa
waktunya belum tepat. Sang raja masih diliputi suasana kekecewaan dan kemarahan
kepada para dewa yang tidak berkenan menerima persembahannya. Sang raja dan
para resi mempersiapkan Upacara Yajna untuk memohon putra. Manakala upacara
berakhir, keluar sebuah bentuk api yang memakai perhiasan serba keemasan dan
membawa periuk emas menuju sang raja. Raja menerima “payasa”, sejenis makanan
dari beras bercampur susu. Payasa tersebut kemudian diberikan kepada Sunita
sang permaisuri untuk dimakannya. Setelah beberapa waktu seorang putra lahir
dan dinamakan Wena. Sejak kecil Wena ternyata mempunyai sifat adharma. Ia suka
sekali membunuh binatang, walaupun binatang yang tidak berbahaya dan tidak
mengganggu manusia. Ia ringan tangan dan sangat kejam sehingga semua orang
menghindarinya. Bila ada orang yang tidak disenanginya, maka dia tak segan
untuk membunuhnya. Sang raja telah berupaya mendidiknya dan mendatangkan para
resi untuk menunjukkan jalan yang benar. Akan tetapi semuanya kewalahan, karena
Wena mempunyai sifat kepala batu dan selalu merasa paling benar sendiri.
Kamis, 29 November 2012
Kisah Prithu: Kemurahan Hati Prthwi Sang Ibu Bumi
Kala Prithu
dilahirkan musik surgawi terdengar dan semua dewa menyambut kelahiran Prithu.
Brahma berkata bahwa Prithu membawa tanda lahir cakra pada telapak tangannya
dan tanda bunga teratai pada kakinya. Prithu adalah penjelmaan Narayana untuk
melindungi dunia. Setelah Prithu dewasa dia dinobatkan sebagai raja dan seluruh
alam semesta membawa hadiah untuk sang raja. Akan tetapi Prithu tak mau dipuji
karena dia belum punya pengalaman untuk memerintah kerajaan. Prithu berkata
bahwa dia mau dipuji saat dia nanti berhasil sebagai raja dunia. Prithu
mengakui bahwa dia menjadi raja dalam kondisi yang sangat sulit. Ia mengetahui
bahwa rakyatnya sangat lemah dan dalam kondisi kelaparan yang parah. Rakyatnya
berkata, “Wahai raja pelindung dunia kami menderita kelaparan, berilah kami
makanan. Kami dimakan oleh rasa lapar seperti pohon yang dimakan oleh api yang
tersembunyi dalam batangnya. Kami telah diberitahu oleh para resi bahwa kau
dilahirkan untuk melindungi kami. Lindungilah kami wahai raja!”
Prithu
berpikir keras dan akhirnya menemukan penyebab dari kelaparan rakyatnya. Ibu
Bumi telah menelan semua tanaman yang mengandung makanan, dan semua benihnya
dan tidak dibiarkan tumbuh. Prithu sampai pada keputusan untuk menghukum Ibu
Bumi. Ia memungut busur dewatanya dan mengarahkan anak panahnya ke arah Ibu
Bumi. Ibu Bumi mewujud sebagai sapi yang melarikan diri menjauhi Prithu. Ibu
Bumi tahu bahwa anak panah tersebut dapat menghabisi nyawanya. Ibu Bumi begitu
panik sehingga permukaan bumi terasa menggigil, terjadi gempa di mana-mana.
Prithu mengejarnya kemana saja Ibu Bumi melarikan diri. Ibu Bumi tak dapat
menemukan tempat berlindung, sehingga akhirnya dia memutuskan untuk menemui
Prithu dan bersujud di hadapannya. “Wahai raja dunia, aku berlindung padamu.
Engkau adalah raja yang adil dan mestinya Engkau tidak mengganggu seorang
perempuan sepertiku. Sekalipun bersalah seorang perempuan tidak harus dibunuh.
Mengapa Engkau berusaha membunuhku, padahal aku tidak berbuat kejahatan
terhadapmu? Dan jika Engkau membunuhku dimana Engkau akan meletakkan
kerajaan-Mu?
Prithu
berkata, “Engkau telah melakukan kesalahan, itulah sebabnya aku harus
menghukummu. Di dalam upacara persembahan yang dilakukan manusia, engku
mendapatkan bagianmu. Akan tetapi engkau tidak memberi manusia makanan. Dalam
wujud sapi engkau makan rumput akan tetapi engkau tidak memberikan susu kepada
manusia. Engkau sudah mengabaikan peraturan yang dibuat olehku. Maka aku perlu
menghukummu. Hukum harus ditegakkan di atas dunia. Engkau juga telah
menyembunyikan tanaman obat pemberian Brahma. Rakyatku menjadi menderita
karenanya. Seseorang yang tidak berpikir tentang kebaikan terhadap orang lain
harus dibunuh oleh seorang raja. Perbuatan tersebut bukan perbuatan adharma.
Dagingmu akan kubagikan kepada manusia dan aku tidak cemas tentang tempat
kerajaanku yang musnah, dengan yogaku aku mampu mendirikan kerajaanku.”
Kisah Puranjana: 7 Jalan Pemujaan
Prithu adalah
salah seorang raja dunia yang berhasil mengadakan upacara seratus aswamedha
menyamai upacara yang dilakukan oleh Dewa Indra. Dalam upacara seratus
aswamedha Prithu tersebut Indra mencoba menggagalkan upacara dengan mencuri
sebuah kuda dengan berpura-pura menjadi sebagai seorang sadhu. Peristiwa ini
dianggap sebagai mulainya tindakan munafik di dunia, yaitu seseorang yang
berniat jahat yang berpura-pura berpenampilan sebagai orang baik. Tindakan
Indra ini digagalkan oleh Resi Atri yang menyuruh putra Prithu untuk mengejar
pencuri kuda dan diminta tidak perlu ragu melihat wujud pencuri sebagai seorang
sadhu. Putra Prithu berhasil mengembalikan kuda ke seratus dari aswamedha ini
sehingga dikenal sebagai Wijitashwa.
Setelah ribuan
tahun memerintah sebagai raja, Prithu merasa usianya sudah tua dan sudah merasa
waktunya untuk meninggalkan tubuh fisiknya. Prithu mengangkat Wijitashwa
sebagai pengganti, kemudian dia melakukan yoga pelepasan dirinya yang diikuti
oleh Archis, istri setianya. Putra Wijitashwa bernama Hawirdhana tidak ingin
menjadi raja, maka sebagai raja pengganti Wijitashwa ditunjuk Barhishat, putra
sulung dari Hawirdhana. Raja Barhishat terkenal dengan sebutan Prachinabarhis,
prachina berarti arah ke timur dan barhis berarti rumput Kusa untuk
persembahan. Raja Prachinabarhis terobsesi oleh upacara ritual yajna. Begitu
selesai suatu upacara dia melanjutkan lagi dengan upacara ritual berikutnya.
Demikian ritual demi ritual dilakukannya sepanjang waktu. Resi Narada paham
bahwa niat dari raja Prachinabarhis adalah baik, maka sang dewaresi mendatangi
sang raja dan bertanya mengapa dia mempunyai obsesi untuk melakukan ritual
tanpa henti. Sang raja menjawab bahwa kebanyakan manusia terperangkap dalam
jaring perasaan sehingga terikat dengan istri, anak-anak, rumah, kekayaan dan
kerajaan. Kebanyakan manusia tidak mengetahui bagaimana mencapai dunia yang
lain, oleh karena itu sang raja melakukan ritual terus-menerus agar tidak
sempat berpikir terhadap jaring perasaan tersebut.
Kedatangan
Narada membuat sang raja sadar bahwa mungkin sekali tindakannya tersebut tidak
tepat maka segera dia memohon sang dewaresi untuk memberi petunjuk. Resi Narada
berkata, “Wahai raja, engkau mempunyai niat untuk melepaskan diri dari
keterikatan, dan niat itu benar. Engkau berupaya melepaskan diri dari
keterikatan terhadap istri, anak, kekayaan dan kekuasaan. Akan tetapi engkau
justru terikat dengan upacara ritual, sebuah keterikatan yang lain.” Dengan
kekuatan yoganya, kemudian Resi Narada menunjukkan ribuan sapi yang telah
dibunuh untuk keperluan ritual. “Wahai raja, ribuan sapi sedang menantikan
kematianmu untuk membalas dendam kepadamu.” Sang raja kaget dan menjadi sadar
bahwa dia telah berbuat kesalahan. Kemudian Resi Narada menyampaikan kisah Raja
Puranjana kepada sang raja.
Kisah Bharata: Keterikatan Menjelang Kematian
Bharata adalah
putra Rsaba. Ia memerintah kerajaan dengan benar dan baik dan dicintai oleh
rakyatnya. Bahkan kerajaannya dikenal sebagai Bharatawarsa. Bharatawarsa
mengalami zaman keemasan dibawah kepemimpinan Raja Bharata. Bharata adalah
seorang bhakta Narayana. Di dalam hatinya hanya ada Narayana dan tak ada yang
lain selain Narayana. Setelah beberapa lama memerintah, dia menobatkan putranya
sebagai raja penggantinya dan dia pergi ke Haridwara ke pertapaan Pulaha.
Bharata hidup sendiri di sana dalam kedamaian dan tidak punya rasa keterikatan
terhadap duniawi. Hari-hari dilewati hanya berpikir tentang Narayana.
Pada suatu
hari, manakala Bharata sedang duduk akan melakukan meditasi pagi di tepi sungai
Mahanadi, dia melihat seekor rusa betina yang tengah hamil sedang membungkukkan
kepalanya untuk minum air sungai. Tiba-tiba terdengar raungan seekor singa yang
sangat keras yang mengagetkannya. Karena ketakutan yang amat sangat sang rusa
melompat dengan sekuat tenaga menuju seberang. Akhirnya sampai juga sang rusa
betina di seberang. Dalam keadaan lunglai bercampur cemas, anaknya lahir
prematur dan kemudian sang rusa betina meninggal. Bharata segera menghampiri
anak rusa yang kemudian digendongnya ke pertapaan dan diberinya susu dengan
penuh kasih seperti halnya seorang ibu yang mengasihi putranya. Hari-hari lewat
dan Bharata menjadi semakin tua, akan tetapi rasa kasihnya terhadap anak rusa
semakin bertambah. Ia menjadi sangat terikat dengan sang anak rusa. Ia
berpikir, “Anakku tanpa ayah dan tanpa ibu, kecuali diriku. Aku adalah
satu-satunya tempat perlindungannya.” Kasih sayang terhadap rusa tersebut
membuat Bharata lupa terhadap terhadap kegiatan rutinnya untuk selalu berdoa,
meditasi dan melakukan persembahan kepada Narayana. Hari demi hari berlalu dan akhirnya Bharata
mengalami kematian. Sebelum meninggal pikirannya terpusat kepada sang rusa.
Akhirnya Bharata dilahirkan sebagai rusa.
Kisah Ajamila: Berkah pengucapan nama suci Tuhan
Setelah
mendengar kisah Raja Bharata dan sebelumnya kisah Puranjana, Parikesit bertanya
kepada Resi Shuka putra Abhiyasa, mengapa fokus dan obsesi seseorang sesaat
sebelum meninggal mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan berikutnya. Resi
Shuka menjawab bahwa selama masih ada pikiran yang terkondisi, maka pikiran
tersebut tersebut masih ingin menyelesaikan obsesi-obsesi yang belum diraihnya.
Biasanya sebelum meninggal, seseorang terobsesi ataupun memikirkan penyesalan terhadap tindakan dalam
kehidupannya, dalam keluarganya, atau dalam pekerjaannya dan lain sebagainya
yang belum diselesaikan atau dikerjakannya dengan benar. Oleh karena itu orang
tersebut dilahirkan lagi untuk menyelesaikan obsesi dan hutang piutangnya. Para
suci mengajari manusia dalam keadaan kritis untuk berpikir tentang Gusti,
tentang Tuhan, tentang Narayana agar dia mencapai Tuhan. Kemudian Resi Shuka putra
Abhiyasa menyampaikan kisah tentang cara termudah untuk melepaskan diri dari
jerat duniawi yang membuat manusia terikat dalam maya yang menyebabkan
penderitaan dan kesenangan tak ada habisnya. Resi Shuka berkata, “Mengucap nama
Tuhan dengan tulus akan menyelamatkan manusia dari semua marabahaya.”
Resi Shuka
melanjutkan dengan menceritakan kisah tentang kematian Ajamila. Adalah seorang
Brahmana bernama Ajamila di negeri Kanyakubja. Dilahirkan di keluarga brahmana
dan menjalankan hidup sebagai brahmana yang taat di waktu muda, pada suatu saat
Ajamila telah kehilangan semua kebaikannya. Dia hidup bersama dengan seorang
wanita nakal. Karena menuruti pasangannya, Ajamila menjadi tamak, kejam, suka
menipu sehingga dibenci oleh semua orang. Waktu berlalu dan Ajamila menjadi
tua, dia telah mempunyai sepuluh putra dari wanita pasangannya tersebut dan
yang termuda diberi nama Narayana. Narayana adalah anak yang dikasihi oleh ayah
dan ibunya. Narayana selalu berada dalam pikiran Ajamila. Selagi makan ia akan
memanggil Narayana terlebih dahulu, apakah sang putra sudah makan atau belum.
Manakala Ajamila minum, ia akan menawari sang putra terlebih dahulu. Dengan
kecintaannya terhadap putra bungsunya, Ajamila tidak menyadari bahwa kematian
sangat dekat dengannya. Kala kematian sudah di depan mata, dia teringat
putranya dan dipanggilnyalah sang putra dengan penuh kasih, “Narayana
kemarilah! Narayana!” dan kemudian Ajamila tak ingat apa-apa lagi.
Rabu, 28 November 2012
Kisah Dadhichi: Sebuah Pengorbanan dan Keangkuhan Dewa Indra
Dikisahkan,
beberapa waktu setelah menjadi raja para dewa, Indra berubah menjadi angkuh.
Saat itu Indra duduk dengan Saci, sang istri di sampingnya dan sedang
mendengarkan nyanyian para gandharwa dan menikmati tarian para apsara. Seluruh
dewa dari empat penjuru menghormatinya. Brihaspati Agung, guru para dewata
datang ke istana dan Indra tidak bangun untuk menghormati gurunya. Brihaspati
kemudian merasa tidak berhasil mendidik muridnya dan segera meninggalkan istana. Sesaat kemudian Indra sadar dan
segera mencari gurunya, akan tetapi tidak berhasil menemukannya. Brihaspati
bahkan tidak berada di pertapaannya.
Kabar menyebar
begitu cepat, dan mengambil keuntungan dari keadaan Indra yang ditinggalkan
gurunya, para Asura murid dari Sukracharya segera menyerang istana para dewa.
Dan, Indra beserta para dewa dikalahkan. Para dewa kemudian berlindung kepada
Brahma yang menyarankan agar Indra minta Asura Wiswarupa, putra Twasta untuk
membantu mereka. Indra dan para dewa kemudian mendatangi Wiswarupa yang lebih
muda dibanding dengan Indra untuk membantu mereka. Wiswarupa mengatakan bahwa
peran guru tidak baik bagi Asura seperti dirinya, karena akan meningkatkan
egonya. Akan tetapi memenuhi permintaan orang yang membutuhkan pertolongan
adalah sebuah dharma, maka akhirnya dia menyanggupi Indra untuk membantu para
dewa. Wiswarupa memberikan Indra baju
pelindung besi yang kuat bernama “Narayana Kawacha”. Para dewa juga diajari
membaca mantram suci kawacha, “Om Namo Narayanaya”. Setiap bagian tubuh,
diliputi pikiran dan perasaan yang terfokus terhadap Narayana, sehingga jiwanya
dilindungi oleh Narayana. Dengan baju pelindung besi tersebut, maka Indra dapat
mengusir para Asura dari istana para dewa.
Kisah Pertarungan Dewa Indra dengan Asura Writra
Pertempuran
antara Indra dengan para dewa melawan Writra dengan para asura berlangsung
sangat seru. Para dewa tidak mempan dilukai oleh senjata asura, mereka seperti
manusia baik yang tahan dan tidak terluka oleh kata-kata para manusia picik.
Para dewa unggul dalam pertempuran dan para asura melarikan diri dari
pertempuran. Melihat penurunan moril anak buahnya Writra berteriak dengan
keras, “Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sekali kamu
dilahirkan, maka kamu pasti mati. Kematian datang dengan berbagai bentuk, dan
tidak dapat dihindari. Manakala masalahnya seperti itu, kematian karena membawa
kebenaran dan nama baik membawa akibat yang baik di kehidupan kemudian.
Keinginan banyak orang adalah mati dalam keadaan yoga, akan tetapi pada waktu
kalian melarikan diri dari perang, kematian bisa mendatangi kalian selagi
berada dalam keadaan memalukan dan fokus terakhir sebelam kematian adalah
melarikan diri, sehingga kalian akan lahir lagi sebagai seorang pengecut.
Pilihan mati dalam yoga atau mati dalam keadaan berperang tidak mungkin didapat
oleh semua orang. Kalian tidak perlu takut terhadap kematian!” Writra tidak takut mati.
Melihat para
asura yang tidak memperhatikan kata-katanya, Writra kemudian maju menyerang dan
berkata, “Para dewa jangan melawan para asura yang ketakutan, lawanlah aku!”
dan Writra mengeluarkan raungan perkasa yang menggetarkan nyali para dewa.
Indra melemparkan tongkat kebesarannya yang dapat ditangkap Writra yang
kemudian digunakan untuk melukai gajah Airawata yang digunakan Indra, sehingga
gajah tersebut terluka dan mundur. Melihat Indra tidak memakai senjata, maka
tongkatnya pun dilepaskan. Writra berkata, “Kamu telah membunuh saudaraku,
Brahmana Wiswarupa dan aku ingin membalaskan kematiannya. Wahai Indra, mengapa
kamu tidak memakai senjata wajra mu. Wajra dibuat dari tulang Resi Dadhichi dan
menurut instruksi dari Narayana sendiri. Aku tahu dimana saja Tuhan ada akan ada
kemenangan. Apakah kau ragu dengan wajramu? Wajramu telah diberkati Tuhan, maka
kau pasti akan berhasil membunuhku. Selama ini aku berpikir tentang Tuhan dan
tidak ada yang lain. Jika aku dibunuh aku hanya menyerahkan tubuh penuh dosa
ini. Aku tidak berduka!”
Kisah Chitraketu: Karma baik kehidupan sebelumnya Asura Writra
Parikesit
bertanya kepada Resi Shuka mengapa Writra, seorang asura bisa mencapai kaki
Narayana dengan jalan bhakti. Padahal dewa yang mempunyai genetika satwik dan
para resi yang mempunyai pikiran jernih, bhaktinya tidak sebesar Writra. Di
dunia ini banyak makhluk dan sedikit di antaranya adalah manusia. Dan di antara
seluruh manusia hanya sedikit yang berada di jalan dharma. Dan di antara mereka
yang berada di jalan dharma sangat sedikit yang berpikir moksha sebagai tujuan
hidupnya. Dan di antara 1.000 orang yang mengharapkan moksha hanya 1 orang yang
akan mencapai kaki Tuhan. Oleh karena itu Parikesit bertanya kepada Resi Shuka
mengapa Writra yang asura dan memerangi dewa dapat mencapai Narayana. Resi
Shuka tersenyum dan kemudian mencaritakan latar belakang kehidupan Writra.
Adalah seorang
raja dari negeri Surasena bernama Chitraketu. Chitraketu mempunyai segalanya,
istri-istri cantik, istana megah dan negeri sejahtera, hanya satu yang tidak
dipunyainya, yaitu seorang putra. Pada suatu hari Resi Angirasa putra Brahma
datang berkunjung mengajarkan brahmawidya kepadanya. Dan, setelah mendengar
masalah sang raja, dia membantu sang raja dengan memberikan ramuan ilahi buatan
Twasta, ayah dari Wiswarupa. Ramuan tersebut diberikan kepada istri tertuanya
dan dalam beberapa bulan kemudian, sang istri hamil. Sang Raja dan istrinya
sangat berbahagia dengan kelahiran putranya. Istri-istri raja yang lain menjadi
iri dan pada saat ibunya lengah mereka meracuni sang putra sehingga sang putra
meninggal dunia. Raja Chitrakethu dan istrinya menjadi sedih sekali sehingga
hidup mereka berantakan karena kesedihan akibat matinya sang putra. Negeri
tersebut menjadi suram, karena rakyatnya bingung dengan raja yang sedang
menderita kesedihan yang sangat dalam.
Kamis, 22 November 2012
Kisah Gajendra: Kesadaran dan Doa
Bukit Trikuta
terkenal karena keindahannya. Dari segala jenis tanaman, binatang-binatang
kecil sampai binatang besar, para Siddha-orang suci setengah dewa, para
Carana-penyanyi surgawi, para Gandharwa-pemusik surgawi sering ke sana. Di
tengah-tengah bukit terdapat sebuah danau yang luas dengan tanaman berbagai
jenis teratai yang mengapung di atas permukaan airnya. Di dalam bukit tersebut
tinggallah sekelompok gajah yang sangat berbahagia dengan keindahan dan
kesuburan bukit tersebut. Pada suatu hari setelah melakukan perjalanan jauh di
musim panas, mereka bermain air di danau
tersebut. Sang pemimpin gajah menyedot air dari danau dan memandikan
gajah-gajah kecil. Mereka sangat bergembira, layaknya manusia di tengah
kesenangan samsara, melupakan fakta bahwa setiap hari batas usianya semakin
bertambah pendek. Mereka juga melupakan akan adanya hal yang tak terduga yang
bisa langsung mengancam kehidupan mereka. Semuanya telah mengabaikan bahaya
yang tersembunyi dari dalam air.
Tiba-tiba
seekor buaya besar menarik kaki pemimpin gajah dengan kuatnya. Kejadian tak
terduga tersebut membuat sang gajah terkejut dan mencoba untuk melepaskan diri
dari sang buaya. Para teman-temannya berusaha membantunya tetapi gigitan sang
buaya begitu kuatnya sehingga mereka tidak berhasil melepaskan kaki sang
pemimpin. Pergumulan berlangsung sengit sampai beberapa hari, beberapa minggu,
beberapa bulan dan bahkan beberapa tahun. Bahkan para dewa hadir untuk melihat
pertarungan antara sang raja gajah dan sang raja buaya. Pelan-pelan tetapi
pasti kekuatan sang gajah mulai surut dan kekuatan sang buaya semakin perkasa.
Sang gajah akhirnya menyadari bahwa pada suatu saat dia akan kalah dan hidupnya
akan tamat, persoalannya hanya masalah waktu saja. “Aku berada dalam ancaman
yang yang nyata, dan kemampuan diriku tak akan dapat melepaskan diri dari
ancaman yang telah mencengkeram diriku. Aku menyadari tak ada seorang pun yang
dapat menolongku. Tetapi aku mempunyai suatu harapan. Aku dapat menyerahkan
diri pada Tuhan yang adalah tempat perlindungan semua makhluk, termasuk bagi
Dewa Brahma, sang pencipta. Ia pasti melindungi aku dari Yama yang berusaha
untuk menakutiku. Jika Tuhan bersamaku, kematian sendiri akan melarikan diri.
Aku akan berdoa kepada Tuhan.” “Engkau adalah Purusa, jiwa alam semesta. Dan
Prakrti, alam semesta ini berasal dari Purusa.
Engkau adalah cahaya yang menerangi kecerdasan manusia. Seluruh alam
semesta ini diciptakan oleh-Mu, dipelihara oleh-Mu dan tidak pernah terlepas
oleh-Mu. Engkau adalah penyebab di balik alam semesta. Engkau ada ada di luar
jangkauan indra, pikiran, emosi dan intelegensia. Meski engkau ada ada di luar
pemahaman, ada beberapa orang yang sudah menyatu dengan-Mu.”
Samudramanthana: Kisah Pamuteran Mandaragiri
Bhagawan
Abhyasa mengatakan bahwa peperangan antara dewa dan asura, antara kebaikan dan
kejahatan selalu terjadi sejak awal kehidupan. Demikian pula yang terjadi
dengan peperangan antara kebaikan dan kejahatan di dalam diri. Menjaga
kesadaran dan membuang pola lama harus terus dilakukan agar kesadaran tetap
terjaga. Bahwa ada asura yang baik dan berkesadaran tinggi seperti Prahlada,
membuktikan bahwa benih potensi kebaikan pun ada dalam diri tiap asura. Bali
putra Wirochana, cucu Prahlada, memiliki potensi kebaikan, akan tetapi pada
saat itu potensi kebaikan tersebut masih tertutup belenggu pola lama dari
genetik asura. Dan terjadilah beberapa kali pertempuran antara para dewa
dipimpin Indra dan para asura dipimpin Bali.
Dalam beberapa
peperangan terakhir para dewa di bawah pimpinan Indra terdesak oleh para asura
di bawah pimpinan Bali, sehingga para dewa menghadap Wisnu yang berkuasa
sebagai pemelihara alam. Mereka mohon petunjuk bagaimana caranya agar mereka
dapat terus hidup dalam melawan ketidakbenaran. Wisnu memberi petunjuk kepada
para dewa, agar mereka mengadakan
gencatan senjata dahulu dengan para asura. Mereka perlu mendapatkan Amerta, obat yang
melindungi diri dari kematian. Untuk itu samudera harus diaduk. Gunung Mandaragiri dapat di
jadikan alat pengaduk dan ular raksasa Wasuki dijadikan sebagai tali pengikat
gunung. Para dewa harus bekerja sama dengan para asura, tidak dapat bekerja
sendiri. Para Dewa harus mendapatkan Amerta yang akan keluar dari samudera. Pertama
kali akan keluar racun Kalakuta, setelah itu keluar beberapa hal lainnya.
Diharapkan para dewa tidak ngotot, dan apabila ada benda yang diminta para
asura agar diberikan saja. Para dewa diminta fokus pada Amerta.
Para asura
setuju untuk mengadakan gencatan senjata dan bekerjasama demi mendapatkan
Amerta. Hanya sebetulnya yang berada di benak para Dewa dan para Asura lain.
Para Dewa ingin mendapatkan Amerta bagi keabadian dalam menegakkan dharma, sedangkan
para Asura ingin mendapatkan keabadian dalam kenikmatan indera dan pikiran.
Sebagaimana yang terjadi dalam persaingan antara dua kelompok, mereka telah
menyiapkan rencana alternatif untuk
merebut Amerta dari tangan saingannya.
Rabu, 21 November 2012
Kisah Sukanya: Kesetiaan seorang wanita
Pada akhir
Pralaya yang ada hanya Narayana, tidak ada yang lain. Dari pusar Narayana
nampak bunga teratai dan dari bunga teratai muncul Brahma. Marici keluar dari
pikiran Brahma dan akhirnya kawin dengan Kala dan mempunyai putra Resi Kasyapa.
Kasyapa kawin dengan Aditi menurunkan para dewa diantaranya adalah Dewa Surya.
Putra Surya adalah Shraddadewa yang merupakan kelahiran kembali dari Satyawrata
yang selamat dari kalpa sebelumnya dan menjadi Manu dalam Waiwaswata Manwantara.
Ikswaku adalah keturunan Shraddhadewa yang terkenal sebagai raja agung dari
Dinasti Surya. Salah satu putra Manu adalah Saryati yang terkenal sangat adil
yang mempunyai putri bernama Sukanya. Suatu ketika Raja bepergian ke hutan
beserta rombongan pasukan dan Sukanya, sang putri turut serta. Bagi sang raja putrinya yang telah menjadi
gadis tersebut dianggapnya masih sebagai anak-anak layaknya. Semua keluarga dan
seluruh masyarakat mencintai sang putri yang sederhana dan selalu bertindak
ramah terhadap siapa saja.
Adalah seorang
Resi bernama Cyawana yang bertapa dengan keras dan seluruh tubuhnya sudah
tertutup lumpur dan dedaunan selama bertahun-tahun. Dari jauh hanya nampak
seperti gumpalan tanah dengan dua lubang di matanya. Matanya memancarkan api
yang membuat gumpalan tanah tersebut mempunyai dua buah lubang. Sang putri
bermain-main di sekeliling rombongan raja dan tertarik dengan gumpalan tanah
dengan dua buah lubang tersebut. Diambilnya ranting dan ditusukkanlah ke dalam
dua lubang tersebut. Sang resi yang tengah bermeditasi merasa terganggu dan
segera seluruh rombongan sang raja menjadi lumpuh. Sang resi kemudian bertanya
siapa yang telah mengganggu samadinya. Sukanya lari kepada sang raja dan
menceritakan kejadiannya.
Sang raja
mohon maaf atas kesalahan sang putri dan paham bahwa meditasi yang telah
dilakukan sang resi selama bertahun-tahun menjadi terganggu. Dan itu adalah
sebuah pengorbanan yang sangat besar. Untuk itu sang raja menawarkan sang putri
untuk dinikahkan dengan sang resi. Akhirnya Sukanya dinikahkan dengan Resi Cyawana
dan tinggal di hutan. Sukanya yang merasa bersalah patuh terhadap keputusan
ayahandanya. Sukanya menjadi istri yang baik yang setia terhadap suaminya dan
melayaninya dengan sebaik-baiknya. Baginya suaminya adalah wujud Narayana untuk
membimbing dirinya, dan dalam waktu yang singkat kesadaran Sukanya meningkat.
Sukanya melayani suaminya seperti Dewahuti melayani Kardama.
Kisah Nabhaka: Kepolosan seorang putra
Salah seorang
keturunan Manu adalah Nabhaka. Nabhaka sangat tekun mengikuti gurunya, sehingga
bertahun-tahun tidak pernah nampak di istana. Pada saat sang ayah berhenti
sebagai raja dan meninggalkan istana menjalankan wanaprastha, maka seluruh
harta kekayaan ayahnya dibagi oleh saudara-saudaranya. Pada saat pembagian
kekayaaan tersebut, Nabhaka ditinggal oleh para saudara-saudaranya sehingga dia
tidak mendapat bagian kekayaan. Pada saat Nabhaka kembali dari berguru dan pulang
ke istana, para saudaranya berkata bahwa seluruh harta kekayaan sang ayah telah
dibagi oleh mereka. Para saudaranya berkilah bahwa menurut kesepakatan bersama,
maka seorang anak yang sudah lama tidak muncul dianggap sudah meninggal dunia.
Mereka menetapkan hak warisan berdasarkan peraturan tersebut dan sudah
terlambat untuk membaginya lagi. Semua kekayaan sudah habis terbagi. Yang belum
dibagi adalah ayahnya, maka Nabhaka diminta mengambil ayahnya sebagai hasil
pembagian kekayaannya.
Nabhaka dengan
polos datang kepada ayahnya dan menceritakan pernyataan para saudaranya tentang
pembagian harta sang ayah dan bahwa dia mendapat bagian berupa sang ayah
sendiri. Sang ayah berkata bahwa saudara-saudaranya telah terlalu tamak
terhadap harta. Sang ayah berkata bahwa dirinya tidak seperti harta kekayaan
yang dapat membantunya memperoleh kenyamanan. Akan tetapi karena hal demikian
telah terjadi, maka sang ayah hanya akan membantu pemikiran. Sang ayah berkata,
“Anakku di dekat sini Resi Angirasa sedang mengadakan upacara persembahan yajna
Abhiplawa dan Prasthya selama enam hari. Di akhir hari keenam, Resi Angirasa
tidak akan mampu menghapal sebuah mantra yang sangat panjang, padahal tanpa
mantra tersebut, upacara yajna tidak dapat diselesaikan. Kamu agar tetap berada
dalam upacara yajna tersebut dan hapalkan dua mantra yang akan kuberikan
kepadamu. Bila mereka sukses dengan upacara tersebut, mereka akan mencapai
surga, sehingga mereka akan sangat berterima kasih kepadamu yang telah
memberikan kedua mantra tersebut. Selanjutnya mereka akan memberikan kepadamu
seluruh barang berharga yang ditinggalkan dalam upacara Yajna tersebut. Dengan
cara seperti itu maka kamu akan mendapat kekayaan.”
Kisah Resi Durwasa dan Raja Ambarisha
Resi Shuka
melanjutkan cerita tentang Bhagawata Purana kepada Parikesit, “Bhagawata adalah
pohon besar. Sesungguhnya Tuhan, Narayana adalah benih dari pohon ini. Brahma
adalah tanaman yang muncul dari benih sebagai tunas, pohon muda dan kemudian tumbuh
menjadi pohon. Narada adalah batang pohon tersebut. Bhagawan Abhyasa adalah
cabangnya. Bhagawata Purana, Kisah Ilahi yang suci adalah buah yang manis yang
terletak pada cabang pohon tersebut.”
Ambarisha
adalah putra Nabhaka yang menjadi raja bumi dengan kekayaan yang tak terukur.
Walaupun demikian, Ambarisha mempunyai keyakinan bahwa hal-hal duniawi bersifat
sementara dan hal-hal duniawi selalu mencoba memperdaya kebijaksanaan manusia.
Oleh karena itu ia menganggap kenyamanan dunia sebagai mimpi. Ia menikmati
semua kekayaannya dan kemuliaannya tetapi tidak terikat dengan dengan hal-hal
yang bersifat duniawi. Ambarisha adalah seorang bhakta Narayana seperti halnya
Nabhaka, ayahnya. Hidupnya selalu berada dalam ketenangan. Kata-kata yang
diucapkannya hanya merupakan pujian terhadap Tuhan yang selalu penuh
kelembutan. Seluruh perbuatannya hanya merupakan pelayanan terhadap semua wujud Tuhan. Pada suatu
ketika, Resi Wasistha, Asitha dan Gautama membantu sang raja dalam upacara
Aswamedha di tepi sungai Saraswati dan Narayana muncul memberi karunia kepada
sang raja dengan senjata pribadinya, “Sudarsana Chakra”. Bagi Ambarisha,
Sudarsana Chakra adalah simbol dari Narayana. Sejak masih muda, saat Ambarisha
melihat simbol Sudarsana Chakra, dia langsung merasa terhubungkan dengan
Narayana.
Senin, 19 November 2012
Siwa Purana 5
Larangan Menolak Permintaan
Om Namah Shiva Ya
Adakalanya kita melihat seseorang
menolak permintaan orang lain, terutama persoalan sedekah (danam). Terlebih
lagi yang meminta adalah pengemis jalanan, tidak tanggung-tanggung pengemis itu
hingga di usir dan dimarah-marahi.
Yang menjadi permasalahan,
seringkali sang pengemis/peminta-minta itu ternyata anak buah orang yang sudah
“mapan” atau mungkin anak buah orang kaya. Kita akan dihadapkan dengan sebuah
dilema, sedangkan agama mengajarkan bahwa dilarang menolak permintaan, terlebih
lagi permintaan dari fakir miskin, karena hal itu justru menjadi berhutang
dalam hidup ini dan di kehidupan selanjutnya. Seperti sloka berikut:
Rsi Suta berkata:
“Seseorang harus memberikan apa
yang diminta oleh orang lain sesuai dengan kemampuannya. Jika sesuatu diminta,
dan tidak diberikan maka ia akan berhutang dalam jumlah yang sama pada kelahiran
berikutnya” (Vidyeswara Samitha XIII.78).
Bersedekah sudah merupakan
kewajiban manusia, dan merupakan kewajiban utama di jaman Kali (Kali Yuga).
Bersedekah tidaklah akan menjadikan seseorang menjadi miskin. Sedekah juga
dikatakan sebagai penebusan dosa (menebus dosa yang dilakukan dengan tidak
sengaja ketika bekerja). Di dalam kitab Siwa Purana dinyatakan bahwa seorang
pedagang harus menyedekahkan hasil usahanya 6% sebelum ia menikmati hasilnya,
seorang petani 10% dari hasil pertaniannya.
Karakter 4 Punakawan Wayang Bali
Karakter Wayang Bali
oleh Sugi Lanus
Dalam pewayangan Bali, ada 4
karakter punakawan yg bisa menjadi renungan: 1) Tualen. 2) Merdah. 3) Sangut.
4) Delem. Mereka “mewakili” sikap miliaran manusia yang
dirangkum ke dalam 4 gambaran umum.
1. Tualen, dia “tidak tahu dirinya tahu”. Dia kontemplatif, murni bersandar
pada batin, sederhana dan penuh kearifan.
2. Merdah, dia “tahu dirinya tahu”. Dia paham, berani dan penuh percaya diri.
3. Sangut, dia “tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak paham, namun bersikap menerima
ketidakpahamannya, mengakui kelebihan orang lain, penuh pertimbangan.
4. Delem, dia “tidak tahu dirinya tidak tahu”. Dia tidak tahu tapi merasa tahu, dia
tidak tahu tapi tidak menerima pengetahuan orang lain, angkuh dan congkak di
depan orang-orang, dan dia tidak bisa mengukur diri. Percaya diri di
tengah ketakpahaman. Angkuh dan pongah, merasa paling benar.
Dari para punakawan ini, sadar
atau tak sadar, masyarakat Bali memetik sikap: Kita memilih berperan seperti
siapa?
Sabtu, 17 November 2012
Keutamaan Seorang Anak
Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka
By: Mertamupu
Anak atau disebut putra merupakan asset bagi orang tua dan leluhur. Anak bukan hanya bertanggungjawab atas perihal urusan kehidupan di dunia nyata bagi orang tua, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab terhadap orang tua maupun leluhurnya. Anak memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan roh orang tua dari api neraka. Oleh karena itu anak disebut putra.
Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka” (Bhagawan Dwija, 2010).
Seorang anak/putra yang suputra (anak yang baik/mulia) merupakan cahaya keluarga, seperti dinyatakan di dalam Canakya Nitisastra “Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani, insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu member kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat” (Canakya Nitisastra III.16). Sebuah keluarga tanpa anak bagaikan sayur tanpa garam, kehidupan pasangan suami istri menjadi hambar tanpa kehadiran seorang anak.
Siwa Purana 4
Memberi Tuhan Makan
Om Namah Shiwa Ya
Adakalanya orang non-Hindu beranggapan bahwa orang Hindu, Khususnya masyarakat Hindu di Bali itu orang-orang yang sangat boros. Seperti membuat ritual-ritual/upakara-upakara yang besar hingga ratusan juta bahkan miliaran sehingga hal ini dianggap mubasir.
Contoh misalnya yang kecil saja; sehabis masak biasanya orang Hindu membuat persembahan, yang biasa disebut banten saiban yang kadang disebut ngejot, dengan mempersembakan beberapa jumput nasi. Menurut keyakinan orang Hindu persembahan itu dipersembahkan untuk Tuhan, Dewa-dewi dan Jiwa-jiwa agung lainnya atau dengan bahasa yang lebih sederhana sebut saja memberi Tuhan makan. Lalu pertanyaannya apakah Tuhan Makan? Yang ada malahan hanya semut yang ramai makan nasi tersebut dan juga beberapa binatang kecil lainnya, bahkan juga kucing dan anjing.
Menanggapi pernyataan yang demikian sebenarnya hanya dibutuhkan sedikit uraian. Dengan cara pandang yang sederhana. Dalam beragama, masyarakat hindu memang boros. Boros itu tidak dibenarkan oleh agama. Masyarakat Hindu memang banyak yang membuat upacara/ritual yang mewah-mewah tetapi seringkali tidak diketahui filosofi yang terkandung, tujuannya apa? Dasar hukumnya apa?.
Jumat, 16 November 2012
Siwa Purana 3
Bersahabat Dengan Tuhan Om Namah Shiva Ya Jika bersahabat dengan manusia saja sudah begitu terasa bedanya, bagaimana jika kita bisa bersahabat dengan Tuhan? Tentu luar biasa bukan? Ketika manusia yang memiliki kelemahan saja bisa membuat sebuah perbedaan, apalagi Tuhan yang sungguh besar kasih setiaNya. Apakah kita bisa menjadi sahabat Tuhan? Jawabannya adalah bisa.
Dalam ajaran Bhagavad Gita dikatakan ada 4 jalan menuju Tuhan yang disebut dengan Catur Marga/Catur Yoga. Dari keempat jalan itu, Bhakti Yoga dikatakan yang terbaik. Seperti yang disebutkan didalam Siwa Purana, Vidyesvara Samitha III.12 “…Beliau hanya bisa dicapai dengan Bhakti yang penuh, dan tidak akan bisa dicapai dengan cara lain”.
Bhakti yoga ini didalam Bhagavata Purana dibagi menjadi Sembilan atau biasa disebut dengan Nava Bhakti atau sembilan jalan Bhakti; Sravanam (Mendengar nama suci Tuhan), Kirtanam (Memuja Tuhan), Smaranam (mengingat), Pada sevanam (melayani kaki padma-Nya), Arcanam (memuja Tuhan melalui archa/patung) dan Vandanam (memuja Tuhan melalui doa mantram dan stotra), Dasyam (menyembah Tuhan dengan kesadaran sebagai abdi), Sakhyam (bersahabat dengan Tuhan), Atma-nivedanam (penyerahan diri). Didalam Siwa Purana Rudra Samitha II.XXII.22 juga dikatakan ada sembilan jalan Bhakti. Sejak pertama saya mengenal konsep Nava Bhakti, tampaknya konsep yang paling membingungkan adalah “bersahabat dengan Tuhan” . bagaimana kita bisa bersahabat dengan Tuhan, sedangkan kita tak pernah melihat beliau?. Didalam kitab Siwa Purana diuraikan yang dimaksud bersahabat dengan Tuhan adalah bersyukur atas apa yang telah diberikan oleh-Nya, seperti disebutkan dalam sloka berikut: Keyakinan bahwa “apapun yang diberikan oleh Tuhan kepadaku, baik atau buruk, adalah demi kebaikan hamba” adalah karakteristik dari perasaan bersahabat (friendliness) pada-Nya { Siwa Purana, Rudra Samitha II.XXII.32 }.
Seperti lantunan lagu D.Masiv yang digandrungi oleh berbagai kalangan “Tak ada manusia yang terlahir sempurna,jangan kau sesali segala yang telah terjadi, kita pasti pernah dapatkan cobaan yang berat, seakan hidup ini tak ada artinya lagi. Syukuri apa yang ada hidup adalah anugerah, tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik. Tuhan pasti kan menunjukkan kebesaran dan kuasa-Nya, bagi hambanya yang sabar dan tak kenal putus asa”.
Sloka dan lagu diatas sudah seyogianya diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Iklas adalah hal yang utama dan membawa kebahagian "Sa to ād anuttama sukhalābha " (YS 2:42) Ikhlas membawa kebahagiaan tertinggi. "Asteyaprati hāyā sarvaratnopasthānam" (Yoga-Sūtra II.37) Semuanya akan datang ketika (kita) tidak mengingini yang bukan milik diri. Om Tat Sat
By: Mertamupu (Hukum Hindu)
Kamis, 15 November 2012
Siwa Purana 2
Om Namah Shiwa Ya Rsi suta berkata: “Dan jika tidak ada motivasi atau keinginan tertentu dibalik bhakti, dan pelayanannya maka ia akan segera mencapai kesadaran Siva. Dalam tiga periode waktu dalam setiap harinya maka pagi hari adalah waktu yang disarankan untuk melakukan puja wajib, siang hari untuk puja pemenuhan keinginan, sedangkan pada sore harinya adalah puja untuk mengusir segala bentuk kekuatan, dan sifat jahat. Ini juga berlangsung hingga malam harinya” (Siwa Purana, Vidyesvara Samitha, XI.63-64) .
Sloka diatas merupakan dasar hukum pelaksanaan Tri Sandya yang kita kenal di Indonesia. Masing-masing waktu Tri Sandya/sandya vandana dikenal dengan nama yang berbeda di setiap waktu/periodenya. Di pagi hari disebut prāta sa dhyā, pada siang hari disebut mādhyānika, dan di malam hari disebut sāya sa dhyā. Petunjuk diatas tidak mewajibkan untuk melakukan puja tiga kali, hanya pada pagi hari yang di haruskan. Pembagian waktu memuja Tuhan digolongkan ke dalam tiga sifat yaitu Waktu Satvika (pada pagi hari), Rajasika (pada siang hari) dan Tamasika (pada malam hari). Pada pagi hari dianggap sebagai waktu terbaik memuja Tuhan. Waktu ini berkisar antara jam 03:00-06:00 yang disebut Brahma Muhurta (Brahma/Brahman: Tuhan).
Dalam kehidupan bermasyarakat, sering kita mendengar keluhan “Mengapa kita mengenal konsep Tri Sandya/sembahyang tiga kali tetapi dalam masyarakat Hindu jarang sekali ada yang mempraktikannya, bahkan oleh rohaniawan sekalipun? Tanyalah pada rumput bergoyang. Jangan gusar, semua dapat dijelaskan dengan logis dengan dasar hukum yang jelas. Di dalam kitab Manawa Darmasastra diwajibkan sebuah keluarga melakukan pemujaan hanya dengan dua kali yaitu pada pagi hari dan malam hari/sore hari. Pemujaan di pagi hari dikatakan sebagai penubusan dosa perbuatan di malam hari, pemujaan pada malam hari sebagai penubusan dosa perbuatan pada siang hari. Pemujaan dua kali ini yang lebih cocok dengan masyarakat kebanyakan. Ketentuan ini lebih banyak di praktikan di masyarakat.
Bagaimana pula dengan mereka yang bahkan tak pernah sembahyang? Ini pun sebenarnya masih memiliki dasar hukumnya yaitu ada di dalam Bhagavad Gita. Ada empat jalan untuk mencari Tuhan yang disebut Catur Marga Yoga/Catur Yoga. Karma Yoga; berbhakti kepada tuhan dengan berbuat kebajikan di dunia, dengan berbuat sebagai tidak berbuat (bekerja dengan iklas). Janana Yoga; berbhakti kepada Tuhan dengan berkecimpung dibidang pengetahuan, khususnya pengetahuan rohani. Raja Yoga; berbhakti kepada tuhan dengan jalan Yoga/meditasi, Tapa brata dll. Bhakti Yoga; berbhakti kepada Tuhan dengan jalan Bhakti yaitu melayani kaki padma Tuhan dan melantunkan nama-nama suci Tuhan pada setiap saat dengan Ikhlas.
By: Mertamupu (Hukum Hindu)
Siwa Purana 1
Brahma berkata: “Ia yang dari-Nya kata-kata berasal, yang tidak bisa didekati bahkan oleh pikiran, Ia yang dari-Nya seluruh alam semesta termasuk Brahma, Wisnu, dan Rudra, para dewa lainnya, semua elemen, dan organ indera bersatu pada saat pertama kalinya. Ia adalah Mahadewa, yang maha tahu, penguasa alam semesta. Beliau hanya bisa dicapai dengan Bhakti yang penuh, dan tidak akan bisa dicapai dengan cara lain. (Siwa Purana, Vidyesvara Samitha III.12)
Sloka ini di uraikan ketika para dewa bingung, siapa sebenarnya penguasa yang sebenarnya di alam semesta ini, baik dalam dunia rohani (alam niskala “sorga/ kahyangan, brahma loka”) maupun dunia material (alam sekala “planet-planet dan tata surya lainnya”). Oleh karena para Dewa dan para Rsi di kahyangan bingung maka para dewa dan para Rsi menanyakannya kepada Dewa Brahma, kemudian Brahma menjelaskan, seperti pada sloka diatas. Untuk mencapai beliau yang Maha tinggi hanya satu jalan untuk mencapai beliau yaitu Bhakti.
Hal ini juga sejalan dengan sloka Bhagavad Gita. Dimana disebutkan ada empat jalan untuk mencari Tuhan (Catur Yoga), tetapi beliau hanya bisa dicapai dengan Bhakti Yoga. Bhakti yoga adalah istilah dalam agama Hindu yang merujuk kepada praktik pemujaan dengan tulus ikhlas kepada Tuhan maupun kepribadiannya (cermati konsep Nirguna Brahman dan Saguna Brahman). Memuja Tuhan tanpa motif, tanpa terikat oleh pahala, tanpa tujuan, tanpa permohonan. Hal inilah disebut sebagai Bhakti yoga marga. Memuja Tuhan hanya dimaksudkan sebagai rasa Bhakti dan kewajiban serta pelayanan kepada beliau dengan mencintai/mengasihi semua ciptaan-Nya.
By: Mertamupu (Hukum Hindu)
Rabu, 14 November 2012
Pengertian "Artha"
ARTHA, SIDDHARTHA & PARAMARTHA
Oleh: Sugi Lanus
Kata artha diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi harta atau arta yang berarti kekayaan (uang di
dalamnya). Dikenal luas istilah arta benda yang bermakna berbagai benda
kepemilikan. Berkembang pula ungkapan gila harta: mabuk kepayang lupa
laut-daratan diperbudak nafsu menimbun kekayaan (duit); dan istilah gila harta
sepadang dengan mata duitan, atau dalam ungkapan zaman sekarang kerap disebut
matre! Apa sesungguhnya makna kata artha?
ARTHA dalam literatur SANSEKERTA
Dalam literatur Sansekerta, kata
artha mengandung makna yang netral. Artha berarti tujuan. Simak saja gelar
beliau yang tercerahi meraih kesempurnaan pikiran dalam samadi, beliau yang
telah mencapai ke-buddha-an bergelar SIDDHARTHA (siddha+artha). Beliau yang
terjapai dan terpenuhi (siddha) tujuannya (artha). Artha dalam konteks
siddhartha adalah tujuan mulia kehidupan yaitu pencerahan bathiniah. Tujuan
perjalanan sang roh, yaitu tercerahi atau moksa.
Demikian juga artha dalam Catur
Purusartha (catur=empat; purusa=manusia, tertinggi; artha=tujuan). Penyusun
Catur Purusartha adalah dharma, artha, kama, moksa. Jika digambarkan seekor
burung; dharma dan artha berada di satu sayap, dan kama dan moksa adalah sayap
lainnya. Ada kewajiban (dharma) dan tujuan (artha), ada getar energi (kama) dan
keheningan tertinggi (moksa). Empat variable kehidupan itulah yang menjadi
pilar-pilar penyusun dan sekaligus saran pembebasan manusia.
Śrīmad Bhāgavatam, 5.6.17, menyebutkan:
parama-puruṣa-artham — bermakna the best of all human achievements.
Parama=tertinggi, purusa=manusia, artham=pencapaian. Sebait kutipan itu
berbunyi seperti ini: yasyām eva kavaya ātmānam avirataḿ vividha-vṛjina-saḿsāra-paritāpopatapyamānam
anusavanaḿ snāpayantas tayaivaparayā nirvṛtyā hy apavargam ātyantikaḿ
parama-puruṣārtham api svayam āsāditaḿ no evādriyante
bhagavadīyatvenaivaparisamāpta-sarvārthāḥ
[Pelayan Tuhan selalu menyucikan
diri dalam pelayanan kebaktian agar terbebas dari berbagai kesengsaraan
eksistensi material. Dengan jalan ini, pelayan Tuhan menikmati kebahagiaan
tertinggi (parama-puruṣārtham), dan pembebasan dipersonifikasikan(bahkan)
datang untuk melayani mereka. Meskipun demikian, mereka tidak menerima layanan
tersebut, sekalipun jika ditawarkan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk pelayan Tuhan,
pembebasan (mukti) menjadi tidak penting karena mereka telah mencapai
mencapaian transendental melalui pelayanan kasih, mereka telah mencapai semua
yang diinginkan dan telah melampaui semua keinginan material].
Bali dan Agama Tirta
Air, Agama Tirta dan Pariwisata Bali
Oleh Sugi Lanus*
Ada yang dilupakan oleh sebagian
besar masyarakat Bali dalam menata pembangunan Bali, yaitu air. Air dalam
sejarah peradaban Bali memiliki peran paling vital, baik secara spiritual maupun
material. Teknologi irigasi tradisional, pola pengorganisasian pembagian air,
ritual dan demokrasi dalam penjatahan air di daerah-daerah pertanian, telah
mengkristal menjadi ”institut” subak. Ini menjadi kebanggaan kita semua orang
Bali, sebagai sebuah hasil kearifan masyarakat Bali. Walaupun kalau kita jujur,
sebagian dari kita tak banyak mengerti kearifan leluhur yang diwariskannya
dalam tradisi subak, karena kaki dan tangan generasi kita kebanyakan tak pernah
menyentuh lumpur sawah dan tegalan. Kita lebih akrab dengan jalan raya,
pertokoan, pelataran hotel, sekolah pariwisata dan institusi-institusi modern.
Agama masyarakat Bali, sebelum
kemerdekaan dan era keindonesiaan, oleh generasi 1920-an lebih condong disebut
sebagai Agama Tirta. Bacalah kembali dialog-dialog dalam bentuk tulisan di
majalah atau terbitan era itu, yaitu Surya Kanta, Jatayu, dan Bali Adnyana.
Dalam nama Agama Tirta ini,
secara verbal sudah menyatakan bahwa air/tirta menduduki posisi paling hakiki,
dan paling sakral. Hingga kini, kalau kita amati secara mendalam, adakah sebuah
upakara/ritual di Bali yang bisa di-puput tanpa tirta? Tidak ada. Upacara
selalu terkait dengan mata air, beji dan patirtan. Tak ada pewalian atau odalan
tanpa rangkaian mendak tirta (menjemput tirta). Ini sebuah bentuk sublim
penghargaan terhadap ibu. Ini bisa kita lihat dari roh suci yang menjaga sumber
air dan sungai selalu feminin, bergelar Dewi, Ratu Ayu, atau Batari. Bukankah
ini sebuah warisan “pelajaran gender” dan feminisme yang diturunkan dalam ritual?
Selasa, 13 November 2012
Pemaknaan Sembah Puyung
Sembah Puyung dan
Puyung Maisi
BY SUGI LANÚS
Mataram, 7 Oktober
2010
Sembah Puyung adalah doa yang
pertama (pembuka) dalam rangkaian Panca Sembah (5 puja-doa) yang bersifat
“standar” dalam persembahyangan masyarakat Hindu-Bali.
Dalam Sembah Puyung kedua telapak
tangan dan jari-jari dicakup di atas kepala. Tangan kosong. Orang Bali selama
ini banyak yang keliru dan menyederhanakan: Disebut Sembah Puyung karena tangan
kosong tanpa sarana bunga. Puyung memang mengandung makna kosong tapi sekaligus
mencakup embang (sepi dan hening). Akibat ketakpahaman akan makna istilah
Sembah Puyung, mereka kadang mengganti istilah Sembah Puyung menjadi: Sembah
tanpa serana (sembah tanpa sarana). Maksudnya tanpa memakai sarana bunga. Keluh
mereka yang tak paham, “Masak kita sembah kosong! Menyembah kosong?”
Orang lupa bahwa mantra Sembah
Puyung: “Om àtmà tattwàtmà sùddhamàm swàha”.
Atma adalah esensi puyung
(kekosongan/keheningan). Puji pada esensi keheningan diri (atma) yang menjadi
pembuka doa Panca Sembah, lalu penutup Panca Sembah adalah Ngaturang Parama
Shanti, berkulminasi pada shanti (kedamaian). Puyung dalam kontek sebuah
ungkapan terdalam dalam masyarakat Bali: “Puyung Maisi” (Kosong berisi), atau
dalam bentuk kalimat lain: Ngalih isin puyung (Menelisik isi sepi); membuat
jelas bahwa Puyung bukan bermakna kosong melompong. Puyung adalah titik dimana
berhentinya materi dan penampakan. Titik dimana kita diajak menjadi lebih
mendalam. Menghayati yang tak tampak. Baik di dalam dan di luar diri.
Pemaknaan "Majejahitan" Pada Manusia Bali
Majejahitan: Pewarisan Kesadaran
Estetika Manusia Bali
oleh Sugi Lanus
Karang Jasi, Cakranegara, 14 Nopember 2005
Setiap orang Bali, walaupun ia
terlahir sebagai laki-laki, pasti pernah matanding atau majejahitan. Metanding
adalah kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata berbagai bahan sesaji
sehingga menjadi sebuah keutuhan sebuah banten (sesaji). Sementara majejahitan
merupakan bagian dari matanding, yaitu menjahit janur dirangkai dengan berbagai
bunga dan daun-daunan tertentu. Mejejahitan menghasilkan canang (merangkai
janur dan warna-warni bunga dan daun). Canang dan berbagai hasil majejahitan
dipersatukan dalam matanding menjadi banten. Walaupun jarang yang aktif,
biasanya anak laki-laki dilibatkan juga dalam memetik bunga, memanjat kelapa,
mencari janur, atau berbagai perlengkapan dalam tahap persiapan.
Bagi para ibu dan anak perempuan
Bali, membuat untaian keindahan (majejahitan dan metanding) adalah “mata pelajaran
pokok” dalam kehidupannya. Laki-laki mendampingi untuk mempersiapkan
bahan-bahannya. Setiap hari diwajibkan untuk membuat canang atau tangkih untuk
persembahan pagi atau sore. Canang adalah peraduan berbagai unsur-unsur
keindahan. Berbagai jenis dan warna bunga, janur, dupa, beras, dstnya. Mereka
dirangkai, dijahit, ditata atau ditanding menjadi sebuah kesatuan yang kita
sebut canang. Kata canang mengandung arti persembahan. Persembahan atau canang
kita adalah keindahan. Keindahan bentuknya dan tentunya juga keindahan hati
pembuatnya.
Biasanya canang atau metanding
(menata sesaji) dilakukan di atas meja. Atau tikar. Yang beruntung punya bale
(bangunan khusus untuk matanding) mereka membuatnya disana. Janur dituas. Lalu
dijahit dengan ketelitian yang tinggi. Berbagai bentuk kurva dan persegi. Di
sini orang Bali diperkenalkan pada dimensi dan bentuk. Janur yang dijahit ini
menjadi semacam penyangga bagi bunga-bunga yang dirangkai di atasnya.
Dilengkapi berbagai kelengkapan tambahan sesuai kebiasaan atau tata cara
keluarga atau desa bersangkutan.
Pengorbanan Sunahsepa, Putra Resi Ajigarta
Trisanku
adalah salah seorang raja dari dinasti Surya. Putra Trisanku adalah
Harischandra. Raja Harischandra mempunyai suatu masalah dan masalah tersebut
hanya dapat terselesaikan apabila istrinya melahirkan seorang putra. Sang raja
membuat perjanjian dengan Waruna, bahwa Waruna akan membantu sang raja
mendapatkan seorang putra, tetapi setelah sang putra lahir, putra tersebut akan
dipersembahkan kepada Waruna. Demikian kesepakatannya.
Ketika Rohita,
sang putra lahir, sang raja mohon tenggat waktu kepada Waruna agar acara ritual
pengorbanan “Narameda”, pengorbanan menggunakan manusia sebagai persembahan
ditunda, menunggu sang bayi keluar giginya, agar persembahan bisa menjadi lebih
sempurna. Saat gigi sang bayi sudah tumbuh, dan Waruna datang menagih janji,
kembali sang raja mohon penundaan karena salah satu giginya sedang tanggal dan
menunggu tumbuh. Demikian berkali-kali, sampai suatu saat sang raja mohon
pengorbanan ditunda sampai sang putra dapat memakai senjata, agar pengorbanan
menjadi lebih sempurna saat putranya menjadi seorang ksatria remaja.
Penundaan
tersebut dilakukan penuh perhitungan agar Rohita cepat menjadi dewasa dan
memahami keadaannya. Ada rasa penyesalan yang dalam di hati sang raja, mengapa
harus mengorbankan putranya yang tidak tahu apa-apa. Masalahnya adalah
perjanjian Waruna dengan dirinya, bukan dengan sang putra. Seandainya Rohita
cepat memahami persoalan dan melarikan diri, maka dirinya siap menghadapi apa
pun yang akan terjadi dengan sepenuh hati.
Raja Bhagiratha: Kisah Turunnya Sungai Gangga
Raja Bahuka
dari dinasti Surya meninggal dan salah seorang istrinya akan masuk tempat
pembakaran mayat. Sang istri dihentikan para resi karena mereka mengetahui
bahwa ia sedang hamil. Isteri yang lain kemudian menjadi iri karena hanya dia
yang hamil. Berarti hanya istri tersebut yang akan menurunkan seorang putra
mahkota. Para istri Bahuka lainnya mencampur racun dalam makanan istri Bahuka
yang sedang hamil tersebut. Harapan mereka gagal, sang anak tetap lahir dan
menjadi putra mahkota. Dia dinamakan Sagara, dia yang beracun.
Sagara
akhirnya menjadi maharaja dan melakukan ritual Aswamedha, ritual menggunakan
kuda diikuti pasukan lengkap. Para raja yang tidak berani mengganggu kuda
tersebut berarti menyatakan tunduk kepada maharaja. Mereka yang berani
mengganggu akan langsung diperangi pasukan raja tersebut. Alkisah kuda yang
dipakai sebagai ritual tersebut dicuri Dewa Indra dan diletakkan dalam gua
tempat Resi Kapila bertapa. Para putra Sagara yang berjumlah 60.000 orang
mencari jejak kuda dan akhirnya sampai ke gua Resi Kapila. Para putra raja
merasa sangat marah karena ada orang yang berani mencuri kuda ritual Aswamedha.
Mereka tersinggung, karena orang yang mencuri kuda tersebut berarti menantang
maharaja. Mereka menemukan kuda yang dicari berada di belakang Resi Kapila yang
sedang bertapa. Mereka berkata, “Lihat pencuri kuda ini, berpura-pura bertapa
setelah mencuri kuda, mari kita bunuh dia beramai-ramai!” Dalam keadaan marah
karena ada yang mengganggu acara Aswamedha, mereka tidak dapat melihat seorang
Resi Suci yang mungkin tidak tahu permasalahannya. Resi Kapila yang terganggu
tapanya, membuka mata dan sorotan mata sang resi membuat 60.000 putra Sagara
menjadi debu. Bhagawan Abyasa, sang penulis menyampaikan bahwa kemarahan yang
tak dapat dikendalikan akan membunuh diri sendiri.
Kisah Kasih Rantidewa
Dalam
Dinasti Bharata ada seorang pangeran bernama Rantidewa. Ia mempunyai kekayaan
yang tak terkira, tetapi ia selalu membaginya kepada orang yang membutuhkannya.
Di balik materi yang dimiliki Pangeran Rantidewa, terdapat rasa kasih yang
begitu besar. Semua harta benda yang diberikan kepadanya, dibagikan kepada
mereka yang membutuhkannnya. Pangeran Rantidewa sudah tidak mempunyai rasa
‘aku’ dan ‘milikku’. Pangeran Rantidewa sudah mengalahkan egonya, jiwanya sudah
tidak sakit. Gusti Hyang Maha Kuasa juga menganugerahkan kepadanya istri dan
anak-anak yang memahami jiwa sang pangeran.
Dikisahkan
ada suatu saat Pangeran Rantidewa pernah sudah tidak mempunyai apa pun juga.
Pada saat itu tubuh pangeran Rantidewa sangat lemah. Sudah empat puluh delapan
hari sang pangeran tanpa memiliki suatu apa pun. Bahkan tidak ada makanan yang
tersedia di depan Pangeran Rantidewa beserta isteri dan anak-anaknya. Yang
tersisa pada sang pangeran hanya rasa kepuasan diri setelah membantu mereka
yang membutuhkan bantuan.
Pada
hari keempat puluh sembilan, dikisahkan sang pangeran memperoleh makanan.
Setelah selesai berdoa dan bersiap untuk
makan, seorang brahmana datang meminta makanan. Rantidewa berkata kepada
dirinya sendiri, “Hyang Widhi ada di mana-mana dan sekarang Ia telah datang
kepadaku meminta makanan. Merupakan kebahagiaan bagi diriku untuk dapat
melayani Hyang Widhi di balik wujud sang brahmana.” Dan, sebagian makanan
diserahkan kepada tamunya. Kemudian,
isteri dan anaknya mendapatkan sebagian.
Raja Saudasa: Perjuangan mencari kesadaran
Raja Saudasa
putra Raja Bhagirata adalah raja yang adil dan bijaksana. Pada suatu hari dia
pergi berburu di hutan, bertemu dengan seorang raksasa dan membunuhnya. Pada
saat dia kembali ke istana dia tidak sadar bahwa ada saudara raksasa tersebut
ingin membalas dendam kepadanya dan kemudian masuk ke istana menyamar sebagai
seorang juru masak istana.
Pada suatu
ketika Wasistha. Guru Saudasa datang berkunjung dan sang raja menawari gurunya
untuk makan bersama. Sang raksasa yang menjadi juru masak istana, memasak
daging manusia untuk makanan yang disajikan kepada Resi Wasistha. Resi Wasistha
murka kala tahu bahwa dia disuguhi makanan dari daging manusia dan kemudian
mengutuk sang raja bahwa tidak sepantasnya seorang raja menyuguh gurunya daging
manusia, hanya seorang raksasa yang berbuat demikian. Kemudian Resi Wasistha
sadar bahwa mungkin saja sang raja tidak tahu bahwa yang disuguhkan adalah
daging manusia, mungkin saja hal tersebut adalah kesalahan juru masaknya. Oleh
karenanya Resi Wasistha mengubah kutukan sehingga sang raja akan menjadi
raksasa selama 12 tahun.
Raja Saudasa
merasa tersinggung karena tidak merasa bersalah, dan mengambil air dan siap
untuk ganti mengutuk Resi Wasistha. Adalah permaisuri raja, Madayanti yang
mengingatkan bahwa tak baik mengutuk seorang guru. Mungkin saja di kehidupan
dahulu sang raja pernah berbuat salah sehingga dalam kehidupan ini harus
menyelesaikan hutang karma. Dengan mengutuk maka sang raja akan membuat karma
baru lagi sehingga hutang karmanya tak pernah terselesaikan dan bahkan akan
mendapatkan anak keturunan yang kurang baik. Sang raja sadar bahwa peringatan
istrinya ada benarnya sehingga dia mengurungkan mengutuk gurunya dan airnya
dijatuhkan ke kakinya. Kakinya menjadi hitam, gelap sehingga sang raja mendapat
nama “Kalmasapada”, kaki malam.
Senin, 12 November 2012
Kisah Raja Pururawa: sebuah kehendak yang kuat
Pururawa
adalah putra Buddha dari dinasti Chandra denga Ila dari dinasti Surya. Pururawa
terkenal mempunyai ketampanan seperti Soma, sang kakek akan tetapi mempunyai
kebijaksanaan seperti Buddha, sang ayah. Dikisahkan Dewaresi Narada sedang
bercerita tentang kebaikan dan ketampanan Raja Pururawa, ketika seorang
bidadari cantik Urwasi menjadi jatuh cinta kepada sang raja.
Pada saat
Pururawa ketemu bidadari Urwasi mereka saling jatuh cinta. Akan tetapi Urwasi
mengajukan dua syarat kepada Pururawa yang berniat mempersuntingnya. Pertama,
Urwasi mempunyai kambing kesayangan yang harus dilindungi. Kedua Urwasi tidak
boleh melihat sang raja telanjang, kecuali saat mereka sedang bercinta saja.
Pururawa menyanggupi dan jadilah mereka suami istri yang bahagia.
Adalah Dewa
Indra yang selalu mengganggu ketenangan hidup manusia. Mungkin bukan mengganggu
tetapi menguji apakah manusia selalu berada dalam kesadaran, atau sekali waktu
masih menuruti pancaindra, pikiran dan perasaannya. Dikisahkan bahwa setelah
beberapa bulan, Indra merasa surga menjadi muram dengan kehilangan Urwasi dan
Indra berusaha mengembalikan Urwasi ke surga. Pada suatu ketika, sewaktu
Pururawa dan Urwasi tidur nyenyak, datang para gandharwa utusan Indra untuk
mengambil kambing Urwasi. Sang kambing mengembik karena ditarik dengan paksa.
Urwasi berteriak bahwa ada pencuri yang mengambil kambing kesayangannya. Dalam
keadaan buru-buru Pururawa mengambil senjatanya dan meloncat keluar dalam
keadaan telanjang. Urwasi melihat suaminya dalam keadaan telanjang dan
sebagaimana janjinya dahulu, maka dia menghilang. Para gandharwa segera
melepaskan melepaskan sang kambing, tetapi Urwasi telah lenyap.
Kisah Raja Gadhi dan Resi Ruchika
Raja Gadhi
adalah generasi ke 14 dari keturunan Raja Pururawa. Sang raja sudah lama belum
mempunyai putra, walau sudah mempunyai putri seorang gadis bernama Satyawati.
Adalah seorang resi bernama Ruchika yang merupakan resi besar anak keturunan
Resi Brighu putra Brahma, melamar sang putri. Sang raja menyetujui asalkan sang
resi dapat memberikan 1.000 ekor kuda putih yang telinganya berwarna hitam
sebagai mas kawin. Resi Ruchika bertapa dan meminta kepada Waruna, raja samudra
untuk membantunya. Dengan bantuan Waruna, sang resi berhasil membawa
persyaratan tersebut dan dia menjadi suami dari Satyawati.
Pada masa itu,
para resi dipandang sebagai manusia terhormat yang tidak begitu terikat dengan
keduniawian dan tugasnya mengajar manusia ke arah kebaikan. Sedangkan para ksatria
dan para raja yang berkuasa pada masa itu sering menyalahgunakan kekuasaannya.
Raja Gadhi sendiri adalah seorang raja yang bijaksana yang dihormati para resi
dan seluruh rakyatnya.
Kedua ibu dan
anak, Permaisuri Raja Gadhi dan Satyawati, minta tolong Resi Ruchika, suami
Satyawati agar dapat membantu mereka memperoleh putra. Resi Ruchika kemudian
mempersiapkan dua mangkuk berisi air untuk diminum istrinya dan ibu mertuanya.
Kemudian sang resi pergi ke sungai melaksanakan ritual doa saat matahari mulai
tenggelam.
Kendali Kemarahan
Kemarahan
tanpa kendali akan menghancurkan diri sendiri. Saat seseorang marah, ia
mengaktifkan beberapa kelenjar dalam tubuhnya. Hal ini menyebabkan terjadinya
kelimpahan adrenalin dan beberapa hormon stres yang lain, dengan efek-efek yang
nyata pada fisik Anda. Wajah menjadi merah, tekanan darah semakin tinggi, nada
suara kita menjadi tinggi, pernafasan kita menjadi cepat, detak jantung tidak
teratur dan otot-otot kaki maupun tengan mulai tegang. Seluruh tubuh kita
merasakan perubahan semacam ini. Apabila seseorang sering marah, keadaan itu
akan berulang terus dan pada akhirnya dapat menimbulkan masalah-masalah
kesehatan yang serius. Situasi seperti ini dapat menyebabkan timbulnya
penyakit-penyakit seperti tekanan darah tinggi, stroke, penyakit jantung, maag,
dan lain sebagainya. Karena itu, demi kebaikan Anda sendiri, hendaknya Anda
mengendalikan emosi kemarahan ini.
Ada tiga cara
untuk menangani kemarahan. Yang pertama adalah dengan cara mengekspresikannya.
Para ahli ilmu berpendapat bahwa ini adalah cara yang terbaik. Dengan
menyatakan atau mengekspresikan kemarahan, kita membagi beban pikiran kita
dengan orang lain dan karena beban atau sebagian beban itu terangkat dari kita,
kita lalu merasakan ketenteraman. Pendapat itu memang benar, namun keadaan
semacam ini tidak langgeng. Kita tidak pernah bebas dari kegelisahan. Pada
akhirnya, kemarahan menjadi kebiasaan dan Anda menjadi budak amarah. Anda
menjadi budaknya dan amarah adalah atasan yang kejam. Saya pernah mendengar
tentang seorang ibu yang membakar anaknya hanya karena marah.
Cara kedua
adalah dengan menahan atau menekan kemarahan. Ini pun tidak bagus, karena
menekan kemarahan hanya memaksanya untuk menjadi bagian dari alam bawah sadar
kita, dan dapat membahayakan kita. Cara ketiga dan cara yang benar adalah
dengan memaafkan. Maafkan dan bebaskan diri Anda dari kegelisahan! Setiap malam
sebelum tidur, renungkan kembali sejenak kejadian-kejadian sepanjang hari yang
telah Anda lalui. Apakah ada seseorang yang menipu Anda? Apakah ada yang
menyinggung perasaan atau menghina Anda? Kalau ada, ucapkan namanya dan
katakan, “Sdr. X, saya maafkan Anda.”
Jumat, 09 November 2012
Kisah Parashurama
Renuka adalah
istri dari Resi Jamadagni, Resi Besar dari Dinasti Bhrigu. Renuka mempunyai
putra empat orang akan tetapi kesemuanya tidak mempunyai karakter kesatria.
Padahal Satyawati, ibu mertuanya menceritakan bahwa salah seorang putranya akan
mempunyai karakter seorang ksatria sejati. Pada saat itu Renuka mengandung
calon putra yang kelima, para resi datang menyampaikan berita bahwa putranya
akan menjadi brahmana yang bersifat kesatria dan akan membersihkan dunia dari
para kesatria yang telah berkubang dalam tindakan adharma. Pada saat itu para
kesatria yang menjadi penguasa yang seharusnya melindungi rakyat, malah
menindas rakyatnya. Akhirnya putra kelima lahir diberi nama Rama, yang bermakna
Dia Yang Berada di Mana-Mana. Setelah besar dia dikenal sebagai Parashurama,
karena dia bersenjatakan “parashu”, kapak. Dia juga dikenal sebagai Rama Barghawa
karena merupakan keturunan dari Dinasti Bhrigu. Sejak kecil sudah diramalkan
para resi bahwa dia adalah awatara, Sang Pemelihara Alam yang mewujud untuk
menegakkan dharma.
Dunia selalu
berubah dan Sang Pemelihara Alam juga mengubah wujudnya dalam menegakkan
dharma. Dia mewujud sebagai ikan, binatang air – Matsya Awatara, sebagai
kura-kura, binatang amphibi – Kurma Awatara, dan mewujud sebagai babi raksasa,
binatang berkaki empat – Waraha Awatara. Kemudian mewujud sebagai setengah
binatang dan setengah manusia – Narasimha Awatara. Selanjutnya Sang Pemelihara
Alam mewujud sebagai Brahmana pada waktu menjadi Wamana Awatara. Kemudian kala
mewujud sebagai Parashurama adalah sebagai Brahmana dengan karakter ksatria. Nantinya
Sang Pemelihara Alam akan mewujud sebagai ksatria untuk menegakkan dharma
sebagai Rama dan Krishna. Dan kemudian sebagai Buddha yang lahir sebagai ksatria
tetapi kemudian menjadi brahmana.
Langganan:
Postingan (Atom)