Jumat, 30 November 2012

Kisah Dhruwa: Kegigihan Tekad Seorang Anak Menemukan Tuhan


Uttanapada putra Manu mempunyai dua istri: Suniti dan Suruchi. Suniti mempunyai putra bernama Dhruwa dan Suruchi mempunyai putra bernama Uttama. Pada suatu saat Raja bermain dengan Uttama dan sang putra duduk dalam pangkuannya. Dhruwa datang dan ingin duduk di pangkuan ayahnya juga. Suruchi, ibu tiri Dhruwa mendatangi Dhruwa, menyeretnya menjauhi suaminya dan berkata, “Dhruwa, kamu adalah putra raja juga, akan tetapi kamu bukan putraku, kau tidak akan memperoleh perlakuan yang sama dengan Uttama. Kau adalah anak sial. Kesialanmu adalah karena kamu putra perempuan yang bukan diriku. Jika ingin mendapat perlakuan yang sama dengan Uttama, maka kau harus bertapa agar dikehidupan berikutnya kau lahir dari Suruchi bukan lahir lewat ibumu!”

Raja mendengarkan, akan tetapi dia diam saja, karena dia memang lebih sayang kepada Suruchi daripada Suniti. Dhruwa kecil sakit hati atas kata-kata kejam ibu tirinya dan menoleh kepada ayahnya yang hanya diam saja. Dhruwa kemudian lari menuju ibunya dan menangis terisak-isak. Suniti langsung memangkunya dan ikut menangis. Suniti berkata, “Dhruwa, ada dua jalan untuk menyelesaikan kekecewaan, jalan pertama berupaya memenuhi keinginanmu, akan tetapi raja memang lebih suka pada Suruchi daripada aku. Ada benarnya juga kata Suruchi, bahwa ini terkait dengan masalah sebab-akibat di masa lalu, sehingga kau dapat memperbaiki nasib dengan jalan berbuat kebaikan. Jalan kedua adalah jalannya orang yang gigih, jalannya orang bijak yaitu tidak berkeinginan lagi terhadap sesuatu. Bila seseorang sudah menyaksikan Narayana, maka dia sudah tidak menginginkan apa-apa lagi. Putraku, berdoalah kepada Narayana Yang Agung, tempat perlindungan bagi semua yang menderita. Setelah bertemu dengannya, maka kau tidak menginginkan yang lainnya lagi.” Suniti tidak pernah mengira bahwa perkataannya untuk menenangkan Dhruwa, menjadi pemicu baginya untuk menemukan Narayana.

Dhruwa kecil bertekad melakukan nasihat ibunya, dia mengembara meninggalkan kota tanpa tahu bagaimana caranya berdoa kepada Narayana. Dewaresi Narada mengetahui peristiwa ini dan teringat peristiwa sewaktu dia seusia Dhruwa sedang mengembara mencari Narayana. Bedanya Narada sudah mendapat pengetahuan dari para resi yang bertemu dengannya dan dia sudah tidak punya orang tua pada saat mengembara, sedangkan Dhruwa belum tahu cara berdoa dan meninggalkan ayah dan ibunya yang masih hidup di istana. Narada berniat membantu Dhruwa, seorang anak berjiwa kesatria yang terluka oleh kata-kata tajam ibu tirinya. Narada menemui Dhruwa dan memegang kepalanya seraya berkata, “Kamu masih seorang anak-anak. Kamu masih berusia lima tahun. Seharusnya tempatmu berada dekat mainan. Kamu terlalu muda untuk memahami pujian atau hinaan atau pujian terhadapmu. Di dunia ini ada yang memuji dan ada yang menghina, ada yang baik dan ada yang jahat, semuanya berdasarkan hukum sebab-akibat, semua yang dialami adalah akibat dari perbuatan sendiri. Sebenarnya, adalah khayalan manusia yang menyebabkan ini. Jika rahmat Tuhan bersamamu, maka kau akan berbahagia. Rahmat adalah satu-satunya hal yang berguna. Ibumu telah memintamu agar kau berlindung pada Narayana. Dan, aku mengetahui bahwa kamu bertekad untuk melakukan tapa untuk mencapai Dia. Anakku, tidak mudah untuk mencapai-Nya. Para resi dan yogi sudah melakukan tapa bertahun-tahun tetap belum mampu mencapai Dia. Itu memerlukan fokus, memerlukan pengorbanan, memerlukan kesabaran dan juga pelepasan dari keterikatan pada yang lain. Walupun semua upaya tersebut sudah dilakukan, Dia sangat susah dicapai. Hentikan pencarian ini, kamu masih anak-anak”.

Dhruwa lama memperhatikan resi dihadapannya, diperhatikannya “Wina” yang dipegangnya. Dhruwa segera bersujud. Nampak seperti Dhruwa bersujud kepada Sang Resi, padahal anak kecil tersebut bersujud hanya kepada Narayana, dan kali ini dia merasa bahwa Narayana telah mengutus Sang Resi untuk membimbingnya. Dhruwa bersujud kepada Narayana yang bersemayam dalam tubuh Narada. Dhruwa berkata, “Engkau adalah Dewaresi Narada, sang pembawa pesan Tuhan! Aku sangat beruntung bertemu dengan Engkau yang dapat menjelaskan rahasia hukum sebab-akibat dan bagaimana caranya agar tidak terpengaruh terhadap rasa kesenangan maupun penderitaan. Bahwa aku mengalami perbedaan kelakuan ayahandaku terhadap saudara tiriku, bahwa ibu tiriku mengeluarkan kata-kata tajam, itu semua adalah akibat dari perbuatanku sendiri di masa lalu. Aku sangat berterima kasih diberitahu bahwa rahmat Tuhan adalah satu-satunya hal yang berguna. Wahai Dewaresi Narada, kasihanilah diriku, tunjukkan jalan kepadaku bagaimana cara mencapai Tuhan. Aku sudah mendengar dari ibuku, bahwa Kau adalah putra Brahma. Dan kau memetik dawai winamu untuk membangkitkan rasa kasih. Penulis besar Bhagawan Abiyasa pun pernah mendapat petunjukmu. Berilah hamba petunjuk resi!”

Narada berkata, “Jalan yang ditunjukkan ibumu adalah jalan yang benar. Tidak benar apabila kau marah atau membenci seseorang yang menyakitimu, hal tersebut justru membebanimu dan membuat kau semakin terikat ke dunia. Pasrahkan segala sesuatu kepada-Nya. Tempat perlindungan tertinggi adalah Narayana. Anakku pergilah ke tepi sungai Yamuna, ke tempat suci yang disebut Madhuwana. Berendamlah di sungai 3 kali sehari. Berdoalah dan tujukan pikiranmu pada wujud-Nya. Ucapkan mantra “Aum Namo Bhagawate Wasudewaya”. Kemudian Narada memberikan gambaran wujud Narayana.

Dhruwa mulai melakukan tapa di Madhuwana di tepi sungai Yamuna. Pada bulan pertama dia mempertahankan hidup dari buah-buahan dari dalam hutan. Pada bulan kedua ia mempertahankan hidup hanya dari rumput-rumputan dan daun-daunan di sekitar sungai. Pada bulan ketiga ia hanya menggantungkan hidup dari air sungai. Pada bulan keempat ia hanya mempertahankan hidup dari udara yang ia hirup. Di dalam pikirannya dia membayangkan wujud Narayana dan mengucap mantra “Aum Namo Bhagawate Wasudewaya”. Sebuah tapa yang mengerikan, apalagi dilakukan anak kecil usia 5 tahun.

Narayana datang ke tepi Yamuna dan Dhruwa melihat wujud seperti yang dibayangkannya hadir di depannya. Ada rasa bahagia yang tak dapat diungkapkan oleh Dhruwa dan air matanya meleleh. Dia tak dapat berkata sepatah kata pun dan dia juga tak tahu bagaimana cara menghormati Narayana. Narayana menyentuh pipi Dhruwa dan muka Dhruwa menjadi bersinar dan dapat berkata layaknya para resi. “Aku memberi hormat kepada-Mu yang memberi aku kekuatan untuk bicara. Engkau meliputi seluruh indra, perasaan, dan Engkau memberikan kehidupan. Engkau adalah kebenaran. Engkau menciptakan ilusi maya. Manusia biasa yang hidup untuk kesenangan saja, seperti orang naik kereta perang dan ia dihadang kematian di depannya. Ia tidak akan pernah tahu bagaimana kebahagiaan bhakta yang telah menyaksikanmu. Manakala seseorang bahagia karena berkumpul dengan para bhaktamu, ia tidak akan berpikir tentang badan yang akan menjadi rusak, isteri dan anak serta harta yang tidak abadi. Aku telah kau beri penglihatan untuk melihat Iswara, penyebab dari alam semesta. Aku jiwatma sedangkan Kau paramatma. Aku tercemar sedangkan kau murni. Aku mengalami kematian sedangkan Kau kekal. Aku budak dan Kau Majikan Agung. Aku memberi hormat pada Brahman penyebab dari adanya alam semesta ini.”

Narayana seakan-akan berkata, “Aku mengetahui apa yang kamu butuhkan, aku akan memberi apa yang kauperlukan. Ayahmu akan segera menobatkanmu sebagai raja, ia akan melepaskan keterikatan keduniawian dan menempuh perjalanan menuju diri-Ku. Kamu selamanya akan menjadi bhaktaku. Kamu akan memerintah kerajaan selama 30 ribu tahun. Dan akhirnya kamu akan mencapai Aku.” Dhruwa merasa sangat berbahagia dan segera kembali ke istana. Akan tetapi hatinya telah terpaut dan akan selalu rindu terhadap Narayana. “Aku sudah bertemu dengan Narayana yang memberkatiku. Yang bahkan para resi bijak belum mendapatkan karunia sepertiku.” Begitu dalam kecintaan Dhruwa pada Narayana, sehingga apa pun yang dilihatnya dia melihat Narayana berada di sana. Apa pun yang didengarnya, apa pun yang dirasakannya, baginya Narayana selalu hadir.

Resi Narada juga mendatangi Raja Uttanapadda yang sedang berada dalam kesedihan mendalam. “Wahai Resi Narada, karena kesenanganku dengan perempuan, aku telah membiarkan anakku yang berusia lima tahun mengembara ke hutan. Aku merasa bersalah. Dia terlalu kecil dan terluka terlalu dalam, bagaimana dia dapat mempertahankan hidupnya di tengah hutan yang buas.” Narada berkata, “Raja, hentikan ratapanmu, seseorang yang pasrah pada Tuhan adalah seperti bayi yang pasrah terhadap ibunya. Dia akan dilindungi ibunya, ibu alam semesta yang memelihara dan membesarkannya. Peristiwa itu adalah jalan bagi anakmu untuk menjadi besar. Belum ada resi yang sebesar dia. Kamu akan dikenal sebagai ayah dari Dhruwaswami, Guru Dhruwa Yang Agung. Dhruwa akan kembali kepadamu pada saatnya.” Lima bulan telah lewat dan Raja Uttanapada menunggu Dhruwa. Tidak berapa lama Dhruwa dinobatkan sebagai raja dan ayahnya melanjutkan perjalanan batin, melepaskan segala keterikatan keluar istana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Setelah tiga puluh ribu tahun Dhruwa menjadi raja, dia menobatkan putranya dan dia pergi ke Badarikashrama melaksanakan tapa. Sebuah kereta perang berhenti di depannya. Sang Sais mengatakan akan menjemputnya dan menyampaikan pesan, “Bahkan matahari, bintang-bintang dan tujuh resi di langit akan melakukan “pradaksina”, menghormat dengan mengelilingi dirimu. Dan, mereka tidak akan pernah menjangkau keunggulanmu. Semua planet akan berubah tempat kecuali dirimu. Dan dia pergi untuk menjadi bintang Dhruwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar