Trisanku
adalah salah seorang raja dari dinasti Surya. Putra Trisanku adalah
Harischandra. Raja Harischandra mempunyai suatu masalah dan masalah tersebut
hanya dapat terselesaikan apabila istrinya melahirkan seorang putra. Sang raja
membuat perjanjian dengan Waruna, bahwa Waruna akan membantu sang raja
mendapatkan seorang putra, tetapi setelah sang putra lahir, putra tersebut akan
dipersembahkan kepada Waruna. Demikian kesepakatannya.
Ketika Rohita,
sang putra lahir, sang raja mohon tenggat waktu kepada Waruna agar acara ritual
pengorbanan “Narameda”, pengorbanan menggunakan manusia sebagai persembahan
ditunda, menunggu sang bayi keluar giginya, agar persembahan bisa menjadi lebih
sempurna. Saat gigi sang bayi sudah tumbuh, dan Waruna datang menagih janji,
kembali sang raja mohon penundaan karena salah satu giginya sedang tanggal dan
menunggu tumbuh. Demikian berkali-kali, sampai suatu saat sang raja mohon
pengorbanan ditunda sampai sang putra dapat memakai senjata, agar pengorbanan
menjadi lebih sempurna saat putranya menjadi seorang ksatria remaja.
Penundaan
tersebut dilakukan penuh perhitungan agar Rohita cepat menjadi dewasa dan
memahami keadaannya. Ada rasa penyesalan yang dalam di hati sang raja, mengapa
harus mengorbankan putranya yang tidak tahu apa-apa. Masalahnya adalah
perjanjian Waruna dengan dirinya, bukan dengan sang putra. Seandainya Rohita
cepat memahami persoalan dan melarikan diri, maka dirinya siap menghadapi apa
pun yang akan terjadi dengan sepenuh hati.
Pada suatu
kali Rohita yang menjelang remaja sadar apa yang akan terjadi pada dirinya, dan
dia melarikan diri ke hutan. Beberapa lama berada di hutan, pada suatu saat
Rohita mendengar kabar bahwa ayahnya sakit parah karena ingkar janji kepada Waruna
dan dia ingin kembali ke istana. Rohita berpikir lebih baik menyerahkan dirinya
sebagai korban dari pada ayahnya sakit berkepanjangan. Rohita menyadari,
ayahnya sengaja menunda penyerahan dirinya, agar dirinya cepat dewasa dan dapat
melarikan diri. Akan tetapi dia merasa hal tersebut tidak menyelesaikan
masalah. Kini sebagai akibatnya sang ayah yang menjadi raja sakit parah dan
seluruh masyarakat yang menanggungnya.
Sewaktu Rohita
akan kembali ke istana, Dewa Indra datang dan mencegahnya, “Jangan terburu-buru
pulang ke istana dan mati muda, ayahmu belum segera mati, para penasehatnya pun
masih dapat menjalankan roda pemerintahan.” Rohita diminta melakukan
tirtayatra, ziarah ke sungai-sungai suci selama satu tahun. Diharapkan dalam
perjalanan tersebut dia dapat meningkatkan kesadaran dan mendapatkan jalan
keluar.
Satu tahun
berlalu, dan Rohita kembali mau pulang ke istana. Indra datang dan menyampaikan
nasehat bahwa sang ayah masih dapat bertahan, lebih baik dirinya melanjutkan
tirtayatra. Setiap kali mencapai satu tahun Rohita mau kembali ke istana, Indra
selalu minta agar bertirtayartra lagi. Lima tahun sudah Rohita ziarah ke
sungai-sungai suci. Lima tahun yang membuat Rohita menjadi seorang ksatria yang
lebih dewasa, spiritualitasnya meningkat dan bahkan dia sudah dapat
mengendalikan dirinya.
Dalam
perjalanan kembali menuju istana, Rohita bertemu dengan Resi Ajigarta, istri
dan ketiga anaknya yang masih remaja. Rohita menceritakan kondisi dirinya,
bahwa dirinya adalah putra mahkota raja dan ayahnya sedang sakit dan dia segera
ke istana memenuhi janjinya dengan Waruna. Resi Ajigarta terharu dan berembug
dengan istri dan ketiga putranya. Resi Ajigarta berkata kepada ketiga putranya,
“Raja Harischandra adalah raja yang bijaksana, dalam pemerintahannya seluruh
rakyat berada dalam keadaan sejahtera.
Para resi diberi kesempatan luas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Raja
harus sembuh, karena tanpa raja, seluruh rakyatnya akan menderita. Rohita
sebagai satu-satunya putra mahkota juga harus tetap hidup agar estafet
kekuasaan terlaksana dengan baik. Putra-putraku biarlah salah satu dari kalian
berkorban demi negara menggantikan Rohita. Pengorbanan adalah mahkota para
ksatria. Berkorban demi negara adalah dharmamu, kewajibanmu, tugasmu!”
Rohita
berterima kasih kepada keluarga Resi Ajigarta, dan tanpa menunggu siapa putra
yang bersedia melakukan pengorbanan, dia berkata, “Guru resi, ibu dan ketiga
putra guru, saya berterima kasih, hanya Gusti yang dapat membalas kebaikan budi
kalian, walau bagaimana pun saya berjanji akan memberikan seratus ribu ekor
sapi sebagai penghormatan.”
Terketuk oleh
penjelasan ayahnya, Sunahsepa berkata kepada orang tuanya, “Ayah dan ibu telah membesarkan diri kami sampai kami
menjadi anak-anak remaja yang baik. Sudah waktunya aku membalas budi kebaikan
kedua orang tua dan sekaligus mewakili rakyat membalas budi kebaikan raja. Aku
tahu ayahanda cenderung mendidik kakak sulung agar dapat meneruskan tugas
ayahanda. Sedangkan ibunda cenderung kepada adik bungsu yang dapat membuat ibu
bahagia dalam menghadapi semua kesulitan hidup. Wahai putra raja, aku ikut
dirimu ke istana.” Sebuah kearifan seorang remaja yang luar biasa yang belum
tentu dimiliki para dewasa. Demi kesejahteraan negara, kesejahteraan masyarakat
banyak, Sunahsepa berani mengorbankan dirinya.
Rohita dan
Sunahsepa meninggalkan Resi Ajigarta menuju istana. Dalam perjalanan mereka
singgah di tempat Resi Wiswamitra. Bagaimana pun sebagai seorang remaja,
pikiran Sunahsepa masih sering bergolak dan dirinya akhirnya mencurahkan semua perasaannya kepada Resi
Wiswamitra. Sunahsepa melihat sang resi tertegun dan beberapa saat kemudian
mengumpulkan seratus orang putranya, “Aku terketuk tindakan Resi Ajigarta yang
bersedia mengorbankan salah seorang dari tiga putranya bagi keselamatan negeri.
Aku minta salah seorang dari kamu bersedia menggantikan Sunahsepa sebagai
korban persembahan.”
Terjadi
keributan dan separuh dari putra-putranya tidak mau dikorbankan dan berdalih,
“Ayahanda, bagaimana mungkin seorang putra rajaresi menjadi mempersembahkan
nyawanya untuk menggantikan seorang anak remaja terlantar yang cengeng?” Resi
Wiswamitra berkata, “Perilaku dan kata-kata kalian tak pantas diucapkan. Aku
berharap kalian tersentuh dan bersedia mengorbankan diri demi kebaikan kalian
sendiri. Mereka yang menentang ayahandanya tidak layak untuk dihormati. Seperti
halnya putra Wasistha, kalian juga akan menjadi bangsa liar Nisadha selama
seribu tahun.”
Setelah lima
puluh putranya pergi, sang resi berkata pada Sunahsepa, “Jangan takut dengan
kutukan seorang resi, kutukan tersebut memang harus terjadi sebagai akibat dari
perbuatan seseorang di kehidupan masa lalu. Kutukan tersebut justru akan
mempercepat penyelesaian hutang sebab-akibat dan mempercepat perjalanan
spiritualnya. Sunahsepa, kau harus menemani Rohita dan bersedia diikat pada
tonggak korban pada acara Narameda. Kau akan disucikan dan sekarang hapalkan
dua buah mantra “Waruna Japa”. Ketika kau diikat pada tonggak, nyanyikan terus
kedua mantra ini. Semuanya tergantung peruntunganmu, tetapi yakinlah, siapa
yang menanam akan memetik buahnya. Yakinlah terhadap hukum sebab-akibat.
Bersegeralah dalam bertindak penuh kasih, memberi pertolongan kepada orang yang
menderita kemalangan. Kalaupun kau mati, ini adalah mati yang terhormat, mati
yang direstui bunda pertiwi. Perbuatan luhurmu akan datang kembali padamu
sebagai kebaikan pada kehidupan mendatang. Agar kau tidak takut menghadapi
kematian, larutlah dalam mantra yang kuajarkan kepadamu.”
Sunahsepa
terus menerus membaca mantra dengan segenap perasaan selama acara ritual
berlangsung. Sudah tidak ada lagi kekhawatiran dalam dirinya, mantra tersebut
menenangkan hatinya. Tidak ada ketakutan lagi bahwa dirinya sedang diikat dalam
tonggak persembahan. Tanpa terasa kesadaran Sunahsepa meningkat, dia menjadi
paham bahwa “jatidiri” nya tidak terpengaruh oleh kelahiran dan kematian. Waruna
terkesan dengan mantra tersebut dan membebaskannya dari korban. Raja
Harischandra pun segera dimaafkan kesalahannya. Sang raja merasa keterikatannya
kepada sang putra telah menyebabkan peristiwa menjadi berlarut-larut maka dia
ingin belajar Brahmawidya kepada Resi Wiswamitra yang dengan senang hati
menyetujuinya. Resi Wiswamitra juga kemudian mengangkat Sunahsepa sebagai
putranya dan berkata kepada lima puluh putranya. “Sunahsepa kini salah satu
dari kamu, dia termasuk dinasti Bhargawa, keturunan Bhrigu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar