Sembah Puyung dan
Puyung Maisi
BY SUGI LANÚS
Mataram, 7 Oktober
2010
Sembah Puyung adalah doa yang
pertama (pembuka) dalam rangkaian Panca Sembah (5 puja-doa) yang bersifat
“standar” dalam persembahyangan masyarakat Hindu-Bali.
Dalam Sembah Puyung kedua telapak
tangan dan jari-jari dicakup di atas kepala. Tangan kosong. Orang Bali selama
ini banyak yang keliru dan menyederhanakan: Disebut Sembah Puyung karena tangan
kosong tanpa sarana bunga. Puyung memang mengandung makna kosong tapi sekaligus
mencakup embang (sepi dan hening). Akibat ketakpahaman akan makna istilah
Sembah Puyung, mereka kadang mengganti istilah Sembah Puyung menjadi: Sembah
tanpa serana (sembah tanpa sarana). Maksudnya tanpa memakai sarana bunga. Keluh
mereka yang tak paham, “Masak kita sembah kosong! Menyembah kosong?”
Orang lupa bahwa mantra Sembah
Puyung: “Om àtmà tattwàtmà sùddhamàm swàha”.
Atma adalah esensi puyung
(kekosongan/keheningan). Puji pada esensi keheningan diri (atma) yang menjadi
pembuka doa Panca Sembah, lalu penutup Panca Sembah adalah Ngaturang Parama
Shanti, berkulminasi pada shanti (kedamaian). Puyung dalam kontek sebuah
ungkapan terdalam dalam masyarakat Bali: “Puyung Maisi” (Kosong berisi), atau
dalam bentuk kalimat lain: Ngalih isin puyung (Menelisik isi sepi); membuat
jelas bahwa Puyung bukan bermakna kosong melompong. Puyung adalah titik dimana
berhentinya materi dan penampakan. Titik dimana kita diajak menjadi lebih
mendalam. Menghayati yang tak tampak. Baik di dalam dan di luar diri.
Mencari (dan menghayati) isi
keheningan, atau ngalih isin puyung, telah tersemai dalam bahasa sehari-hari
masyarakat Bali, jauh sebelum Panca Sembah disosialisasikan di awal
kemerdekaan, dalam pengajaran agama di sekolah rakyat.
Puyung bukan kosong melompong.
Dalam ungkapan Tamtam dalam Geguritan Ginal-Ginul (atau lebih dikenal sebagai
Geguritan Tamtam), disebutkan: “Daging telas” (Isi dari pada yang habis). Jelas
ini senada dengan “isin-puyung”. Ada istilah bagi mereka yang memahami “isi
puyung” ini sebagai manusia yang “tatas” (selesai alias tuntas) atau dia yang
“meraga putus” (mencapai pencapaian kelepasan/putus). Putus dengan material dan
juga sekaligus melampau konsepsi. Di sini seseorang dikatakan putus karena ia
“melampaui jagat materi” dan “melampaui jagat konsepsi”. Tidak lagi berada di
areal hitam-putih. Pada titik inilah kita, meminjam istilah seorang tetua yang
sempat saya jumpai di pesisir Utara Bali, “berhenti berpikir dengan otak dan
dalil logika, tapi berpikir dengan atma”.
Puyung beresensi atma, demikian
tersirat dalam Sembah Puyung. Sembah Puyung dengan demikian bukan sembah tanpa
sarana (kembang-puspa), bukan pula memuja kosong-melompong, tapi sembah-sujud
pada esensi embang (kosong-hening).
Sembah Puyung mengajak berhenti
pada materi, berangkat ke jagat yang melampauinya. Sembah Puyung bukannya tanpa
alasan filosofis menjadi pembuka pertama Panca Sembah (Lima Puja-Doa), ia
memang masuk dalam daftar urut “yang pertama” dalam esensi “ke-Bali-an” kita.
Dalam Puyung kita sejenak berhenti berpikir dengan otak yang terkotak-kotak,
melepas semua kecerdasan (dan kebodohan), berhenti berkonsepsi, dan dengan
tulus-bulat terjun ke lautan hening.
Jika kita bandingkan dengan karya
kakawin, Sembah Puyung adalah manggala (kidung pembuka-utama) dari rangkaian
Panca Sembah; dari Puyung (hening) menuju Shanti (kedamaian); diawali dengan
menghayati esensi hening (àtmà tattwàtmà), menuju puncak cita-cita tertinggi
kemanusiaan kita: Damai (di hati), damai (di bumi), damai (di surga).
Shanti-Shanti-Shanti. ©SL
Sumber:
http://berbudaya.com/2010/10/17/sembah-puyung-dan-puyung-maisi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar