Salah seorang
keturunan Manu adalah Nabhaka. Nabhaka sangat tekun mengikuti gurunya, sehingga
bertahun-tahun tidak pernah nampak di istana. Pada saat sang ayah berhenti
sebagai raja dan meninggalkan istana menjalankan wanaprastha, maka seluruh
harta kekayaan ayahnya dibagi oleh saudara-saudaranya. Pada saat pembagian
kekayaaan tersebut, Nabhaka ditinggal oleh para saudara-saudaranya sehingga dia
tidak mendapat bagian kekayaan. Pada saat Nabhaka kembali dari berguru dan pulang
ke istana, para saudaranya berkata bahwa seluruh harta kekayaan sang ayah telah
dibagi oleh mereka. Para saudaranya berkilah bahwa menurut kesepakatan bersama,
maka seorang anak yang sudah lama tidak muncul dianggap sudah meninggal dunia.
Mereka menetapkan hak warisan berdasarkan peraturan tersebut dan sudah
terlambat untuk membaginya lagi. Semua kekayaan sudah habis terbagi. Yang belum
dibagi adalah ayahnya, maka Nabhaka diminta mengambil ayahnya sebagai hasil
pembagian kekayaannya.
Nabhaka dengan
polos datang kepada ayahnya dan menceritakan pernyataan para saudaranya tentang
pembagian harta sang ayah dan bahwa dia mendapat bagian berupa sang ayah
sendiri. Sang ayah berkata bahwa saudara-saudaranya telah terlalu tamak
terhadap harta. Sang ayah berkata bahwa dirinya tidak seperti harta kekayaan
yang dapat membantunya memperoleh kenyamanan. Akan tetapi karena hal demikian
telah terjadi, maka sang ayah hanya akan membantu pemikiran. Sang ayah berkata,
“Anakku di dekat sini Resi Angirasa sedang mengadakan upacara persembahan yajna
Abhiplawa dan Prasthya selama enam hari. Di akhir hari keenam, Resi Angirasa
tidak akan mampu menghapal sebuah mantra yang sangat panjang, padahal tanpa
mantra tersebut, upacara yajna tidak dapat diselesaikan. Kamu agar tetap berada
dalam upacara yajna tersebut dan hapalkan dua mantra yang akan kuberikan
kepadamu. Bila mereka sukses dengan upacara tersebut, mereka akan mencapai
surga, sehingga mereka akan sangat berterima kasih kepadamu yang telah
memberikan kedua mantra tersebut. Selanjutnya mereka akan memberikan kepadamu
seluruh barang berharga yang ditinggalkan dalam upacara Yajna tersebut. Dengan
cara seperti itu maka kamu akan mendapat kekayaan.”
Nabhaka
melakukan perintah ayahnya dengan patuh dan seperti perkiraan ayahnya, Resi
Angirasa memberikan semua kekayaan yang ditinggalkan dalam upacara yajna
tersebut. Manakala Nabhaka sedang mengumpulkan kekayaan tersebut, datanglah
Seorang berkulit hitam dari arah utara yang berkata bahwa dia tidak boleh
mengumpulkan kekayaan tersebut, karena kekayaan tersebut adalah miliknya.
Nabhaka menceritakan bahwa Resi Angirasa telah memberikan semua kekayaan
tersebut kepadanya. Tetapi orang berkulit hitam tersebut tetap pada
pendapatnya. Nabhaka kemudian berkata bahwa dia hanya menuruti perintah
ayahnya, bila dia langsung menyerahkan pada orang tersebut, maka dia telah
berlaku tidak patuh terhadap orang tuanya. Nabhaka meminta izin untuk
menanyakan hal tersebut kepada ayahnya lebih dahulu. Apa pun keputusannya,
Nabhaka akan menerimanya. Sang pria berkulit hitam dapat menerimanya dan
menunggu Nabhaka bertanya kepada ayahnya.
Nabhaka
kembali kepada ayahnya menanyakan pernyataan pria berkulit hitam bahwa kekayaan
yang diberikan Resi Angirasa adalah milik orang tersebut. Dan ayahnya berkata,
“Anakku pada zaman dahulu, sepanjang yajna dilakukan oleh Daksha, para resi
menyatakan bahwa segala kekayaan yang ditinggalkan dalam yajna adalah kepunyaan
Rudra. Bila Rudra datang dan mengakui hal tersebut, maka itu adalah hak dia.
Dan lagi dia adalah seorang dewa, kita tidak dapat memperdebatkan
pernyataannya. Nabhaka kemudian menemui Rudra dan berkata, “Ayahku mengatakan
bahwa semua kekayaan adalah milikmu dan bahwa aku tidak punya hak terhadap ini.
Maafkan tentang ketidaktahuanku!” Rudra senang mendengar kepolosan perkataan
Nabhaka dan berkata, “Kamu polos dan jujur dan juga tahu bagaimana menghormati
orang-tua. Aku senang kepadamu, maka aku akan memberi pelajaran Brahmawidya
kepadamu. Dan, juga sebagai penghargaan kepada kebajikanmu, aku akan memberikan
hadiah kekayaan ini semua kepadamu!” Nabhaka menjadi salah seorang bijak pada
zamannya dan tidak lama kemudian diangkat sebagai raja.
Tindakan yang
dilakukan oleh saudara-saudara dari Nabhaka dengan berkilah melakukan sesuatu
berdasar peraturan, akan tetapi pada hakikatnya orang yang melakukannya tahu
bahwa dia melakukan atas dasar pikiran pribadi yang mau menang sendiri dan
tidak berdasar keadilan sejati sesuai dengan kata hati nuraninya. Di sini
Bhagawan Abhiyasa menunjukkan karakter Nabhaka yang polos, tanpa keterikatan
terhadap kekayaaan ataupun yang lain. Dia hanya yakin dengan ucapan orang-tuanya
dan itu yang akan dipedomaninya. Tidak mudah menjadi polos dan mengikuti kata
“orang-tua” tanpa menggunakan pikirannya sendiri. Keyakinan pada “orang-tua”
yang lebih tahu dimasa anak-anak itulah yang menyelamatkannya. “Nabhaka” di
sini mewakili “ketulusan”, “keluguan” dan “kepolosan”. “Seperti anak kecil” berarti “keadaan tanpa keterikatan”,
rasa angkuh dan arogansi pun tidak ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar