Pertempuran
antara Indra dengan para dewa melawan Writra dengan para asura berlangsung
sangat seru. Para dewa tidak mempan dilukai oleh senjata asura, mereka seperti
manusia baik yang tahan dan tidak terluka oleh kata-kata para manusia picik.
Para dewa unggul dalam pertempuran dan para asura melarikan diri dari
pertempuran. Melihat penurunan moril anak buahnya Writra berteriak dengan
keras, “Kematian adalah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Sekali kamu
dilahirkan, maka kamu pasti mati. Kematian datang dengan berbagai bentuk, dan
tidak dapat dihindari. Manakala masalahnya seperti itu, kematian karena membawa
kebenaran dan nama baik membawa akibat yang baik di kehidupan kemudian.
Keinginan banyak orang adalah mati dalam keadaan yoga, akan tetapi pada waktu
kalian melarikan diri dari perang, kematian bisa mendatangi kalian selagi
berada dalam keadaan memalukan dan fokus terakhir sebelam kematian adalah
melarikan diri, sehingga kalian akan lahir lagi sebagai seorang pengecut.
Pilihan mati dalam yoga atau mati dalam keadaan berperang tidak mungkin didapat
oleh semua orang. Kalian tidak perlu takut terhadap kematian!” Writra tidak takut mati.
Melihat para
asura yang tidak memperhatikan kata-katanya, Writra kemudian maju menyerang dan
berkata, “Para dewa jangan melawan para asura yang ketakutan, lawanlah aku!”
dan Writra mengeluarkan raungan perkasa yang menggetarkan nyali para dewa.
Indra melemparkan tongkat kebesarannya yang dapat ditangkap Writra yang
kemudian digunakan untuk melukai gajah Airawata yang digunakan Indra, sehingga
gajah tersebut terluka dan mundur. Melihat Indra tidak memakai senjata, maka
tongkatnya pun dilepaskan. Writra berkata, “Kamu telah membunuh saudaraku,
Brahmana Wiswarupa dan aku ingin membalaskan kematiannya. Wahai Indra, mengapa
kamu tidak memakai senjata wajra mu. Wajra dibuat dari tulang Resi Dadhichi dan
menurut instruksi dari Narayana sendiri. Aku tahu dimana saja Tuhan ada akan ada
kemenangan. Apakah kau ragu dengan wajramu? Wajramu telah diberkati Tuhan, maka
kau pasti akan berhasil membunuhku. Selama ini aku berpikir tentang Tuhan dan
tidak ada yang lain. Jika aku dibunuh aku hanya menyerahkan tubuh penuh dosa
ini. Aku tidak berduka!”
Indra dan para
dewa tertegun mendengar kata-kata Writra yang nampak menguasai Brahmawidya, pengetahuan
keilahian dan mempraktikkannya dengan tanpa rasa takut. Indra dan para dewa
kembali mendengar ucapan Writra, “Bagiku, aku ingin menempatkan pikiranku pada
Narayana, dan manakala aku dibunuh aku akan melepaskan tubuh yang hanya
merupakan suatu perbudakan. Aku akan mencapai apa yang para yogi mencapainya
melalui tapa mereka. Tuhan manakala mencintai para bhaktanya, Dia tidak akan
memberi kekayaan dari tiga dunia kepadanya. Ia mengetahui bahwa kekayaan adalah
penyebab kebencian, ketakutan dan sakit mental, keangkuhan, pertengkaran dan
ketidakbahagiaan. Tuhan memberi kebebasan kepada para bhaktanya. Kesadaran
seperti itu jarang dimiliki oleh seorang yang kaya.”
Dalam keadaan
bertempur dan siap menghadapi kematian pun Writra tetap berbagi kesadaran
kepada anak buah dan musuh-musuhnya. Writra berdoa, “Tuhan, buat aku menjadi
pembantu dari pembantu-Mu. Buatlah pikiranku hanya terfokus kepada-Mu. Biarkan
nyanyianku bersama suaraku hanya untuk memuji kebesaran-Mu. Biarkan tubuhku
melaksanakan kehendak-Mu. Aku hanya ingin Kamu. Tidak ada sepercik keinginanku
untuk menjadi Brahma atau Dhruwa. Aku tidak ingin menjadi raja di tiga dunia.
Aku tidak ingin moksha. Aku tidak ingin keterampilan yoga. Tuhan aku merindukan
kamu seperti anak burung merindukan induknya. Aku ditangkap dalam pusaran yang
disebut kelahiran. Tolong berikan aku kebebasan. Beri aku kesempatan untuk
mencintai bhakta-Mu, karena itu adalah jalan yang pasti untuk mencapai-Mu. Oleh
karena selubung maya yang Kau lemparkan kepadaku, aku terikat kasih sayang dengan
tubuhku, istriku, anak-anakku, rumahku dan kepemilikanku yang lain. Tolong
tarik selubung ini dan bantu aku mematahkan keterikatanku pada dunia ini!”
Indra dan Writra
bertempur dan salah satu tangan Writra yang memegang trisula terpotong. Dengan
tangan lainnya Writra memukul dengan tongkat besinya yang membuat Gajah Airawata
kaget dan wajra Indra terlepas. Malu pada dirinya, Indra tidak segera mengambil
wajranya. Writra berkata, “Indra kenapa kamu ragu? Pungutlah wajramu!”
Kemenangan dan kekalahan, Indra, sehari-hari terjadi dalam kehidupan seseorang.
Orang tidak bisa menang selamanya. Semua ada di tangan Tuhan yang mengendalikan
dunia. Orang bodoh tidak mengetahui kebenaran dan menganggap badan adalah akhir
dan tujuan eksistensi kita. Indra, tanganku telah kau potong, akan tetapi
permainan ini belum berakhir, tidak ada yang pasti, semuanya hanya merupakan
spekulasi. Semua tergantung pada dawai-dawai yang digerakkan oleh Yang Maha Kuasa.
Mari kita lepaskan dari hasil akhir, atau pengakuan para dewa. Mari kita
menjalankan tugas kita untuk bertempur. Mari kita teruskan pertarungan.”
Indra berkata,
“Aku kagum akan pada keagunganmu. Pikiranmu jauh dari hal-hal duniawi. Kamu
adalah seorang siddha, kamu sudah
melampaui maya yang memperdaya semua manusia. Kamu tidak mempunyai sifat
asurika apa pun dalam dirimu. Kamu adalah orang satwik murni tidak seperti
asura yang mengedepankan sifat rajas. Pikiranmu telah hilang di dalam Tuhan.
Aku memberikan hormat pada keagunganmu.”
Mereka
berperang sampai tangan lain Writra terpotong dan kemudian Indra ditelan oleh Writra.
Indra dapat selamat dan berhasil membunuh Writra. Semua dewa dan asura melihat
nyawa Writra melayang menuju kaki Narayana. Sebuah kisah Bhagawan Abyasa yang
membuka diri manusia, bahwa spiritualitas pun dapat dimiliki oleh seorang Asura
yang pada umumnya dianggap jahat oleh manusia. Spiritualitas memakai bahasa
rasa terdalam dan bukan berbahasa pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar