Majejahitan: Pewarisan Kesadaran
Estetika Manusia Bali
oleh Sugi Lanus
Karang Jasi, Cakranegara, 14 Nopember 2005
Setiap orang Bali, walaupun ia
terlahir sebagai laki-laki, pasti pernah matanding atau majejahitan. Metanding
adalah kegiatan untuk menyanding-nyandingkan atau menata berbagai bahan sesaji
sehingga menjadi sebuah keutuhan sebuah banten (sesaji). Sementara majejahitan
merupakan bagian dari matanding, yaitu menjahit janur dirangkai dengan berbagai
bunga dan daun-daunan tertentu. Mejejahitan menghasilkan canang (merangkai
janur dan warna-warni bunga dan daun). Canang dan berbagai hasil majejahitan
dipersatukan dalam matanding menjadi banten. Walaupun jarang yang aktif,
biasanya anak laki-laki dilibatkan juga dalam memetik bunga, memanjat kelapa,
mencari janur, atau berbagai perlengkapan dalam tahap persiapan.
Bagi para ibu dan anak perempuan
Bali, membuat untaian keindahan (majejahitan dan metanding) adalah “mata pelajaran
pokok” dalam kehidupannya. Laki-laki mendampingi untuk mempersiapkan
bahan-bahannya. Setiap hari diwajibkan untuk membuat canang atau tangkih untuk
persembahan pagi atau sore. Canang adalah peraduan berbagai unsur-unsur
keindahan. Berbagai jenis dan warna bunga, janur, dupa, beras, dstnya. Mereka
dirangkai, dijahit, ditata atau ditanding menjadi sebuah kesatuan yang kita
sebut canang. Kata canang mengandung arti persembahan. Persembahan atau canang
kita adalah keindahan. Keindahan bentuknya dan tentunya juga keindahan hati
pembuatnya.
Biasanya canang atau metanding
(menata sesaji) dilakukan di atas meja. Atau tikar. Yang beruntung punya bale
(bangunan khusus untuk matanding) mereka membuatnya disana. Janur dituas. Lalu
dijahit dengan ketelitian yang tinggi. Berbagai bentuk kurva dan persegi. Di
sini orang Bali diperkenalkan pada dimensi dan bentuk. Janur yang dijahit ini
menjadi semacam penyangga bagi bunga-bunga yang dirangkai di atasnya.
Dilengkapi berbagai kelengkapan tambahan sesuai kebiasaan atau tata cara
keluarga atau desa bersangkutan.
Pewarisan keterampilan ini turun
dari generasi ke generasi. Dari nenek ke ibu. Dari ibu ke anak. Demikian
seterusnya. Ini berjalan dengan sangat terjaga selama berabad-abad. Dalam suka
cita pewarisan ini selalu ada yang terbaharui. Setiap generasi punya seleranya
untuk menambahkan yang diwarisi. Ini menyerupai pewarisan sebuah bangunan pura.
Walaupun pelinggih atau altar dipertahankan berjumlah tetap dari generasi ke
generasi, kalau kita perhatikan, saat terjadi renovasi, ukiran yang menghias
altar atau material bangunan selalu mengalami perubahan. Semacam improvisasi
dari setiap generasi pewarisnya. Demikian juga dengan banten-banten kita.
Dahulu tidak ada banten dengan buah apel New Zealand, tapi karena buah itu
dinilai menarik warnanya dan enak, generasi belakangan gemar memakainya. Kadang
unsur kertas berwarna emas dan warna-warni juga menjadi bagian canang atau
sampian (hiasan gantung-gantung). Padahal dulu jarang kita temui kalau kertas
menjadi bagian dari canang. Sisi lain muncul, ada kecenderungan fashion dan
trend dalam beberapa bagian ritual.
Karena dalam pewarisan ini tidak
tertulis, tidak ada dogma, tidak ada yang paling benar, setiap generasi punya
kesempatan melakukan improvisasi secara terus-menerus –asal unsur-unsur pokok
tetap terjaga. Dalam pewarisan banten dan mejejahitan terwariskan juga prinsip
desa-kala-patra. Sebuah banten atau sesaji disesuaikan dengan kelenturan
interpretasi masyarakat pada wilayah tertentu (desa), pada kurun waktu tertentu
(kala) dan situasi/keadaan tertentu (patra). Pokok ajaran ini adalah
keleluasaan untuk melakukan re-interpretasi dan improvisasi secara terus
menerus, menjadikan tradisi sebagai warisan yang lentur, fleksibel, dan
menjawab kebutuhan jamannya, dengan terus berpegang pada esensinya yang
terdalam, penghalusan kemanusian kita secara terus-menerus.
Bunga menjadi unsur pokok dalam
canang. Warna-warnanya dan berbagai jenis bunga menjadi bagian penting dalam
merangkai keindahan itu. Dan tanpa disadari, pewarisan keterampilan mejajahitan
dan matanding ini adalah sebuah pewarisan seni hidup, seni merangkai keindahan,
mengapresiasi estetika.
Sedari kecil seorang anak Bali
akan dikenalkan dengan bunga dengan sangat intens. Hampir di setiap halaman
rumah orang Bali setidaknya ada sebatang atau dua batang pohon bunga. Dengan
kesadaran ketika menanam, “Pang ada anggon ngae canang”. Biar ada dipakai
membuat persembahan. Bunga adalah salah satu bagian terpenting dari
persembahan. Saking pentingnya bunga dalam persembahyangan, dalam bahasa Bali,
sembahyang/berdoa kadang disebut muspa (memuja dengan sarana bunga/puspa).
Puspa (bunga) adalah kata benda. Dan menjadi kata kerja: muspa. Muspa
(aktivitas yang terkait dengan bunga) secara lebih luas sesungguhnya dimulai
dengan menanam bunga. Menyiram bunga. Lalu memetik bunga untuk kepentingan
ritual, dan merangkainya (matanding dan mejejahitan). Berdoa atau memuja dengan
bunga di sebuah tempat persembahyangan adalah titik kulminasi dari aktivitas
muspa.
Matanding dan majejahitan, yang
juga bagian integeral dari muspa (dalam arti luas), adalah pengayaan diri
terhadap keindahan. Matanding dan majejahitan adalah semacam universitas
terbuka dalam rakyat Bali yang memberi kuliah apresiasi estetik. Dalam
matanding dan majejahitan perempuan-perempuan Bali belajar dan mewariskan
apresiasi mereka terhadap estetika, terhadap unsur-unsur alam yang menjadi
bagian tak terpisah dari sebuah banten atau canang. Sehingga, kelanjutannya,
ketika banten dan canang digelar di tempat persembahyangan, kegiatan itu
semacam festival merangkai bunga. Janur dan bunga menghiasi seluruh pura. Tanpa
terasa, setiap odalan (hari persembahan), manusia Bali sesungguhnya mengadakan
sebuah festival keindahan.
Bukan hanya sesaji yang mesti
ditata dan harus indah, tapi yang membawanya juga harus bersih dan berhias
mempercantik diri. Anak-anak perempuan bersanggul dan pupur cantik. Laki-laki
tidak mau ketinggalan. Bapak dan ibu serta kakek-nenek juga mesti bersih.
Sekalipun tidak berpakaian baru atau tidak punya uang di saku, hari persembahan
mereka harus mandi. Berhias dan berusaha tampil elegan dengan busana adat yang
mereka miliki. Lalu ramai-rami bergegas ke pura. Di sana, mereka menabuh
gambelan atau menyanyikan kakawin atau kidung-kidung yadnya (lagu-lagu pujian).
Semua harus menjadi indah. Dan terpenting, hatipun diusahakan tidak tercemar.
Luar-dalam diharapkan menyuguhkan keindahan itu. Bergegas ke pura sama artinya
bergegas menata hati. Membersihkan hati agar berkilau indah.
Anak-anak kecil, di dalam proses
matanding dan majejahitan, juga dalam odalan, diajari mengapresiasi warna bunga
dan daun-daun. Dalam merangkai bunga dalam pembuatan canang, ibu-ibu mengajari
bagaimana agar bunga yang berbagai jenis itu tampak meriah dalam perpaduan
dengan warna bunga yang tersedia. Agar proposional. Terjamin keseimbangan warna
sesaji, cerminan warna hati pembuatnya. Mencampur satu warna bunga yang merah
dengan putih atau kuning, contohnya, ini semacam aktivitas mencampur warna cat
untuk mengasilkan lukisan yang indah. Unsur warna bunga dalam pembuatan canang
menjadi pertimbangan penting. Demikian juga harum bunga. Bunga sandat dan
cempaka menjadi bunga pilihan agar canang berbau wangi. Dipadukan dengan harum
dupa dan kukus arum. Harum bunga menjadi penting, ini semacam pelajaran aroma
terapi yang kini sedang diganderungi kelas menengah. Orang-orang Bali telah
mempraktekkan dalam keseharian mereka dari berabad-abad silam.
Pada akhirnya orang Bali, setelah
dewasa, diajak merenungi, memahami kedalaman makna sebuah bunga. Dari benih
yang terkandung. Kelopak dan putik sari. Bagaimana menuainya. Bagaimana
memeliharanya. Menatanya dalam halaman. Ada aturan tertentu dalam menanam bunga
tertentu di halaman sebuah rumah. Ini juga semacam dasar-dasar seni berkebun
yang ditanamkan sedari awal. Anak-anak juga diajari orang tuanya cara memetik
keindahan itu. Diajari bagaimana memetik bunga sehingga terjaga keberlanjutan
bunga-bunganya. Tidak sembarang tarik. Tapi penuh kelembutan. Tidak merusak
daun-daun atau bunga-bunga yang masih muda. Kalau bunga-bunga terlalu tinggi,
kita diajari memakai joan bunga (penjolok khusus untuk memetik bunga).
Anak-anak pedesaanlah yang beruntung mendapat pelajaran seperti ini. Di
musim-musim tertentu, anak-anak
bergerombol dengan teman-temannya memetik bunga, berembutan, bercanda,
dan berbagi.
Saat sembahyang dengan bunga,
seseorang diajari merasakan keindahan bunga itu dengan kedalaman hati. Dengan
keheningan dan kelembutan dijari-jari. Harum dan keunikan bentuknya.
Mejejahitan adalah training bagi
jari-jemari orang Bali. Agar terampil untuk menuas dengan pisau, menjahit
dengan semat (buluh bambu). Keterampilan ini adalah keterampilan untuk melihat,
menjaga dan menata detail benda-benda. Aktivitas ini bertumpu pada ketelitian
untuk menjaga keutuhan bahan-bahan alami, agar janur tidak robek, agar semat
tidak patah. Di bidang lain, ketelitian orang Bali untuk menghasilkan kerajinan
atau cenderamata dan karya tangan yang mereka ekspor atau jual di pasar-pasar
seni tidak terpisah dari training yang terwarisikan dari generasi-generasi ini.
Sebuah kemahiran untuk memperhatikan detail dan kesabaran dalam berkarya.
Majejahitan dan metanding menjadi
aktivitas di balik semua ritual atau upacara-upacara keagamaan yang
diselenggarakan rakyat Bali. Dan ini menjadi bagian teramat penting dari sebuah
prosesi ritual. Semua perhatian dan konsentrasi seorang yang sedang menjahit
canang atau banten difokuskan untuk mencipta keindahan. Terfokus pada
kelembutan, ketenangan nafas, kesabaran.
Keheningan menjadi sesuatu yang tidak bisa ditawar untuk menghasilkan karya
keindahan. Karena karya keindahan ini untuk persembahan kepada Hyang Maha
Tunggal, bhakti (cinta pada Tuhan) menghidupi tarikan nafas mereka yang sedang
majajahitan. Keheningan, kesabaran, bhakti, semua diarahkan untuk keindahan.
Bukankah ini esensi praktek yoga?
Sumber:
http://berbudaya.com/2010/08/14/majejahitan-pewarisan-kesadaran-estetika-manusia-bali/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar