Karakter Wayang Bali
oleh Sugi Lanus
Dalam pewayangan Bali, ada 4
karakter punakawan yg bisa menjadi renungan: 1) Tualen. 2) Merdah. 3) Sangut.
4) Delem. Mereka mewakili sikap miliaran manusia yang
dirangkum ke dalam 4 gambaran umum.
1. Tualen, dia tidak tahu dirinya tahu. Dia kontemplatif, murni bersandar
pada batin, sederhana dan penuh kearifan.
2. Merdah, dia tahu dirinya tahu. Dia paham, berani dan penuh percaya diri.
3. Sangut, dia tahu dirinya tidak tahu. Dia tidak paham, namun bersikap menerima
ketidakpahamannya, mengakui kelebihan orang lain, penuh pertimbangan.
4. Delem, dia tidak tahu dirinya tidak tahu. Dia tidak tahu tapi merasa tahu, dia
tidak tahu tapi tidak menerima pengetahuan orang lain, angkuh dan congkak di
depan orang-orang, dan dia tidak bisa mengukur diri. Percaya diri di
tengah ketakpahaman. Angkuh dan pongah, merasa paling benar.
Dari para punakawan ini, sadar
atau tak sadar, masyarakat Bali memetik sikap: Kita memilih berperan seperti
siapa?
Setidaknya masyarakat Bali yang
suka pewayangan akan malu bercermin pada Delem, yg selalu pongah dalam
ketidaktahuannya. Minimal kita bisa merenung, kalau tidak tahu sebaiknya kita tahu kalau kita tidak tahu, ini sikap Sangut. Idealnya kita seperti
Taulen, sekalipun ia paham dan tahu, dia tidak bersikap absolut atau tidak
tahu dirinya tahu; di sini seseorang dituntut menjadi
arif sebab kenyataan dan kebenaran tidak berwujud tunggal, maka selalu ada
yang mungkin.
Dalam dunia pewayangan, dari kaca
mata para punakawan, dunia perasaan dan kemanusiaan diteliti dan dilihat dalam
banyak perspektif. Delem selalu jadi tertawaan di Bali sebab Delem bersikap
paling tahu di tengah ketidaktahuannya. Merdah yang tahu
dirinya tahu, percaya diri dan berpengetahuan luas cenderung tergoda
memaksakan sikap dan pikirannya.
Dari Merdah orang Bali belajar
bahwa sekalipun pemikiran kita yang benar, yang benar-benar lurus, kalau
dipaksakan ke orang lain, cara memaksa ini yang mengundang perdebatan. Cara
Merdah yg paling tahu membuat dia terpancing arogan. Dari Merdah kita diajak
belajar bahwa kebenaran harus dijalankan dengan cara-cara yang benar. Cara-cara
benar itu ada pada Tualen, yang penuh kearifan membabarkan kebenaran, tanpa
paksaan, tanpa menggurui, penuh kesantunan dan kesederhanaan. Secara
kontemplatif.
Kebenaran menjadi mentah dan
tampak dangkal jika disampaikan dengan tutur keras dan perilaku bermusuhan.
Orang Bali yg mencintai wayang akan dibuat sadar, kebenaran menjadi sempurna
bukan dalam diri Merdah, tapi dalam diri Tualen: Kebenaran menjadi sempurna
dalam kesederhanaan tutur, kemuliaan hati, santunan, dan kesahajaan sikap.
Para dalang selalu mengingatkan:
Rwabhinneda itu ada dalam diri manusia. Kala ya, Dewa ya.
Kalau kita terbersit rindu
menonton wayang, barangkali kita rindu menjenguk Tualen, Merdah, Sangut dan
Delem yang keempatnya ada dalam diri kita. Mereka silih berganti muncul dalam
kehidupan nyata, pikiran dan diri kita menjadi kelirnya.
Kalau lama tak menonton wayang di
luar sana, lewat tulisan ini, sebagai sahabat-kenalan-teman
seperjalanan-saudara, mengundang setidaknya menonton layar di dalam diri.
Tentunya lebih indah menonton wayang di luar sana, sambil menertawakan Delem
dalam diri. Ironisnya, saya sering melihat diri saya ditertawakan Delem. ®SL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar