Resi Wiswamitra dan Resi Wasishta adalah Guru-Guru Sri Rama. Seorang
awatara pun pernah berguru ketika masih muda. Demikian pula seorang resi. Resi
Wiswamitra berjuang tanpa kenal lelah untuk meningkatkan kesadaran. Seorang
pandai besi pembuat pisau juga memilih baja yang baik untuk membuat pisau yang
tajam. Logam yang lembek tak memiliki potensi menjadi sebuah pisau yang
tajam. Demikian pandangan Resi Wasishta terhadap Raja Kausika, nama Resi
Wiswamitra sebelum menjadi resi.
Alkisah pada suatu hari, putra mendiang Raja Gadhi bernama Raja Kausika
dari dinasti Brighu, yang masih terhitung kakek dari Rama Bargawa atau Awatara
Parasurama, beserta pasukannya mengunjungi Resi Wasishta. Mereka dijamu Resi Wasishta
dengan hidangan berlimpah. Raja Kausika heran bagaimana caranya Resi Wasishta
dapat menyiapkan hidangan begitu nikmat yang mencukupi kebutuhan pasukannya.
Kemudian Resi Wasishta memanggil lembu Ilahi Sabala yang merupakan sumber
segala kebutuhan yang tak ada habisnya, dan menjelaskan ke Raja Kausika bahwa
Sagala lah yang menyediakan hidangan tersebut.
Raja Kausika berkata, “Wahai Resi, lembu ini lebih bermanfaat bagi kerajaan
daripada berada di ashram pedesaan, biarlah lembu ini saya bawa ke istana.”
Selanjutnya, Raja Kausika memerintahkan para prajuritnya menyeret Sabala.
Keinginan untuk memiliki Sabala, dan keinginan untuk mempertahankan kenikmatan
dari Sabala, membuat Raja Kausika lupa diri dan mencari pembenaran dengan
mengatakan bahwa istana lebih butuh Sabala daripada ashramnya Resi Wasishta.
Lembu Sabala meneteskan air mata, dia sangat sedih, mengapa Resi Wasishta
yang sudah dianggap sebagai orang tuanya melepaskan dia begitu saja mengikuti
sang raja. Tergerak oleh rasa kasih, Resi Wasishta berkata, “Sabala keluarkan
pasukan untuk mengalahkan pasukan Raja Kausika.” Singkat cerita pasukan Raja
Kausika mengalami kekalahan telak dari pasukan ciptaan Sabala.
Raja Kausika merasa malu, ternyata kekuatan seorang raja tidak dapat
mengalahkan kekuatan seorang resi. Raja Kausika pulang ke istana, menyerahkan
kekuasaan kepada putranya dan bertapa mohon senjata dari Bathara Guru, Dewa Shiwa.
Dengan panah Bramastra anugerah senjata dari Dewa Shiwa, Raja Kausika kembali
mendatangi padepokan Resi Wasishta. Dengan panahnya padepokan tersebut
dihancurkan menjadi abu dan akhirnya berhadapanlah Raja Kausika dengan Resi Wasishta.
Akan tetapi panah Bramastra pun terserap ke dalam gada Brahmadanda dari
Resi Wasiahta. Kembali Raja Kausika menderita kekalahan dan kembali bertapa
ribuan tahun agar dapat menjadi seorang resi menandingi Resi Wasishta.
Raja Trisanku dan
keturunannya
Selanjutnya dikisahkan Raja Trisanku dari dinasti Surya, leluhur Sri Rama
tidak ingin mati berpisah dari raganya, dan ingin ke surga bersama raganya. Dia
meminta Resi Wasishta mengabulkan permohonannya, tetapi dia ditolak. Ketika
sang raja mohon kepada para putra Wasishta, mereka bahkan mengutuknya menjadi
seorang chandala dan tak ada seorang pun yang mengenalinya, sehingga dia pergi
mengembara dan tidak kembali ke istana.
Dalam pengembaraannya, sang chandala bertemu dengan Resi Kausika yang
sedang bertapa. Kausika mengenali bahwa sang chandala adalah Raja Trisanku.
Raja Trisanku berkata, “Sewaktu menjadi raja, aku selalu berbuat baik dan tak
pernah menyimpang dharma, tetapi putra Wasihta telah mengutukku, mohon
pertolongan Resi.”
Resi Kausika membantu Raja Trisanku, bahkan mengusahakan Raja Trisanku
dapat naik ke surga bersama tubuhnya. Ketika Raja Trisanku ke surga dan dan
ditolak Indra, Resi Kausika membuatkan surga khusus bagi Trisanku, dan para
dewa terpaksa menyetujuinya takut kepada kesaktian Resi Kausika.
Pada suatu saat Resi Kausika terketuk oleh pengorbanan Resi Ajigarta yang
merelakan putranya menjadi persembahan Waruna agar cucu Raja Trisanku yang
menjadi putra mahkota selamat. Resi Kausika memanggil seratus putranya agar ada
salah satu yang sanggup berkorban menggantikan putra Resi Ajigarta. Separuh
putranya menolak dan beralasan mengapa putra seorang raja menggantikan putra
resi sebagai korban persembahan. Kemudian kelimapuluh putranya dikutuk menjadi
pengikut suku liar pemakan anjing Nisada selama 1000 tahun.
Demikian juga kala Kausika sedang mengadakan upacara persembahan agar
Trisanku bisa naik ke surga, para putra Wasishta melecehkannya, “Bagaimana bisa
bekas raja dapat menaikkan seorang chandala ke surga.” Para putra Wasishta pun
dikutuk menjadi pengikut suku liar Nisada selama 1000 tahun. Kutukan
tersebut dapat dimaknai, seorang brahmana yang membuat seorang raja menjadi
chandala, dan menyepelekan tapa seorang ksatriya, maka dia pun harus merasakan
bagaimana penderitaan seorang akibat perbuatannya dan bagaimana rasanya
disepelekan masyarakat.
Resi Wasishta memang bijaksana dan tidak mempunyai keterikatan terhadap
keluarga. Resi Wasihta, tidak marah putra-putranya dikutuk, karena berpendapat
sebuah kutukan hanya dapat terjadi karena hukum sebab akibat. Kesalahan masa
lalu bisa saja memberikan akibat pada saat ini. Putra-putra kandungnya adalah
para putranya pada kehidupan saat ini. Sudah ribuan putra dalam ribuan
kehidupan dimiliki dalam kehidupan sebelumnya. Putra sejatinya adalah para
muridnya, yang ingin meningkatkan kesadaran melalui dirinya sebagai seorang
Guru. Resi Wasishta paham masalah hakim-menghakimi adalah urusan pikiran.
Bidadari Menaka
Indra yang takut pada kesaktian Wismamitra yang semakin keras bertapa,
mengutus bidadari Menaka, untuk menggoda. Kausika tergoda dan hidup bersama
Menaka selama 5 tahun dan lahirlah Dewi Shakuntala yang menjadi ibu dari
Bharata, nenek moyang Pandawa dan Hastina.
Walaupun sudah bertapa, potensi bawah sadar dari hasrat yang terpendam
masih muncul juga dalam keadaan tertentu. Kenikmatan inderawi selalu minta
pengulangan. Dan sesuatu yang dilakukan berulang-ulang menjadi kebiasaan,
kecanduan bahkan mengubah karakter. Itulah sebabnya dikatakan bahwa setelah
kesalahan dilakukan berulang-ulang, perasan bersalah sudah lenyap. Problemnya
adalah bahwa kebiasaan yang sudah mendarah daging, akan menjadi bagian dari
pikiran bawah sadar yang sangat sulit dilepaskan. Dosa adalah perbuatan yang
tidak selaras dengan alam, tetapi taubat, metanoia, kembali ke jalan benar,
kembali ke keselarasan alam terasa sangat sulit karena melawan pikiran bawah
sadar. Lebih mudah menghindari daripada pengalaman melakukan berkali-kali
kemudian melepaskan diri. Sebetulnya dengan datangnya Menaka, Keberadaan
mengajari kelembutan terhadap Kausika.
Setelah mendapatkan pelajaran kelembutan, Kausika kembali meneruskan
bertapa selama 1000 tahun. Takut tersaingin Kausika, Indra kembali mengutus
bidadari Rambha untuk menggoda, tetapi kali ini Kausika tidak tergoda, bahkan
mengutuk Rambha untuk hidup sebagai manusia selama 1000 tahun di dunia.
Dengan perenungan selama 1000 tahun, Kausika sudah tidak tergoda bidadari
lagi. Akan tetapi, tiba-tiba kesadaran Kausika muncul, dia telah menguasai ilmu
yoga, tetapi belum bisa mengendalikan diri dan masih sering mengutuk. Padahal
dia sudah belajar kelembutan dari Menaka sebelumnya. Potensi kekerasan masih
ada dalam dirinya. Selanjutnya Kausika segera meneruskan tapanya dengan
membisu. Tak mau bicara dengan siapa pun. Bukan hanya diam agar tidak menyakiti
orang lain, Kausika pun diam agar tidak ada keangkuhan dalam dirinya untuk
memperlihatkan kelebihannya.
Para dewa menghormati semangat tak kenal lelah Kausika dan memberinya
sebutan Brahmarsi, Brahma Resi. Tetapi hal tersebut belum memuaskannya, dia
hanya mau menyudahi tapanya bila Resi Wasishta mengakui dirinya adalah seorang
resi.
Dengan sabar Resi Wasishta mendatangi Kausika dan mengakui Kausika sebagai
resi dan bergelar Resi Wiswamitra, Sahabat Uniwersal, Sahabat Alam Semesta. Resi
Wasishta berkata, “Saat ini sudah kutunggu lama, akhirnya Resi Wiswamitra
menjadi mitraku sebagai Guru Sri Rama selagi remaja. Semoga kita diberkahi Sri
Rama, Dia Yang Berada di Mana-Mana.”
Demikian perjalanan hidup seorang resi yang menjadi guru dari seorang awatara.
Resi Wiswamitra sejak zaman dulu sudah menjadi Guru dari dinasti Surya, sejak
Raja Trisanku, Hariscandra putra Trisanku, Rohita putra Harischandra dan
setelah beberapa generasi akhirnya menjadi guru Sri Rama, sang awatara. Dan
setelah perkawinan Sri Rama dengan Dewi Sinta, tugasnya selesai dan pergi ke
pegunungan Himalaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar