Kamis, 08 November 2012

Kisah Resi Wiswamitra sang Brahmarsi


Resi Wiswamitra dan Resi Wasishta adalah Guru-Guru Sri Rama.  Seorang awatara pun pernah berguru ketika masih muda. Demikian pula seorang resi. Resi Wiswamitra berjuang tanpa kenal lelah untuk meningkatkan kesadaran. Seorang pandai besi pembuat pisau juga memilih baja yang baik untuk membuat pisau yang tajam.  Logam yang lembek tak memiliki potensi menjadi sebuah pisau yang tajam. Demikian pandangan Resi Wasishta terhadap Raja Kausika, nama Resi Wiswamitra sebelum menjadi resi.
Alkisah pada suatu hari, putra mendiang Raja Gadhi bernama Raja Kausika dari dinasti Brighu, yang masih terhitung kakek dari Rama Bargawa atau Awatara Parasurama, beserta pasukannya mengunjungi Resi Wasishta. Mereka dijamu Resi Wasishta dengan hidangan berlimpah. Raja Kausika heran bagaimana caranya Resi Wasishta dapat menyiapkan hidangan begitu nikmat yang mencukupi kebutuhan pasukannya. Kemudian Resi Wasishta memanggil lembu Ilahi Sabala yang merupakan sumber segala kebutuhan yang tak ada habisnya, dan menjelaskan ke Raja Kausika bahwa Sagala lah yang menyediakan hidangan tersebut.
Raja Kausika berkata, “Wahai Resi, lembu ini lebih bermanfaat bagi kerajaan daripada berada di ashram pedesaan, biarlah lembu ini saya bawa ke istana.” Selanjutnya, Raja Kausika memerintahkan para prajuritnya menyeret Sabala. Keinginan untuk memiliki Sabala, dan keinginan untuk mempertahankan kenikmatan dari Sabala, membuat Raja Kausika lupa diri dan mencari pembenaran dengan mengatakan bahwa istana lebih butuh Sabala daripada ashramnya Resi Wasishta.
Lembu Sabala meneteskan air mata, dia sangat sedih, mengapa Resi Wasishta yang sudah dianggap sebagai orang tuanya melepaskan dia begitu saja mengikuti sang raja. Tergerak oleh rasa kasih, Resi Wasishta berkata, “Sabala keluarkan pasukan untuk mengalahkan pasukan Raja Kausika.” Singkat cerita pasukan Raja Kausika mengalami kekalahan telak dari pasukan ciptaan Sabala.
Raja Kausika merasa malu, ternyata kekuatan seorang raja tidak dapat mengalahkan kekuatan seorang resi. Raja Kausika pulang ke istana, menyerahkan kekuasaan kepada putranya dan bertapa mohon senjata dari Bathara Guru, Dewa Shiwa. Dengan panah Bramastra anugerah senjata dari Dewa Shiwa, Raja Kausika kembali mendatangi padepokan Resi Wasishta. Dengan panahnya padepokan tersebut dihancurkan menjadi abu dan akhirnya berhadapanlah Raja Kausika dengan Resi Wasishta.
Akan tetapi panah Bramastra pun terserap ke dalam gada Brahmadanda dari Resi Wasiahta. Kembali Raja Kausika menderita kekalahan dan kembali bertapa ribuan tahun agar dapat menjadi seorang resi menandingi Resi Wasishta.

Raja Trisanku dan keturunannya

Selanjutnya dikisahkan Raja Trisanku dari dinasti Surya, leluhur Sri Rama tidak ingin mati berpisah dari raganya, dan ingin ke surga bersama raganya. Dia meminta Resi Wasishta mengabulkan permohonannya, tetapi dia ditolak. Ketika sang raja mohon kepada para putra Wasishta, mereka bahkan mengutuknya menjadi seorang chandala dan tak ada seorang pun yang mengenalinya, sehingga dia pergi mengembara dan tidak kembali ke istana.
Dalam pengembaraannya, sang chandala bertemu dengan Resi Kausika yang sedang bertapa. Kausika mengenali bahwa sang chandala adalah Raja Trisanku. Raja Trisanku berkata, “Sewaktu menjadi raja, aku selalu berbuat baik dan tak pernah menyimpang dharma, tetapi putra Wasihta telah mengutukku, mohon pertolongan Resi.”
Resi Kausika membantu Raja Trisanku, bahkan mengusahakan Raja Trisanku dapat naik ke surga bersama tubuhnya. Ketika Raja Trisanku ke surga dan dan ditolak Indra, Resi Kausika membuatkan surga khusus bagi Trisanku, dan para dewa terpaksa menyetujuinya takut kepada kesaktian Resi Kausika.
Pada suatu saat Resi Kausika terketuk oleh pengorbanan Resi Ajigarta yang merelakan putranya menjadi persembahan Waruna agar cucu Raja Trisanku yang menjadi putra mahkota selamat. Resi Kausika memanggil seratus putranya agar ada salah satu yang sanggup berkorban menggantikan putra Resi Ajigarta. Separuh putranya menolak dan beralasan mengapa putra seorang raja menggantikan putra resi sebagai korban persembahan. Kemudian kelimapuluh putranya dikutuk menjadi pengikut suku liar pemakan anjing Nisada selama 1000 tahun.
Demikian juga kala Kausika sedang mengadakan upacara persembahan agar Trisanku bisa naik ke surga, para putra Wasishta melecehkannya, “Bagaimana bisa bekas raja dapat menaikkan seorang chandala ke surga.” Para putra Wasishta pun dikutuk  menjadi pengikut suku liar Nisada selama 1000 tahun. Kutukan tersebut dapat dimaknai, seorang brahmana yang membuat seorang raja menjadi chandala, dan menyepelekan tapa seorang ksatriya, maka dia pun harus merasakan bagaimana penderitaan seorang  akibat perbuatannya dan bagaimana rasanya disepelekan masyarakat.
Resi Wasishta memang bijaksana dan tidak mempunyai keterikatan terhadap keluarga. Resi Wasihta, tidak marah putra-putranya dikutuk, karena berpendapat sebuah kutukan hanya dapat terjadi karena hukum sebab akibat. Kesalahan masa lalu bisa saja memberikan akibat pada saat ini. Putra-putra kandungnya adalah para putranya pada kehidupan saat ini. Sudah ribuan putra dalam ribuan kehidupan dimiliki dalam kehidupan sebelumnya. Putra sejatinya adalah para muridnya, yang ingin meningkatkan kesadaran melalui dirinya sebagai seorang Guru. Resi Wasishta paham masalah hakim-menghakimi adalah urusan pikiran.

Bidadari Menaka

Indra yang takut pada kesaktian Wismamitra yang semakin keras bertapa, mengutus bidadari Menaka, untuk menggoda. Kausika tergoda dan hidup bersama Menaka selama 5 tahun dan lahirlah Dewi Shakuntala yang menjadi ibu dari Bharata, nenek moyang Pandawa dan Hastina. 
Walaupun sudah bertapa, potensi bawah sadar dari hasrat yang terpendam masih muncul juga dalam keadaan tertentu. Kenikmatan inderawi selalu minta pengulangan. Dan sesuatu yang dilakukan berulang-ulang menjadi kebiasaan, kecanduan bahkan mengubah karakter. Itulah sebabnya dikatakan bahwa setelah kesalahan dilakukan berulang-ulang, perasan bersalah sudah lenyap. Problemnya adalah bahwa kebiasaan yang sudah mendarah daging, akan menjadi bagian dari pikiran bawah sadar yang sangat sulit dilepaskan. Dosa adalah perbuatan yang tidak selaras dengan alam, tetapi taubat, metanoia, kembali ke jalan benar, kembali ke keselarasan alam terasa sangat sulit karena melawan pikiran bawah sadar. Lebih mudah menghindari daripada pengalaman melakukan berkali-kali kemudian melepaskan diri. Sebetulnya dengan datangnya Menaka, Keberadaan mengajari kelembutan terhadap Kausika.
Setelah mendapatkan pelajaran kelembutan, Kausika kembali meneruskan bertapa selama 1000 tahun. Takut tersaingin Kausika, Indra kembali mengutus bidadari Rambha untuk menggoda, tetapi kali ini Kausika tidak tergoda, bahkan mengutuk Rambha untuk hidup sebagai manusia selama 1000 tahun di dunia.
Dengan perenungan selama 1000 tahun, Kausika sudah tidak tergoda bidadari lagi. Akan tetapi, tiba-tiba kesadaran Kausika muncul, dia telah menguasai ilmu yoga, tetapi belum bisa mengendalikan diri dan masih sering mengutuk. Padahal dia sudah belajar kelembutan dari Menaka sebelumnya. Potensi kekerasan masih ada dalam dirinya. Selanjutnya Kausika segera meneruskan tapanya dengan membisu. Tak mau bicara dengan siapa pun. Bukan hanya diam agar tidak menyakiti orang lain, Kausika pun diam agar tidak ada keangkuhan dalam dirinya untuk memperlihatkan kelebihannya.
Para dewa menghormati semangat tak kenal lelah Kausika dan memberinya sebutan Brahmarsi, Brahma Resi. Tetapi hal tersebut belum memuaskannya, dia hanya mau menyudahi tapanya bila Resi Wasishta mengakui dirinya adalah seorang resi.
Dengan sabar Resi Wasishta mendatangi Kausika dan mengakui Kausika sebagai resi dan bergelar Resi Wiswamitra, Sahabat Uniwersal, Sahabat Alam Semesta. Resi Wasishta berkata, “Saat ini sudah kutunggu lama, akhirnya Resi Wiswamitra menjadi mitraku sebagai Guru Sri Rama selagi remaja. Semoga kita diberkahi Sri Rama, Dia Yang Berada di Mana-Mana.”
Demikian perjalanan hidup seorang resi yang menjadi guru dari seorang awatara. Resi Wiswamitra sejak zaman dulu sudah menjadi Guru dari dinasti Surya, sejak Raja Trisanku, Hariscandra putra Trisanku, Rohita putra Harischandra dan setelah beberapa generasi akhirnya menjadi guru Sri Rama, sang awatara. Dan setelah perkawinan Sri Rama dengan Dewi Sinta, tugasnya selesai dan pergi ke pegunungan Himalaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar