Kamis, 08 November 2012

Kisah 8 Wasu dan Kelahiran Dewabrata


Ada seorang raja agung di bumi bernama Mahabhishak. Sang raja pernah ke istana Dewa Indra untuk mendapat penghargaan. Kala itu Dewi Gangga, seorang bidadari datang ke istana dan terpesona oleh ketampanan sang raja. Indra berkata, “ Sesungguhnya kamu seorang penghuni kahyangan, akan tetapi kamu menyenangi wajah manusia. Oleh karena itu kamu harus lahir ke dunia dan menjadi pasangan raja ini dalam kelahiran berikutnya”. Dalam kegalauan hatinya, Dewi Gangga berjumpa dengan delapan Wasu, delapan dewa yang mewakili unsur-unsur alam. Mereka adalah Agni-api, Prithwi-bumi, Wayu-angin, Antariksha-atmosfir, Aditya-Surya, Dyaus-langit (kadang disebut Prabhasa-fajar), Chandra-Bulan, Nakstrani-bintang-bintang (kadang disebut Dhruwa-bintang kutub). Mereka berkata bahwa mereka dikutuk Resi Wasistha sehingga mereka harus lahir di bumi.

Para Wasu sedang menikmati perjalanan di hutan, kala istri Dyaus melihat seekor sapi yang sangat elok. Sang istri membujuk Dyaus, suaminya untuk mencurinya dengan bantuan Raja Prithu. Ketujuh Wasu yang lain tidak mengingatkan dan membiarkan saja terjadinya pencurian tersebut. Akan tetapi sapi tersebut ternyata milik Resi Wasistha, dan sang resi tahu bahwa para Wasu telah mencuri sapinya. Kedelapan Wasu kemudian dikutuk harus lahir ke dunia. Para Wasu kemudian mohon maaf dan Resi Wasistha meringankan kutukannya. Tujuh dari Wasu akan bebas dari kelahiran di bumi dalam tahun kelahirannya, sedangkan Wasu Dyaus harus menerima hukuman penuh dan dia di bumi akan disebut Dewabrata, bhakti seorang dewa. Brata bisa berarti bhakti atau janji. Kesalahan 7 Wasu adalah mengetahui pencurian sapi, tetapi tidak mengingatkan dan membiarkan Wasu Dyaus mencurinya. Kesalahan tersebut dapat diperingan sehingga setelah kelahiran di bumi, pada tahun itu juga bisa kembali ke kahyangan. Sedangkan kesalahan Wasu Dyaus adalah mencuri sapi dengan mengikuti keinginan isterinyanya. Sehingga Wasu Dyaus dihukum harus hidup di bumi sebagai manusia sampai meninggalnya.

Para Wasu minta tolong kepada Dewi Gangga, “Bunda Mandakini, mohon melakukan tindakan kebaikan kepada kami. Kami mohon dilahirkan sebagai putramu, akan tetapi kami ngeri memikirkan untuk hidup di dalam dunia. Oleh karena itu, buang kami ke sungai Gangga, setelah Bunda melahirkan kami. Tindakan tersebut akan membuat kami memenuhi kutukan yang telah diberikan kepada kami. Dewi Gangga menyetujui permintaan para Wasu.

Dikisahkan Raja Mahabhishak lahir lagi sebagai Prabu Santanu, salah seorang raja generasi ke sembilan belas dari Dinasti Bharata. Prabu Santanu kawin dengan Dewi Gangga dengan perjanjian bahwa sang raja tidak akan mempertanyakan apa yang dilakukan Dewi Gangga terhadap putra-putranya. Sebanyak tujuh putra lahir dari Dewi Gangga yang kemudian dilemparkan ke sungai. Pada waktu Dewi Gangga melahirkan anak kedelapan, Prabu Santanu, tidak kuat menahan diri, melihat kekejaman istrinya dan bertanya, mengapa hal tersebut dilakukan. Dewi Gangga kemudian menyampaikan kisah para Wasu yang minta tolong kepada dirinya agar mereka tidak usah berlama-lama hidup di dunia. Bayi kedelapan tidak dibuang ke sungai dan harus hidup di dunia dan diberi nama Dewabrata. Kemudian oleh karena Prabu Santanu telah ingkar janji kepada Dewi Gangga, maka dia kembali ke kahyangan meninggalkan sang raja beserta putranya. Sang raja sangat sedih ditinggalkan sang bidadari yang kembali ke surga. Dia sering menggendong sang putra berjalan-jalan di Sungai Gangga. Prabu Santanu tidak bisa memahami mengapa seorang anak yang dilahirkan Dewi Gangga harus dibuang ke sungai.

Selanjutnya dikisahkan pada suatu saat Prabu Santanu jatuh cinta kepada seorang putri nelayan bernama Dewi Durgandini. Dewi Durgandini yang telah berputra Abyasa atas perkawinan sebelumnya dengan Resi Parasara, hanya mau kawin dengan Prabu Santanu, apabila putra yang dilahirkannya kelak menjadi putra mahkota. Prabu Sentanu sangat bingung, yang berhak menjadi putra mahkota adalah Dewabrata, kalaupun Dewabrata bersedia mengalah, maka anak keturunan Dewabrata tetap akan menuntut haknya, dan akan terjadi perang saudara pada Dinasti Bharata.

Dewabrata adalah seorang putra yang berjiwa besar dan demi  kecintaan Dewabrata terhadap negara Hastina, agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, Dewabrata bersumpah tidak akan kawin selama hidupnya. Sumpah pengorbanan Dewabrata tersebut membuat Dewabrata kemudian disebut Bhisma, yang (bersumpah) mengerikan. Pengorbanan Bhisma yang begitu besar meningkatkan spiritualnya, sehingga dia diberi anugerah untuk menentukan kapan saatnya meninggalkan jasadnya di dunia di kemudian hari. Bagi Bhisma pengabdian dan bhaktinya hanya untuk Ibu Pertiwi, untuk Hastina. Bhisma tidak melarikan diri ke puncak gunung sebagai pertapa. Dharma bhaktinya adalah mempersatukan negara.

Perkawinan Dewi Durgandini dengan Prabu Sentanu melahirkan dua orang putra, Citragada dan Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya mati sebelum kawin. Wicitrawirya seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah dalam sayembara untuk mendapatkan seorang putri raja. Ketika Raja Kasi mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdian kepada kerajaan Hastina, Bhisma ikut bertanding, menang dan memboyong ketiga putri untuk diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak, Dewi Amba hanya mau kawin dengan Bhisma. Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin demi keutuhan Hastina. Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina tanpa sengaja dia telah membunuh seorang putri, Bhisma sadar dia pun harus terbunuh oleh seorang putri juga nantinya.

Pengabdian Bhisma rupanya hampir sia-sia, karena Wicitrawirya pun meninggal sebelum memberikan putra. Akhirnya Abyasa putera Durgandini dengan Resi Parasara diminta Dewi Durgandini menikahi Dewi Ambalika dan Dewi Ambika. Abyasa patuh terhadap ibunya walau tidak ikhlas memperistri mereka. Abyasa membuat dirinya berwajah mengerikan, sehingga ketika berhubungan suami istri Dewi Ambalika menutup mata, dan lahirlah Destarastra yang buta. Sedangkan Dewi Amba melengoskan leher dan pucat pasi melihat wajah Abyasa yang mengerikan, sehingga lahirlah Pandu yang ‘tengeng’, lehernya miring dan pucat.

Resi Shukabrahma mengakhiri kisah tentang kelahiran Bhisma kepada Parikesit. Dan Parikesit menjadi jelas dengan peran Bhisma Yang Agung, leluhurnya yang berjuang untuk  mempersatukan negara Hastina sampai titik darah yang penghabisan.

Demikianlah kepiawaian Bhagawan Abyasa dalam mendongengkan kisah-kisah Ketuhanan. Sang Bhagawan sudah menceritakan kisah Raja Prithu Yang Agung dengan Bunda Bumi yang berwujud sapi. Raja Prithu berhasil memakmurkan bumi bagi penduduk dunia, sehingga Bunda Bumi disebut sebagai putri Prithu, Prthwi, Ibu Pertiwi. Kemudian Sang Bhagawan juga sudah menceritakan tentang sapi milik Resi Wasistha yang membuat Raja Kausika berubah hidupnya, menjadi seorang rajarishi dan bahkan akhirnya menjadi Brahmarishi bergelar Resi Wiswamitra. Dan kini, Sang Bhagawan menghubungkan kisah Resi Wasistha dengan sapinya dengan Raja Prithu dan kelahiran Dewabrata. Dan tetap saja Sang Bhagawan bercerita bahwa Air adalah sumber kehidupan semua makhluk di dunia.

Bhagawan Abyasa memberi pelajaran bahwa kita harus menghargai pendapat orang lain. Karena mungkin saja ada alasan tepat dibalik tindakan seseorang yang tidak dapat diterima oleh akal kita. Sesungguhnya setiap anak manusia lahir dengan sifat genetik yang diwarisi dari para leluhurnya. Kemudian dia mendapat pengetahuan kebenaran dari orang tua, pendidikan, lingkungan dan pengalaman. Sehingga apa yang dianggap benar oleh seseorang adalah kebenaran menurut kerangka pikirannya yang terbentuk karena mendapatkan informasi secara repetitif dan intensif. Beda orang tua, beda pendidikan, beda lingkungan akan membuat pemahaman mengenai kebenaran yang berbeda. Setelah hal tersebut disadari, maka seseorang akan dapat menghormati keyakinan orang lain. Akan tetapi pengetahuan tersebut juga bisa disalahgunakan, sehingga seseorang bisa membina anak sejak dini secara repetitif-intensif mengenai apa yang benar dan apa yang tidak, sehingga sang anak menganggap bahwa yang tidak sama pemahaman dengannya sebagai kafir yang harus diperangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar