Ada seorang
raja agung di bumi bernama Mahabhishak. Sang raja pernah ke istana Dewa Indra
untuk mendapat penghargaan. Kala itu Dewi Gangga, seorang bidadari datang ke
istana dan terpesona oleh ketampanan sang raja. Indra berkata, “ Sesungguhnya
kamu seorang penghuni kahyangan, akan tetapi kamu menyenangi wajah manusia.
Oleh karena itu kamu harus lahir ke dunia dan menjadi pasangan raja ini dalam
kelahiran berikutnya”. Dalam kegalauan hatinya, Dewi Gangga berjumpa dengan
delapan Wasu, delapan dewa yang mewakili unsur-unsur alam. Mereka adalah
Agni-api, Prithwi-bumi, Wayu-angin, Antariksha-atmosfir, Aditya-Surya,
Dyaus-langit (kadang disebut Prabhasa-fajar), Chandra-Bulan,
Nakstrani-bintang-bintang (kadang disebut Dhruwa-bintang kutub). Mereka berkata
bahwa mereka dikutuk Resi Wasistha sehingga mereka harus lahir di bumi.
Para Wasu
sedang menikmati perjalanan di hutan, kala istri Dyaus melihat seekor sapi yang
sangat elok. Sang istri membujuk Dyaus, suaminya untuk mencurinya dengan
bantuan Raja Prithu. Ketujuh Wasu yang lain tidak mengingatkan dan membiarkan
saja terjadinya pencurian tersebut. Akan tetapi sapi tersebut ternyata milik
Resi Wasistha, dan sang resi tahu bahwa para Wasu telah mencuri sapinya.
Kedelapan Wasu kemudian dikutuk harus lahir ke dunia. Para Wasu kemudian mohon
maaf dan Resi Wasistha meringankan kutukannya. Tujuh dari Wasu akan bebas dari
kelahiran di bumi dalam tahun kelahirannya, sedangkan Wasu Dyaus harus menerima
hukuman penuh dan dia di bumi akan disebut Dewabrata, bhakti seorang dewa.
Brata bisa berarti bhakti atau janji. Kesalahan 7 Wasu adalah mengetahui
pencurian sapi, tetapi tidak mengingatkan dan membiarkan Wasu Dyaus mencurinya.
Kesalahan tersebut dapat diperingan sehingga setelah kelahiran di bumi, pada
tahun itu juga bisa kembali ke kahyangan. Sedangkan kesalahan Wasu Dyaus adalah
mencuri sapi dengan mengikuti keinginan isterinyanya. Sehingga Wasu Dyaus
dihukum harus hidup di bumi sebagai manusia sampai meninggalnya.
Para Wasu
minta tolong kepada Dewi Gangga, “Bunda Mandakini, mohon melakukan tindakan
kebaikan kepada kami. Kami mohon dilahirkan sebagai putramu, akan tetapi kami
ngeri memikirkan untuk hidup di dalam dunia. Oleh karena itu, buang kami ke
sungai Gangga, setelah Bunda melahirkan kami. Tindakan tersebut akan membuat
kami memenuhi kutukan yang telah diberikan kepada kami. Dewi Gangga menyetujui
permintaan para Wasu.
Dikisahkan
Raja Mahabhishak lahir lagi sebagai Prabu Santanu, salah seorang raja generasi
ke sembilan belas dari Dinasti Bharata. Prabu Santanu kawin dengan Dewi Gangga
dengan perjanjian bahwa sang raja tidak akan mempertanyakan apa yang dilakukan
Dewi Gangga terhadap putra-putranya. Sebanyak tujuh putra lahir dari Dewi
Gangga yang kemudian dilemparkan ke sungai. Pada waktu Dewi Gangga melahirkan
anak kedelapan, Prabu Santanu, tidak kuat menahan diri, melihat kekejaman
istrinya dan bertanya, mengapa hal tersebut dilakukan. Dewi Gangga kemudian
menyampaikan kisah para Wasu yang minta tolong kepada dirinya agar mereka tidak
usah berlama-lama hidup di dunia. Bayi kedelapan tidak dibuang ke sungai dan
harus hidup di dunia dan diberi nama Dewabrata. Kemudian oleh karena Prabu
Santanu telah ingkar janji kepada Dewi Gangga, maka dia kembali ke kahyangan
meninggalkan sang raja beserta putranya. Sang raja sangat sedih ditinggalkan
sang bidadari yang kembali ke surga. Dia sering menggendong sang putra
berjalan-jalan di Sungai Gangga. Prabu Santanu tidak bisa memahami mengapa
seorang anak yang dilahirkan Dewi Gangga harus dibuang ke sungai.
Selanjutnya dikisahkan
pada suatu saat Prabu Santanu jatuh cinta kepada seorang putri nelayan bernama
Dewi Durgandini. Dewi Durgandini yang telah berputra Abyasa atas perkawinan
sebelumnya dengan Resi Parasara, hanya mau kawin dengan Prabu Santanu, apabila
putra yang dilahirkannya kelak menjadi putra mahkota. Prabu Sentanu sangat
bingung, yang berhak menjadi putra mahkota adalah Dewabrata, kalaupun Dewabrata
bersedia mengalah, maka anak keturunan Dewabrata tetap akan menuntut haknya,
dan akan terjadi perang saudara pada Dinasti Bharata.
Dewabrata
adalah seorang putra yang berjiwa besar dan demi kecintaan Dewabrata terhadap negara Hastina,
agar tidak terjadi perang saudara di kemudian hari, Dewabrata bersumpah tidak
akan kawin selama hidupnya. Sumpah pengorbanan Dewabrata tersebut membuat
Dewabrata kemudian disebut Bhisma, yang (bersumpah) mengerikan. Pengorbanan
Bhisma yang begitu besar meningkatkan spiritualnya, sehingga dia diberi anugerah
untuk menentukan kapan saatnya meninggalkan jasadnya di dunia di kemudian hari.
Bagi Bhisma pengabdian dan bhaktinya hanya untuk Ibu Pertiwi, untuk Hastina.
Bhisma tidak melarikan diri ke puncak gunung sebagai pertapa. Dharma bhaktinya
adalah mempersatukan negara.
Perkawinan
Dewi Durgandini dengan Prabu Sentanu melahirkan dua orang putra, Citragada dan
Wicitrawirya. Citragada seorang yang sakti, akan tetapi sombong dan akhirnya
mati sebelum kawin. Wicitrawirya seorang yang lemah dan diperkirakan akan kalah
dalam sayembara untuk mendapatkan seorang putri raja. Ketika Raja Kasi
mengadakan sayembara bagi tiga putrinya, demi pengabdian kepada kerajaan
Hastina, Bhisma ikut bertanding, menang dan memboyong ketiga putri untuk
diberikan kepada Wicitrawirya. Dewi Ambalika dan Dewi Ambika menerima kondisi
tersebut, akan tetapi Dewi Amba menolak, Dewi Amba hanya mau kawin dengan
Bhisma. Bhisma mengatakan bahwa dirinya telah bersumpah tidak akan kawin demi
keutuhan Hastina. Bhisma menakut-nakuti Dewi Amba dengan anak panah yang secara
tidak sengaja terlepas dan membunuh Dewi Amba. Bhisma tertegun, demi Hastina
tanpa sengaja dia telah membunuh seorang putri, Bhisma sadar dia pun harus
terbunuh oleh seorang putri juga nantinya.
Pengabdian
Bhisma rupanya hampir sia-sia, karena Wicitrawirya pun meninggal sebelum
memberikan putra. Akhirnya Abyasa putera Durgandini dengan Resi Parasara
diminta Dewi Durgandini menikahi Dewi Ambalika dan Dewi Ambika. Abyasa patuh
terhadap ibunya walau tidak ikhlas memperistri mereka. Abyasa membuat dirinya
berwajah mengerikan, sehingga ketika berhubungan suami istri Dewi Ambalika
menutup mata, dan lahirlah Destarastra yang buta. Sedangkan Dewi Amba
melengoskan leher dan pucat pasi melihat wajah Abyasa yang mengerikan, sehingga
lahirlah Pandu yang ‘tengeng’, lehernya miring dan pucat.
Resi
Shukabrahma mengakhiri kisah tentang kelahiran Bhisma kepada Parikesit. Dan
Parikesit menjadi jelas dengan peran Bhisma Yang Agung, leluhurnya yang
berjuang untuk mempersatukan negara
Hastina sampai titik darah yang penghabisan.
Demikianlah
kepiawaian Bhagawan Abyasa dalam mendongengkan kisah-kisah Ketuhanan. Sang
Bhagawan sudah menceritakan kisah Raja Prithu Yang Agung dengan Bunda Bumi yang
berwujud sapi. Raja Prithu berhasil memakmurkan bumi bagi penduduk dunia,
sehingga Bunda Bumi disebut sebagai putri Prithu, Prthwi, Ibu Pertiwi. Kemudian
Sang Bhagawan juga sudah menceritakan tentang sapi milik Resi Wasistha yang
membuat Raja Kausika berubah hidupnya, menjadi seorang rajarishi dan bahkan
akhirnya menjadi Brahmarishi bergelar Resi Wiswamitra. Dan kini, Sang Bhagawan
menghubungkan kisah Resi Wasistha dengan sapinya dengan Raja Prithu dan
kelahiran Dewabrata. Dan tetap saja Sang Bhagawan bercerita bahwa Air adalah
sumber kehidupan semua makhluk di dunia.
Bhagawan
Abyasa memberi pelajaran bahwa kita harus menghargai pendapat orang lain.
Karena mungkin saja ada alasan tepat dibalik tindakan seseorang yang tidak
dapat diterima oleh akal kita. Sesungguhnya setiap anak manusia lahir dengan
sifat genetik yang diwarisi dari para leluhurnya. Kemudian dia mendapat pengetahuan
kebenaran dari orang tua, pendidikan, lingkungan dan pengalaman. Sehingga apa
yang dianggap benar oleh seseorang adalah kebenaran menurut kerangka pikirannya
yang terbentuk karena mendapatkan informasi secara repetitif dan intensif. Beda
orang tua, beda pendidikan, beda lingkungan akan membuat pemahaman mengenai
kebenaran yang berbeda. Setelah hal tersebut disadari, maka seseorang akan
dapat menghormati keyakinan orang lain. Akan tetapi pengetahuan tersebut juga
bisa disalahgunakan, sehingga seseorang bisa membina anak sejak dini secara
repetitif-intensif mengenai apa yang benar dan apa yang tidak, sehingga sang
anak menganggap bahwa yang tidak sama pemahaman dengannya sebagai kafir yang
harus diperangi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar