Kamis, 22 November 2012

Kisah Gajendra: Kesadaran dan Doa


Bukit Trikuta terkenal karena keindahannya. Dari segala jenis tanaman, binatang-binatang kecil sampai binatang besar, para Siddha-orang suci setengah dewa, para Carana-penyanyi surgawi, para Gandharwa-pemusik surgawi sering ke sana. Di tengah-tengah bukit terdapat sebuah danau yang luas dengan tanaman berbagai jenis teratai yang mengapung di atas permukaan airnya. Di dalam bukit tersebut tinggallah sekelompok gajah yang sangat berbahagia dengan keindahan dan kesuburan bukit tersebut. Pada suatu hari setelah melakukan perjalanan jauh di musim panas, mereka bermain air di danau  tersebut. Sang pemimpin gajah menyedot air dari danau dan memandikan gajah-gajah kecil. Mereka sangat bergembira, layaknya manusia di tengah kesenangan samsara, melupakan fakta bahwa setiap hari batas usianya semakin bertambah pendek. Mereka juga melupakan akan adanya hal yang tak terduga yang bisa langsung mengancam kehidupan mereka. Semuanya telah mengabaikan bahaya yang tersembunyi dari dalam air.

Tiba-tiba seekor buaya besar menarik kaki pemimpin gajah dengan kuatnya. Kejadian tak terduga tersebut membuat sang gajah terkejut dan mencoba untuk melepaskan diri dari sang buaya. Para teman-temannya berusaha membantunya tetapi gigitan sang buaya begitu kuatnya sehingga mereka tidak berhasil melepaskan kaki sang pemimpin. Pergumulan berlangsung sengit sampai beberapa hari, beberapa minggu, beberapa bulan dan bahkan beberapa tahun. Bahkan para dewa hadir untuk melihat pertarungan antara sang raja gajah dan sang raja buaya. Pelan-pelan tetapi pasti kekuatan sang gajah mulai surut dan kekuatan sang buaya semakin perkasa. Sang gajah akhirnya menyadari bahwa pada suatu saat dia akan kalah dan hidupnya akan tamat, persoalannya hanya masalah waktu saja. “Aku berada dalam ancaman yang yang nyata, dan kemampuan diriku tak akan dapat melepaskan diri dari ancaman yang telah mencengkeram diriku. Aku menyadari tak ada seorang pun yang dapat menolongku. Tetapi aku mempunyai suatu harapan. Aku dapat menyerahkan diri pada Tuhan yang adalah tempat perlindungan semua makhluk, termasuk bagi Dewa Brahma, sang pencipta. Ia pasti melindungi aku dari Yama yang berusaha untuk menakutiku. Jika Tuhan bersamaku, kematian sendiri akan melarikan diri. Aku akan berdoa kepada Tuhan.” “Engkau adalah Purusa, jiwa alam semesta. Dan Prakrti, alam semesta ini berasal dari Purusa.  Engkau adalah cahaya yang menerangi kecerdasan manusia. Seluruh alam semesta ini diciptakan oleh-Mu, dipelihara oleh-Mu dan tidak pernah terlepas oleh-Mu. Engkau adalah penyebab di balik alam semesta. Engkau ada ada di luar jangkauan indra, pikiran, emosi dan intelegensia. Meski engkau ada ada di luar pemahaman, ada beberapa orang yang sudah menyatu dengan-Mu.”

Sang gajah melanjutkan, “Kelahiranku ini tak bermakna dan penuh dengan awidya, ketidaktahuan. Pikiran dan wujudku ini tidak ada gunanya bagiku. Aku tidak mempunyai keinginan apa pun lagi. Aku ingin hidup yang tidak akan dibinasakan oleh waktu. Wahai Tuhan, obatilah awidyaku. Para yogi dapat melihatmu lewat hati mereka karena hasil karma. Penyakit mereka yang telah dibakar oleh api kesadaran. Kebesaran-Mu tersembunyi bagi bagi makhluk bodoh seperti aku sebab kesadaranku tertutup oleh awan perasaan “aku” dan “milikku”. Aku menyerahkan diriku pada-Mu.” Sang gajah menambahkan doa, “Aku menyerahkan diri kepada-Mu. Diriku ini adalah milik-Mu. Kemudian Engkau adalah satu-satunya tempat perlindunganku. Harapanku agar Engkau menerima diriku, apa pun yang akan terjadi denganku, aku mohon Engkau dapat menerima diriku.”

Narayana datang naik Garuda dan masuk ke dalam danau dan membunuh buaya dengan senjata chakra serta menarik sang gajah keluar dari danau. Semua yang hadir melihat dari bangkai buaya muncul gandharwa bernama Huhu. Ia bersujud di kaki Narayana dan memuji dia dengan nyanyian Ilahi. Pada tahun sebelumnya, Gandharwa Huhu sedang mandi dengan istrinya tatkala Resi Dewala sedang berendam di tempat yang sama. Sambil bercanda sang Gandharwa menarik kaki sang resi. Karena terganggu meditasinya Resi Dewala mengutuk, “Karena kau menikmati permainan ini, maka kau akan menjadi seekor buaya selama hidupmu.” Gandharwa dan isterinya mohon maaf atas kesalahannya dan Resi Dewala merasa iba dan berkata, “Kau akan hidup lama di sini sampai suatu saat ada sekelompok gajah bermain air di sini. Kamu harus menarik kakinya dan jangan sampai lepas. Gajah itu akan mohon kepada Tuhan dan Tuhan akan membunuhmu dan memberikan kebebasan.” Sang Gandharwa melakukan pradaksina, menghormat dengan mengelilinginya kepada Narayana dan menjauh dengan menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan.

Resi Shuka melihat wajah Parikesit yang bingung mendengar kisahnya, maka dia melanjutkan, “Kamu terkejut karena mendengar ada binatang yang mengucapkan doa yang belum tentu seorang yogi dapat melakukannya. Bagaimana gajah mengetahui tentang purusa dan prakrti? Adalah sebuah negeri di Pandya yang dipimpin oleh seorang raja bijak bernama Indradyumna. Ia adalah seorang pemuja Narayana. Suatu saat ia sedang memuja Tuhan di lereng gunung di Malaya. Dia mandi dan kemudian mengendalikan pikirannya bermediatasi pada wujud Narayana dan larut sehingga tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. Resi Agastya yang tinggal di gunung tersebut datang ke tempat tersebut dengan para muridnya. Melihat sang raja berdiri dan tidak menggunakan etika untuk menyambut seorang resi yang datang, maka Resi Agastya mengutuk, “Karena dia dalam posisi berdiri, maka dia akan dilahirkan lagi sebagai gajah lambang daripada tamas-malas.” Dan kemudian sang resi pergi.

Dalam diri sang raja sama sekali tak ada rasa marah atas ketidakadilan ini. Sang raja paham kutukan tersebut adalah untuk membebaskan dia hutang-hutang perbuatan di masa lalu yang tidak dapat diingatnya lagi. Sang raja menerima kelahiran sebagai gajah dan mengembara di bukit Trikuta. Tetapi karena pikirannya terfokus pada Tuhan maka dia berbeda dibandingkan dengan gajah lainnya. Pada kondisi kritis dia teringat lagi kelahiran sebelumnya dan ia berdoa kembali kepada Tuhan layaknya seorang manusia bijak. Indradyumna kini bebas dari kutukan dan juga telah memperoleh kebebasan dari perbudakan samsara. Narayana menjadikannya sebagai penjaga-Nya disamping Garuda.

Pelajaran dari kisah Gajah yang bermain-main air di danau tertangkap oleh buaya adalah sebagai berikut. Danau adalah simbol dari samsara. Manusia dengan pikiran seperti seekor gajah liar, memasuki danau di hutan kehidupan. Pikiran selalu haus akan kesenangan sensual. Dan, saat manusia melangkah ke dalam lautan samsara, buaya maya menangkap dan memegangnya. Manusia berjuang keras untuk membebaskan diri dari perbudakan tetapi hal tersebut merupakan pekerjaan purna waktu selama hayat dikandung badan. Suatu saat usianya bertambah dan dia menjadi semakin lemah. Kemudian dia sadar akan kelemahan dirinya dan dia berdoa kepada Tuhan untuk menyelamatkannya. Ketika manusia terjebak dalam belenggu samsara, jika dia berdoa kepada Tuhan dan berserah diri kepada-Nya, maka Tuhan pasti akan membebaskannya dari perbudakan. Doa berarti “kepasrahan”. Doa berarti “melepaskan pikiran”. Doa berarti “melampaui keakuan”. Berdoa berarti “berserah diri”. Doa bukanlah sekedar gerakan badan, tetapi gerakan jiwa.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar