Bukit Trikuta
terkenal karena keindahannya. Dari segala jenis tanaman, binatang-binatang
kecil sampai binatang besar, para Siddha-orang suci setengah dewa, para
Carana-penyanyi surgawi, para Gandharwa-pemusik surgawi sering ke sana. Di
tengah-tengah bukit terdapat sebuah danau yang luas dengan tanaman berbagai
jenis teratai yang mengapung di atas permukaan airnya. Di dalam bukit tersebut
tinggallah sekelompok gajah yang sangat berbahagia dengan keindahan dan
kesuburan bukit tersebut. Pada suatu hari setelah melakukan perjalanan jauh di
musim panas, mereka bermain air di danau
tersebut. Sang pemimpin gajah menyedot air dari danau dan memandikan
gajah-gajah kecil. Mereka sangat bergembira, layaknya manusia di tengah
kesenangan samsara, melupakan fakta bahwa setiap hari batas usianya semakin
bertambah pendek. Mereka juga melupakan akan adanya hal yang tak terduga yang
bisa langsung mengancam kehidupan mereka. Semuanya telah mengabaikan bahaya
yang tersembunyi dari dalam air.
Tiba-tiba
seekor buaya besar menarik kaki pemimpin gajah dengan kuatnya. Kejadian tak
terduga tersebut membuat sang gajah terkejut dan mencoba untuk melepaskan diri
dari sang buaya. Para teman-temannya berusaha membantunya tetapi gigitan sang
buaya begitu kuatnya sehingga mereka tidak berhasil melepaskan kaki sang
pemimpin. Pergumulan berlangsung sengit sampai beberapa hari, beberapa minggu,
beberapa bulan dan bahkan beberapa tahun. Bahkan para dewa hadir untuk melihat
pertarungan antara sang raja gajah dan sang raja buaya. Pelan-pelan tetapi
pasti kekuatan sang gajah mulai surut dan kekuatan sang buaya semakin perkasa.
Sang gajah akhirnya menyadari bahwa pada suatu saat dia akan kalah dan hidupnya
akan tamat, persoalannya hanya masalah waktu saja. “Aku berada dalam ancaman
yang yang nyata, dan kemampuan diriku tak akan dapat melepaskan diri dari
ancaman yang telah mencengkeram diriku. Aku menyadari tak ada seorang pun yang
dapat menolongku. Tetapi aku mempunyai suatu harapan. Aku dapat menyerahkan
diri pada Tuhan yang adalah tempat perlindungan semua makhluk, termasuk bagi
Dewa Brahma, sang pencipta. Ia pasti melindungi aku dari Yama yang berusaha
untuk menakutiku. Jika Tuhan bersamaku, kematian sendiri akan melarikan diri.
Aku akan berdoa kepada Tuhan.” “Engkau adalah Purusa, jiwa alam semesta. Dan
Prakrti, alam semesta ini berasal dari Purusa.
Engkau adalah cahaya yang menerangi kecerdasan manusia. Seluruh alam
semesta ini diciptakan oleh-Mu, dipelihara oleh-Mu dan tidak pernah terlepas
oleh-Mu. Engkau adalah penyebab di balik alam semesta. Engkau ada ada di luar
jangkauan indra, pikiran, emosi dan intelegensia. Meski engkau ada ada di luar
pemahaman, ada beberapa orang yang sudah menyatu dengan-Mu.”
Sang gajah
melanjutkan, “Kelahiranku ini tak bermakna dan penuh dengan awidya,
ketidaktahuan. Pikiran dan wujudku ini tidak ada gunanya bagiku. Aku tidak
mempunyai keinginan apa pun lagi. Aku ingin hidup yang tidak akan dibinasakan
oleh waktu. Wahai Tuhan, obatilah awidyaku. Para yogi dapat melihatmu lewat
hati mereka karena hasil karma. Penyakit mereka yang telah dibakar oleh api
kesadaran. Kebesaran-Mu tersembunyi bagi bagi makhluk bodoh seperti aku sebab
kesadaranku tertutup oleh awan perasaan “aku” dan “milikku”. Aku menyerahkan
diriku pada-Mu.” Sang gajah menambahkan doa, “Aku menyerahkan diri kepada-Mu.
Diriku ini adalah milik-Mu. Kemudian Engkau adalah satu-satunya tempat
perlindunganku. Harapanku agar Engkau menerima diriku, apa pun yang akan
terjadi denganku, aku mohon Engkau dapat menerima diriku.”
Narayana
datang naik Garuda dan masuk ke dalam danau dan membunuh buaya dengan senjata
chakra serta menarik sang gajah keluar dari danau. Semua yang hadir melihat
dari bangkai buaya muncul gandharwa bernama Huhu. Ia bersujud di kaki Narayana
dan memuji dia dengan nyanyian Ilahi. Pada tahun sebelumnya, Gandharwa Huhu
sedang mandi dengan istrinya tatkala Resi Dewala sedang berendam di tempat yang
sama. Sambil bercanda sang Gandharwa menarik kaki sang resi. Karena terganggu
meditasinya Resi Dewala mengutuk, “Karena kau menikmati permainan ini, maka kau
akan menjadi seekor buaya selama hidupmu.” Gandharwa dan isterinya mohon maaf
atas kesalahannya dan Resi Dewala merasa iba dan berkata, “Kau akan hidup lama
di sini sampai suatu saat ada sekelompok gajah bermain air di sini. Kamu harus
menarik kakinya dan jangan sampai lepas. Gajah itu akan mohon kepada Tuhan dan
Tuhan akan membunuhmu dan memberikan kebebasan.” Sang Gandharwa melakukan
pradaksina, menghormat dengan mengelilinginya kepada Narayana dan menjauh
dengan menyanyikan lagu pujian kepada Tuhan.
Resi Shuka
melihat wajah Parikesit yang bingung mendengar kisahnya, maka dia melanjutkan,
“Kamu terkejut karena mendengar ada binatang yang mengucapkan doa yang belum
tentu seorang yogi dapat melakukannya. Bagaimana gajah mengetahui tentang
purusa dan prakrti? Adalah sebuah negeri di Pandya yang dipimpin oleh seorang
raja bijak bernama Indradyumna. Ia adalah seorang pemuja Narayana. Suatu saat
ia sedang memuja Tuhan di lereng gunung di Malaya. Dia mandi dan kemudian
mengendalikan pikirannya bermediatasi pada wujud Narayana dan larut sehingga
tidak tahu apa yang terjadi di sekelilingnya. Resi Agastya yang tinggal di
gunung tersebut datang ke tempat tersebut dengan para muridnya. Melihat sang
raja berdiri dan tidak menggunakan etika untuk menyambut seorang resi yang
datang, maka Resi Agastya mengutuk, “Karena dia dalam posisi berdiri, maka dia
akan dilahirkan lagi sebagai gajah lambang daripada tamas-malas.” Dan kemudian
sang resi pergi.
Dalam diri
sang raja sama sekali tak ada rasa marah atas ketidakadilan ini. Sang raja
paham kutukan tersebut adalah untuk membebaskan dia hutang-hutang perbuatan di
masa lalu yang tidak dapat diingatnya lagi. Sang raja menerima kelahiran
sebagai gajah dan mengembara di bukit Trikuta. Tetapi karena pikirannya
terfokus pada Tuhan maka dia berbeda dibandingkan dengan gajah lainnya. Pada
kondisi kritis dia teringat lagi kelahiran sebelumnya dan ia berdoa kembali
kepada Tuhan layaknya seorang manusia bijak. Indradyumna kini bebas dari
kutukan dan juga telah memperoleh kebebasan dari perbudakan samsara. Narayana
menjadikannya sebagai penjaga-Nya disamping Garuda.
Pelajaran dari
kisah Gajah yang bermain-main air di danau tertangkap oleh buaya adalah sebagai
berikut. Danau adalah simbol dari samsara. Manusia dengan pikiran seperti
seekor gajah liar, memasuki danau di hutan kehidupan. Pikiran selalu haus akan
kesenangan sensual. Dan, saat manusia melangkah ke dalam lautan samsara, buaya
maya menangkap dan memegangnya. Manusia berjuang keras untuk membebaskan diri dari
perbudakan tetapi hal tersebut merupakan pekerjaan purna waktu selama hayat
dikandung badan. Suatu saat usianya bertambah dan dia menjadi semakin lemah.
Kemudian dia sadar akan kelemahan dirinya dan dia berdoa kepada Tuhan untuk
menyelamatkannya. Ketika manusia terjebak dalam belenggu samsara, jika dia
berdoa kepada Tuhan dan berserah diri kepada-Nya, maka Tuhan pasti akan membebaskannya
dari perbudakan. Doa berarti “kepasrahan”. Doa berarti “melepaskan pikiran”.
Doa berarti “melampaui keakuan”. Berdoa berarti “berserah diri”. Doa bukanlah
sekedar gerakan badan, tetapi gerakan jiwa.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar