Senin, 12 November 2012

Kisah Raja Gadhi dan Resi Ruchika


Raja Gadhi adalah generasi ke 14 dari keturunan Raja Pururawa. Sang raja sudah lama belum mempunyai putra, walau sudah mempunyai putri seorang gadis bernama Satyawati. Adalah seorang resi bernama Ruchika yang merupakan resi besar anak keturunan Resi Brighu putra Brahma, melamar sang putri. Sang raja menyetujui asalkan sang resi dapat memberikan 1.000 ekor kuda putih yang telinganya berwarna hitam sebagai mas kawin. Resi Ruchika bertapa dan meminta kepada Waruna, raja samudra untuk membantunya. Dengan bantuan Waruna, sang resi berhasil membawa persyaratan tersebut dan dia menjadi suami dari Satyawati.

Pada masa itu, para resi dipandang sebagai manusia terhormat yang tidak begitu terikat dengan keduniawian dan tugasnya mengajar manusia ke arah kebaikan. Sedangkan para ksatria dan para raja yang berkuasa pada masa itu sering menyalahgunakan kekuasaannya. Raja Gadhi sendiri adalah seorang raja yang bijaksana yang dihormati para resi dan seluruh rakyatnya.

Kedua ibu dan anak, Permaisuri Raja Gadhi dan Satyawati, minta tolong Resi Ruchika, suami Satyawati agar dapat membantu mereka memperoleh putra. Resi Ruchika kemudian mempersiapkan dua mangkuk berisi air untuk diminum istrinya dan ibu mertuanya. Kemudian sang resi pergi ke sungai melaksanakan ritual doa saat matahari mulai tenggelam.

Dikisahkan sang permaisuri curiga bahwa Resi Ruchika mesti akan memberikan putra yang terbaik bagi istrinya, maka kemudian sang permaisuri minta kepada putrinya untuk bertukar mangkuk dan selanjutnya mereka meminumnya. Ketika Resi Ruchika pulang dari sungai, Satyawati berkata bahwa ibunya telah memintanya bertukar mangkuk. Resi Ruchika menyampaikan bahwa Kehendak Tuhan-lah yang terjadi dan bukan kehendak manusia. Resi Ruchika menyampaikan bahwa air dalam mangkuk yang diperuntukkan bagi ibunya bertujuan agar sang permaisuri memperoleh keturunan seorang ksatria yang berkarakter tegas yang cocok sebagai seorang putra mahkota. Sedangkan air dalam mangkuk yang diperuntukkan bagi Satyawati bertujuan agar dia memperoleh keturunan yang berkarakter brahmana yang teguh yang cocok bagi keturunan mereka.

Satyawati menyesal, rupanya dia tidak menginginkan putranya menjadi ksatria yang sakti yang sering menyalahgunakan kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang karena kekuasaannya. Selanjutnya, Satyawati memohon kepada Resi Ruchika agar keadaan tersebut dapat diperbaiki. Resi Ruchika mengatakan bahwa dia bisa mengusahakan agar kejadian tersebut digeser tetapi hanya dalam satu generasi, sehingga cucu mereka akan menjadi ksatria walaupun keturunan Brahmana. Pikiran manusia memang terbatas pada bayangan yang dapat digambarkannya. Satyawati akhirnya mempunyai seorang putra yang mempunyai karakter seorang brahmana sejati dan nantinya salah seorang cucunya mempunyai sifat seorang ksatria sejati.

Tidak berapa lama, Permaisuri Raja Gadhi melahirkan seorang putra bernama Kausika. Kausika adalah seorang pangeran, seorang putra mahkota dengan sifat kebrahmanaan yang kuat. Dalam kisah selanjutnya Kausika akan menjadi seorang Rajarishi, Dewarishi dan bahkan Brahmarishi bergelar Resi Wiswamitra yang menjadi salah seorang Guru Sri Rama disamping Resi Wasistha putra Brahma. Disebutkan ada 3 tingkatan Resi: Brahmarishi, kemudian Dewarishi peringkat yang lebih rendah, dan Rajarishi atau Raja yang menjadi Resi melalui pengetahuan dan tapa.

Satyawati kemudian menurunkan putra seorang brahmana bijaksana bernama Resi Jamadagni yang termasuk menjadi saptarishi dalam manwatara terkait. Saptarishi pada manwantara pertama adalah: Marichi, Atri, Angirasa, Pulaha, Kratu, Pulastya, dan Wasistha. Dalam manwantara saat ini ada yang menyebutkan sebagai saptarishi adalah: Kasyapa, Atri, Wasistha, Wiswamitra, Gautama, Jamadagni, dan Bharadwaja. Resi Jamadagni kemudian menurunkan Parasurama, seorang brahmana yang berkualitas sebagai ksatria sejati yang memberantas keangkaramurkaan para ksatria.

Bila Shraddadewa dari Dinasti Surya menginginkan seorang putra dan istrinya menginginkan seorang putri yang akhirnya dalam Srimad Bhagawatam dikisahkan bahwa setiap bulan sang anak berganti kelamin, satu bulan sebagai Pangeran Sudyumna dan satu bulan kemudian menjadi Putri Ila. Lima belas generasi berikutnya maka permasalahannya adalah apakah seorang putra akan memiliki karakter  kesatria atau brahmana.

Dalam kisah Srimad Bhagawatam, kita melihat kebenaran pandangan tersebut di atas. Para Awatara penyelamat dharma tidak semuanya lahir sebagai brahmana. Wisnu mewujud sebagai ikan – Matsya Awatara, sebagai kura-kura – Kurma Awatara, dan mewujud sebagai celeng raksasa – Waraha Awatara. Kemudian mewujud sebagai setengah binatang dan setengah manusia – Narasimha Awatara. Wisnu mewujud sebagai Brahmana hanya pada waktu menjadi Wamana Awatara. Kemudian kala mewujud sebagai Parashurama adalah sebagai Brahmana dengan karakter ksatria. Selanjutnya, Wisnu mewujud sebagai ksatria untuk menegakkan dharma sebagai Rama dan Krishna. Dan kemudian sebagai Buddha yang lahir sebagai ksatria tetapi kemudian menjadi brahmana.

Bahkan banyak orang lupa bahwa dalam kisah Mahabharata, saat Yudistira bertemu dengan Yaksa Nahusa yang menjaga danau dimana saudara-saudaranya mati karena langsung minum air tanpa memperdulikan pertanyaan sang yaksa, mereka berdiskusi tentang brahmana. Dalam percakapan tersebut Yudistira menyampaikan bahwa status brahmana adalah berdasarkan karakter. Yaksa Nahusa puas atas jawaban Yudistira dan menghidupkan kembali semua saudaranya. Kita dapat melihat bahwa Resi Wiswamitra tadinya adalah seorang kesatria, seorang raja. Kemudian, Resi Parasara adalah putra seorang chandala. Bhagawan Abyasa adalah putri seorang nelayan. Resi Walmiki berasal dari keluarga pemburu. Dan, juga Brahmarishi Narada di kehidupan kalpa sebelumnya adalah putra seorang pelayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar