Raja Gadhi
adalah generasi ke 14 dari keturunan Raja Pururawa. Sang raja sudah lama belum
mempunyai putra, walau sudah mempunyai putri seorang gadis bernama Satyawati.
Adalah seorang resi bernama Ruchika yang merupakan resi besar anak keturunan
Resi Brighu putra Brahma, melamar sang putri. Sang raja menyetujui asalkan sang
resi dapat memberikan 1.000 ekor kuda putih yang telinganya berwarna hitam
sebagai mas kawin. Resi Ruchika bertapa dan meminta kepada Waruna, raja samudra
untuk membantunya. Dengan bantuan Waruna, sang resi berhasil membawa
persyaratan tersebut dan dia menjadi suami dari Satyawati.
Pada masa itu,
para resi dipandang sebagai manusia terhormat yang tidak begitu terikat dengan
keduniawian dan tugasnya mengajar manusia ke arah kebaikan. Sedangkan para ksatria
dan para raja yang berkuasa pada masa itu sering menyalahgunakan kekuasaannya.
Raja Gadhi sendiri adalah seorang raja yang bijaksana yang dihormati para resi
dan seluruh rakyatnya.
Kedua ibu dan
anak, Permaisuri Raja Gadhi dan Satyawati, minta tolong Resi Ruchika, suami
Satyawati agar dapat membantu mereka memperoleh putra. Resi Ruchika kemudian
mempersiapkan dua mangkuk berisi air untuk diminum istrinya dan ibu mertuanya.
Kemudian sang resi pergi ke sungai melaksanakan ritual doa saat matahari mulai
tenggelam.
Dikisahkan
sang permaisuri curiga bahwa Resi Ruchika mesti akan memberikan putra yang
terbaik bagi istrinya, maka kemudian sang permaisuri minta kepada putrinya
untuk bertukar mangkuk dan selanjutnya mereka meminumnya. Ketika Resi Ruchika
pulang dari sungai, Satyawati berkata bahwa ibunya telah memintanya bertukar
mangkuk. Resi Ruchika menyampaikan bahwa Kehendak Tuhan-lah yang terjadi dan
bukan kehendak manusia. Resi Ruchika menyampaikan bahwa air dalam mangkuk yang
diperuntukkan bagi ibunya bertujuan agar sang permaisuri memperoleh keturunan
seorang ksatria yang berkarakter tegas yang cocok sebagai seorang putra
mahkota. Sedangkan air dalam mangkuk yang diperuntukkan bagi Satyawati
bertujuan agar dia memperoleh keturunan yang berkarakter brahmana yang teguh
yang cocok bagi keturunan mereka.
Satyawati
menyesal, rupanya dia tidak menginginkan putranya menjadi ksatria yang sakti
yang sering menyalahgunakan kekuasaan dan bertindak sewenang-wenang karena
kekuasaannya. Selanjutnya, Satyawati memohon kepada Resi Ruchika agar keadaan
tersebut dapat diperbaiki. Resi Ruchika mengatakan bahwa dia bisa mengusahakan
agar kejadian tersebut digeser tetapi hanya dalam satu generasi, sehingga cucu
mereka akan menjadi ksatria walaupun keturunan Brahmana. Pikiran manusia memang
terbatas pada bayangan yang dapat digambarkannya. Satyawati akhirnya mempunyai
seorang putra yang mempunyai karakter seorang brahmana sejati dan nantinya
salah seorang cucunya mempunyai sifat seorang ksatria sejati.
Tidak berapa
lama, Permaisuri Raja Gadhi melahirkan seorang putra bernama Kausika. Kausika
adalah seorang pangeran, seorang putra mahkota dengan sifat kebrahmanaan yang
kuat. Dalam kisah selanjutnya Kausika akan menjadi seorang Rajarishi, Dewarishi
dan bahkan Brahmarishi bergelar Resi Wiswamitra yang menjadi salah seorang Guru
Sri Rama disamping Resi Wasistha putra Brahma. Disebutkan ada 3 tingkatan Resi:
Brahmarishi, kemudian Dewarishi peringkat yang lebih rendah, dan Rajarishi atau
Raja yang menjadi Resi melalui pengetahuan dan tapa.
Satyawati
kemudian menurunkan putra seorang brahmana bijaksana bernama Resi Jamadagni
yang termasuk menjadi saptarishi dalam manwatara terkait. Saptarishi pada manwantara
pertama adalah: Marichi, Atri, Angirasa, Pulaha, Kratu, Pulastya, dan Wasistha.
Dalam manwantara saat ini ada yang menyebutkan sebagai saptarishi adalah:
Kasyapa, Atri, Wasistha, Wiswamitra, Gautama, Jamadagni, dan Bharadwaja. Resi
Jamadagni kemudian menurunkan Parasurama, seorang brahmana yang berkualitas
sebagai ksatria sejati yang memberantas keangkaramurkaan para ksatria.
Bila
Shraddadewa dari Dinasti Surya menginginkan seorang putra dan istrinya
menginginkan seorang putri yang akhirnya dalam Srimad Bhagawatam dikisahkan
bahwa setiap bulan sang anak berganti kelamin, satu bulan sebagai Pangeran
Sudyumna dan satu bulan kemudian menjadi Putri Ila. Lima belas generasi
berikutnya maka permasalahannya adalah apakah seorang putra akan memiliki
karakter kesatria atau brahmana.
Dalam kisah
Srimad Bhagawatam, kita melihat kebenaran pandangan tersebut di atas. Para Awatara
penyelamat dharma tidak semuanya lahir sebagai brahmana. Wisnu mewujud sebagai
ikan – Matsya Awatara, sebagai kura-kura – Kurma Awatara, dan mewujud sebagai
celeng raksasa – Waraha Awatara. Kemudian mewujud sebagai setengah binatang dan
setengah manusia – Narasimha Awatara. Wisnu mewujud sebagai Brahmana hanya pada
waktu menjadi Wamana Awatara. Kemudian kala mewujud sebagai Parashurama adalah
sebagai Brahmana dengan karakter ksatria. Selanjutnya, Wisnu mewujud sebagai ksatria
untuk menegakkan dharma sebagai Rama dan Krishna. Dan kemudian sebagai Buddha
yang lahir sebagai ksatria tetapi kemudian menjadi brahmana.
Bahkan banyak
orang lupa bahwa dalam kisah Mahabharata, saat Yudistira bertemu dengan Yaksa
Nahusa yang menjaga danau dimana saudara-saudaranya mati karena langsung minum
air tanpa memperdulikan pertanyaan sang yaksa, mereka berdiskusi tentang
brahmana. Dalam percakapan tersebut Yudistira menyampaikan bahwa status
brahmana adalah berdasarkan karakter. Yaksa Nahusa puas atas jawaban Yudistira
dan menghidupkan kembali semua saudaranya. Kita dapat melihat bahwa Resi
Wiswamitra tadinya adalah seorang kesatria, seorang raja. Kemudian, Resi
Parasara adalah putra seorang chandala. Bhagawan Abyasa adalah putri seorang
nelayan. Resi Walmiki berasal dari keluarga pemburu. Dan, juga Brahmarishi
Narada di kehidupan kalpa sebelumnya adalah putra seorang pelayan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar