Kamis, 08 November 2012

Kisah Resi Sukra


Sri Rama bertanya kepada Resi Wasishtha, “Guru, wujud dari Bimbingan dan Kasih Sang Pencipta yang dianugerahkan Keberadaan kepadaku,  mohon diterangkan bagaimana seseorang dapat menikmati kenikmatan surgawi, padahal semuanya tersebut pada hakikatnya hanya berupa ilusi pikiran.” Resi Wasishtha tersenyum kepada Sri Rama yang masih remaja, dan mulailah dia bercerita tentang Resi Sukra.
Pada suatu hari, Resi Bhrigu bertapa di pegunungan Mandrachal yang sejuk dan indah. Sukra, putra Resi Bhrigu yang beranjak dewasa, menjaga dan melayani keperluan ayahnya dan duduk bersila di dekatnya. Sewaktu Resi Bhrigu nampak terserap dalam samadhinya, Sukra menyingkir ke tempat yang tenang dan mulai mengatur napasnya.
Dalam rasa penuh damai, Sukra, sang remaja memperhatikan langit yang begitu indah. Awan putih nampak menari perlahan dengan penuh kelembutan. Tiba-tiba, kedua matanya terbeliak. Dia menyaksikan bidadari yang sangat cantik terbang dengan penuh gemulai di angkasa. 
Dengan memejamkan matanya, Sukra membayangkan betapa berbahagianya dapat hidup bersama sang bidadari tersebut. Seakan-akan seperti dipandu instruktur, Sukra merasa dirinya setengah melayang dan mencapai surga yang dipenuhi pohon kalpa. Sukra merasa berjalan-jalan di surga dan untuk melupakan sang bidadari, dia berpikir tentang Indra, yang kemudian mempersilahkannya masuk ke taman surga dan tinggal beberapa hari di sana.
Sukra terserap imaginasinya dan melupakan tubuhnya. Sesuai hukum ketertarikan, ibarat magnet, apa yang menjadi obsesi pikiran siang dan malam akan mendekati dirinya. Pada suatu hari saat berjalan-jalan di taman Sukra melihat sang bidadari impiannya sedang bercanda dengan teman-temannya. Wishwachi, demikian nama sang bidadari tersebut. Sukra dan Wishwachi saling pandang dan saling jatuh cinta pada pandangan pertama, semuanya berjalan sesuai dengan ilusi di benak Sukra. Keduanya langsung dimabuk asmara dan menghabiskan waktu di bawah pohon kalpa dan menikmati taman surga selama 32 Yuga.

Mengalami suka duka hidup di dunia

Tanpa terasa Sukra dan Wishwachi telah menjadi budak dari kesenangan indera mereka. Karena hidup penuh kenikmatan dalam alam pikiran, maka hukum alam pun dirasakan oleh mereka. Sewaktu karma baik mereka usai, maka mereka pun harus lahir kembali ke bumi. Rohnya jatuh ke bumi bersama air hujan dan jatuh ke tanaman padi. Daksharya, seorang brahmana memakan nasi hasil tanaman padi tersebut dan kemudian memadu kasih dengan istrinya. Isteri sang brahmana hamil dan lahirlah Sukra.
Sang bidadari Wishwachi juga mengalami hal yang hampir sama dengan Sukra dan lahir sebagai putri raja Mahwa. Saat sang putri raja berusia 16 tahun, dia berdoa dan mohon kepada Shiwa, kekuatan sang pendaur ulang alam agar dapat menikah lagi dengan suaminya pada kehidupan sebelumnya. Sebagai seorang putri raja, untuk mendapatkan suami, ayahandanya mengadakan sayembara. Hal tersebut dilakukan agar putrinya dapat berkenan memilih pemuda yang disukainya.
Alkisah, Brahmana Daksharya hadir bersama putranya. Melihat Sukra, putra sang brahmana sang putri langsung mengalungkan bunga kepadanya sebagai tanda dia telah memilih jodohnya. Wishwachi mungkin tidak sadar bahwa sang pemuda itulah suaminya di kehidupan masa lalu seperti yang dimohonkan kepada Shiwa, Sang Mahadewa. Raja Mahwa selanjutnya menyerahkan kekuasaan kepada sang menantu. Demikian inkarnasi Sukra memerintah kerajaan sampai usia tua.
Sebagai raja, Keberadaan membimbingnya untuk bertemu dengan para resi suci yang akhirnya membuat Sukra sadar bahwa keterikatan terhadap wanita menyebabkan perjalanannya semakin jauh dari jalan kembali kepada Keberadaan.
Tendensi spiritual merasuki jiwanya, akan tetapi raga Sukra sudah terlanjur tua. Akhirnya ia menemui kematian dalam keadaan hutang-hutang tindakan yang belum terselesaikan.

Melepaskan diri dari keterikatan dunia

Sesuai dengan benih sebab-akibat yang ditanam pada masa lalunya, maka Sukra lahir lagi sebagai seorang pemburu burung. Namun kembali pada saat menjelang akhir hayatnya ia menyibukkan diri dalam jalan spiritual. Selanjutnya ia lahir lagi sebagai seorang raja dinasti Surya. Sebagai seorang raja sesuai dengan karmanya, ia mempelajari kitab suci dan yoga, sehingga pada kelahiran selanjutnya ia hidup sebagai seorang brahmana.
Upayanya melakukan yoga dan memahami Weda semakin meningkat, sehingga pada kelahiran selanjutnya hidup sebagai orang perpengetahuan keilahian dan hidup selama satu kalpa. Sesudah itu ia lahir sebagai putra seorang resi yang rajin bertapa di gunung Semeru. Pada kelahiran berikutnya ia lahir sebagai Raja Madyadesh dan sebelum meninggal ia bertapa. Kemudian ia lahir sebagai putra seorang  pertapa. Pada kehidupan ini spiritualitasnya meningkat dan ia mengalami kehidupan tanpa rasa suka dan duka sambil bertapa di tepi sungai Gangga. Sukra telah mencapai tahap melampaui pikiran.
Demikianlah Sukra telah mengembara sesuai imajinasinya. Tubuhnya di bukit Mandrachal telah berubah kaku, namun tidak terganggu oleh serangga dan hewan lainnya. Di  dekat  tubuhnya, Resi Bhrigu masih larut dalam samadhi, sampai pada suatu saat sang resi terjaga dan melihat tubuh sang putra yang telah menjadi kaku.

Menganggap Ilusi dunia sebagai hal nyata

Sukra Putra Bhrigu, telah berkelana dalam banyak kehidupan sesuai imaginasi dari pikirannya. Di dalam pikiran Sukra sudah ada program seks dan sanggama. Ada pula rekaman ciri-ciri lawan jenis yang dianggap ideal. Maka begitu ada stimuli dari luar, ada bidadari Wiswachi, maka pikiran Sukra langsung terpicu. Kala itu Sukra telah bertindak mengikuti pikirannya, Sukra melupakan jatidirinya.
Setelah 360.000 tahun berlalu, Resi Bhrigu terjaga dari samadhinya. Sang resi melihat tubuh Sukra, putranya telah kaku dan memperkirakan sang putra telah meninggal dunia.  “Mengapa putraku harus mati, padahal sesuai rencana kehidupannya, dia seharusnya hidup sampai akhir penciptaan ini? Aku harus mengutuk tindakan Dewa Yama yang sembrono ini.”
Dewa Kematian, Dewa Yama datang ke hadapan Resi Bhrigu dan berkata, “Wahai Resi Agung, mereka yang telah mengenal Paramatman tidak akan terganggu oleh kemarahan orang lain. Aku terikat oleh hukum Sang Pencipta, tidak akan terpengaruh oleh kutukanmu. Aku telah mengalami berbagai kehidupan, dan tugasku adalah membawa kematian. Akan tetapi mengapa kau begitu terikat dengan putramu dalam kehidupan ini?”
Dewa Yama melanjutkan, “Wahai Resi Bhrigu janganlah gusar, aku tidak membunuh putramu, ia sedang menjalani kodratnya, kutukanmu itu merupakan kesia-siaan. Setiap manusia memiliki dua tubuh, tubuh halus dan tubuh kasar. Tubuh kasar itu dapat musnah dan hanya berfungsi dengan bantuan pikiran dan tidak mempunyai intelegensia. Kala pikiran menuju kebenaran, tubuh pun menuju kebenaran. Demikian juga sebaliknya, kala pikiran menuju ketidakbenaran, tubuh pun menuju ketidakbenaran.”
“Kala Resi larut dalam samadhi, Sukra telah terpikat dengan bidadari Wishwachi. Dan dengan tubuh halusnya dia mengalami berbagai kelahiran dan kematian.  Pada saat ini Sukra sedang bertapa di tepi sungai Gangga, dia sedang berupaya mengendalikan inderanya. Resi Bhrigu, cobalah lihat dengan mata batinmu!”
Resi Bhrigu kemudian melihat semua peristiwa yang telah dialami oleh Sukra dan berkata, “Dewa Yama, aku mohon maaf atas segala ketergesaanku, tadi Dewa Yama menyatakan bahwa setiap insan mempunyai dua tubuh, yang halus dan yang kasar. Namun bagiku yang hadir hanyalah yang halus karena sejatinya semua tindakan ini dilakukan oleh pikiran, tubuh hanya mengikuti.”
Dewa Yama menjawab, “ Benar Resi, seperti pembuat gerabah menciptakan tempayan, demikian pula pikiran menciptakan raga. Begitu pemahaman pikiran begitu juga penciptaannya. Bagi seorang bijak, semua tindakan ini adalah pekerjaan sang pikiran saja. Sebenarnya yang eksis hanyalah Brahman semata. Demikian pula dengan putramu, jadi bagaimana mungkin aku dapat bersalah dalam hal ini?”
Resi Bhrigu dan Dewa Yama kemudian pergi ke tempat Sukra bertapa. Mereka paham bahwa Sukra telah mencapai tahap ‘gyani’, dan berada dalam keadaan sangat damai. Dewa Yama segera membangunkan Sukra. Sukra sadar dan langsung bertanya  dengan penuh hormat siapakah mereka berdua.  Resi Bhrigu berkata, Kau adalah seorang ‘gyani’, cobalah untuk mengenali siapa kami dan siapa kah dirimu?
Sukra memejamkan mata dan berkata penuh ketakjuban,” Yang Mulia Ayahanda dan Dewa Yama, alam ini sungguh sangat menakjubkan. Aku sadar bahwa aku telah berkelana karena pengaruh ilusiku. Kini aku telah mencapai kesadaran dan ilusi telah sirna.  Aku tidak memiliki hasrat apa pun juga. Namun sesuai kodrat maka aku harus kembali ke pegunungan Mandrachal, hukum alam harus dijalani.” 
Sebelum mengakhiri kisahnya, Resi Wasishtha berkata kepada Sri Rama, “Ramji, secara fisik seorang ‘gyani’ nampak menjalani kehidupan seperti manusia biasa. Namun, karakter mereka berbeda dengan manusia biasa. Seorang ‘gyani’ hidup tanpa keterikatan dengan unsur-unsur duniawi. Selama masih memiliki raga, maka raga akan merasakan kesenangan dan kesusahan, suka dan duka, akan tetapi seorang ‘gyani’ menghadapi semua ini dengan penuh kesabaran. Dia sadar bahwa semua yang dialaminya adalah hasil dari karma-karma yang telah dilakukannya sebelumnya. Seorang ‘gyani’ melakukan aktivitasnya secara alami, tetapi tidak terikat kepada hasilnya, maupun kepada semua unsur-unsur di sekitarnya. Berbeda dengan seorang ‘agyani’ yang tidak berdaya dengan aktivitas pikirannya.”
Resi Wasishtha melanjutkan kisahnya : “Ramji, setelah menyaksikan tubuhnya yang telah rapuh tersebut Sukra lebih suka untuk meninggalkan tubuhnya tersebut, namun  dicegah oleh Dewa Yama. Dewa Yama menganjurkan kepada Sukra agar menerima tubuh tersebut, dan melalui tubuhnya itu Sukra harus menjadi guru para asura, di samping itu masa kehidupannya masih teramat lama. Dewa Yama kemudian kembali ke istananya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar