Sri Rama bertanya kepada Resi Wasishtha, “Guru, wujud dari Bimbingan dan
Kasih Sang Pencipta yang dianugerahkan Keberadaan kepadaku, mohon
diterangkan bagaimana seseorang dapat menikmati kenikmatan surgawi, padahal
semuanya tersebut pada hakikatnya hanya berupa ilusi pikiran.” Resi Wasishtha
tersenyum kepada Sri Rama yang masih remaja, dan mulailah dia bercerita tentang
Resi Sukra.
Pada suatu hari, Resi Bhrigu bertapa di pegunungan Mandrachal yang sejuk
dan indah. Sukra, putra Resi Bhrigu yang beranjak dewasa, menjaga dan melayani
keperluan ayahnya dan duduk bersila di dekatnya. Sewaktu Resi Bhrigu nampak
terserap dalam samadhinya, Sukra menyingkir ke tempat yang tenang dan mulai
mengatur napasnya.
Dalam rasa penuh damai, Sukra, sang remaja memperhatikan langit yang begitu
indah. Awan putih nampak menari perlahan dengan penuh kelembutan. Tiba-tiba,
kedua matanya terbeliak. Dia menyaksikan bidadari yang sangat cantik terbang
dengan penuh gemulai di angkasa.
Dengan memejamkan matanya, Sukra membayangkan betapa berbahagianya dapat
hidup bersama sang bidadari tersebut. Seakan-akan seperti dipandu instruktur,
Sukra merasa dirinya setengah melayang dan mencapai surga yang dipenuhi pohon
kalpa. Sukra merasa berjalan-jalan di surga dan untuk melupakan sang bidadari,
dia berpikir tentang Indra, yang kemudian mempersilahkannya masuk ke taman
surga dan tinggal beberapa hari di sana.
Sukra terserap imaginasinya dan melupakan tubuhnya. Sesuai hukum
ketertarikan, ibarat magnet, apa yang menjadi obsesi pikiran siang dan malam
akan mendekati dirinya. Pada suatu hari saat berjalan-jalan di taman Sukra
melihat sang bidadari impiannya sedang bercanda dengan teman-temannya. Wishwachi,
demikian nama sang bidadari tersebut. Sukra dan Wishwachi saling pandang dan
saling jatuh cinta pada pandangan pertama, semuanya berjalan sesuai dengan
ilusi di benak Sukra. Keduanya langsung dimabuk asmara dan menghabiskan waktu
di bawah pohon kalpa dan menikmati taman surga selama 32 Yuga.
Mengalami suka duka
hidup di dunia
Tanpa terasa Sukra dan Wishwachi telah menjadi budak dari kesenangan indera
mereka. Karena hidup penuh kenikmatan dalam alam pikiran, maka hukum alam pun
dirasakan oleh mereka. Sewaktu karma baik mereka usai, maka mereka pun harus
lahir kembali ke bumi. Rohnya jatuh ke bumi bersama air hujan dan jatuh ke tanaman
padi. Daksharya, seorang brahmana memakan nasi hasil tanaman padi tersebut dan
kemudian memadu kasih dengan istrinya. Isteri sang brahmana hamil dan lahirlah
Sukra.
Sang bidadari Wishwachi juga mengalami hal yang hampir sama dengan Sukra
dan lahir sebagai putri raja Mahwa. Saat sang putri raja berusia 16 tahun, dia
berdoa dan mohon kepada Shiwa, kekuatan sang pendaur ulang alam agar dapat
menikah lagi dengan suaminya pada kehidupan sebelumnya. Sebagai seorang putri
raja, untuk mendapatkan suami, ayahandanya mengadakan sayembara. Hal tersebut
dilakukan agar putrinya dapat berkenan memilih pemuda yang disukainya.
Alkisah, Brahmana Daksharya hadir bersama putranya. Melihat Sukra, putra
sang brahmana sang putri langsung mengalungkan bunga kepadanya sebagai tanda
dia telah memilih jodohnya. Wishwachi mungkin tidak sadar bahwa sang pemuda
itulah suaminya di kehidupan masa lalu seperti yang dimohonkan kepada Shiwa,
Sang Mahadewa. Raja Mahwa selanjutnya menyerahkan kekuasaan kepada sang
menantu. Demikian inkarnasi Sukra memerintah kerajaan sampai usia tua.
Sebagai raja, Keberadaan membimbingnya untuk bertemu dengan para resi suci
yang akhirnya membuat Sukra sadar bahwa keterikatan terhadap wanita menyebabkan
perjalanannya semakin jauh dari jalan kembali kepada Keberadaan.
Tendensi spiritual merasuki jiwanya, akan tetapi raga Sukra sudah terlanjur
tua. Akhirnya ia menemui kematian dalam keadaan hutang-hutang tindakan yang
belum terselesaikan.
Melepaskan diri dari
keterikatan dunia
Sesuai dengan benih sebab-akibat yang ditanam pada masa lalunya, maka Sukra
lahir lagi sebagai seorang pemburu burung. Namun kembali pada saat menjelang
akhir hayatnya ia menyibukkan diri dalam jalan spiritual. Selanjutnya ia lahir
lagi sebagai seorang raja dinasti Surya. Sebagai seorang raja sesuai dengan
karmanya, ia mempelajari kitab suci dan yoga, sehingga pada kelahiran
selanjutnya ia hidup sebagai seorang brahmana.
Upayanya melakukan yoga dan memahami Weda semakin meningkat, sehingga pada
kelahiran selanjutnya hidup sebagai orang perpengetahuan keilahian dan hidup
selama satu kalpa. Sesudah itu ia lahir sebagai putra seorang resi yang rajin bertapa
di gunung Semeru. Pada kelahiran berikutnya ia lahir sebagai Raja Madyadesh dan
sebelum meninggal ia bertapa. Kemudian ia lahir sebagai putra seorang
pertapa. Pada kehidupan ini spiritualitasnya meningkat dan ia mengalami
kehidupan tanpa rasa suka dan duka sambil bertapa di tepi sungai Gangga. Sukra
telah mencapai tahap melampaui pikiran.
Demikianlah Sukra telah mengembara sesuai imajinasinya. Tubuhnya di bukit
Mandrachal telah berubah kaku, namun tidak terganggu oleh serangga dan hewan
lainnya. Di dekat tubuhnya, Resi Bhrigu masih larut dalam samadhi,
sampai pada suatu saat sang resi terjaga dan melihat tubuh sang putra yang
telah menjadi kaku.
Menganggap Ilusi dunia
sebagai hal nyata
Sukra Putra
Bhrigu, telah berkelana dalam banyak kehidupan sesuai imaginasi dari pikirannya.
Di dalam pikiran Sukra sudah ada
program seks dan sanggama. Ada pula rekaman ciri-ciri lawan jenis yang dianggap
ideal. Maka begitu ada stimuli dari luar, ada bidadari Wiswachi, maka pikiran Sukra langsung terpicu. Kala itu
Sukra telah bertindak mengikuti pikirannya,
Sukra melupakan jatidirinya.
Setelah
360.000 tahun berlalu, Resi Bhrigu terjaga dari samadhinya. Sang resi melihat
tubuh Sukra, putranya telah kaku dan memperkirakan sang putra telah meninggal
dunia. “Mengapa putraku harus mati, padahal sesuai rencana kehidupannya,
dia seharusnya hidup sampai akhir penciptaan ini? Aku harus mengutuk tindakan
Dewa Yama yang sembrono ini.”
Dewa Kematian, Dewa Yama datang ke
hadapan Resi Bhrigu dan berkata, “Wahai Resi Agung, mereka yang telah mengenal
Paramatman tidak akan terganggu oleh kemarahan orang lain. Aku terikat oleh
hukum Sang Pencipta, tidak akan terpengaruh oleh kutukanmu. Aku telah mengalami
berbagai kehidupan, dan tugasku adalah membawa kematian. Akan tetapi mengapa
kau begitu terikat dengan putramu dalam kehidupan ini?”
Dewa Yama
melanjutkan, “Wahai Resi Bhrigu janganlah gusar, aku tidak membunuh putramu, ia
sedang menjalani kodratnya, kutukanmu itu merupakan kesia-siaan. Setiap manusia
memiliki dua tubuh, tubuh halus dan tubuh kasar. Tubuh kasar itu dapat musnah
dan hanya berfungsi dengan bantuan pikiran dan tidak mempunyai intelegensia.
Kala pikiran menuju kebenaran, tubuh pun menuju kebenaran. Demikian juga
sebaliknya, kala pikiran menuju ketidakbenaran, tubuh pun menuju
ketidakbenaran.”
“Kala Resi
larut dalam samadhi, Sukra telah terpikat dengan bidadari Wishwachi. Dan dengan
tubuh halusnya dia mengalami berbagai kelahiran dan kematian. Pada saat
ini Sukra sedang bertapa di tepi sungai Gangga, dia sedang berupaya
mengendalikan inderanya. Resi Bhrigu, cobalah lihat dengan mata batinmu!”
Resi Bhrigu
kemudian melihat semua peristiwa yang telah dialami oleh Sukra dan berkata,
“Dewa Yama, aku mohon maaf atas segala ketergesaanku, tadi Dewa Yama menyatakan
bahwa setiap insan mempunyai dua tubuh, yang halus dan yang kasar. Namun bagiku
yang hadir hanyalah yang halus karena sejatinya semua tindakan ini dilakukan
oleh pikiran, tubuh hanya mengikuti.”
Dewa Yama
menjawab, “ Benar Resi, seperti pembuat gerabah menciptakan tempayan, demikian
pula pikiran menciptakan raga. Begitu pemahaman pikiran begitu juga
penciptaannya. Bagi seorang bijak, semua tindakan ini adalah pekerjaan sang
pikiran saja. Sebenarnya yang eksis hanyalah Brahman semata. Demikian pula
dengan putramu, jadi bagaimana mungkin aku dapat bersalah dalam hal ini?”
Resi Bhrigu
dan Dewa Yama kemudian pergi ke tempat Sukra bertapa. Mereka paham bahwa Sukra
telah mencapai tahap ‘gyani’,
dan berada dalam keadaan sangat damai. Dewa Yama segera membangunkan Sukra.
Sukra sadar dan langsung bertanya dengan penuh hormat siapakah mereka
berdua. Resi Bhrigu berkata, Kau adalah seorang ‘gyani’, cobalah untuk
mengenali siapa kami dan siapa kah dirimu?
Sukra
memejamkan mata dan berkata penuh ketakjuban,” Yang Mulia Ayahanda dan Dewa
Yama, alam ini sungguh sangat menakjubkan. Aku sadar bahwa aku telah berkelana
karena pengaruh ilusiku. Kini aku telah mencapai kesadaran dan ilusi telah
sirna. Aku tidak memiliki hasrat apa pun juga. Namun sesuai kodrat maka
aku harus kembali ke pegunungan Mandrachal, hukum alam harus dijalani.”
Sebelum
mengakhiri kisahnya, Resi Wasishtha berkata kepada Sri Rama, “Ramji, secara
fisik seorang ‘gyani’ nampak menjalani kehidupan seperti
manusia biasa. Namun, karakter mereka berbeda dengan manusia biasa. Seorang ‘gyani’ hidup tanpa keterikatan dengan
unsur-unsur duniawi. Selama masih memiliki raga, maka raga akan merasakan
kesenangan dan kesusahan, suka dan duka, akan tetapi seorang ‘gyani’ menghadapi semua ini dengan penuh
kesabaran. Dia sadar bahwa semua yang dialaminya adalah hasil dari karma-karma
yang telah dilakukannya sebelumnya. Seorang ‘gyani’ melakukan aktivitasnya secara alami,
tetapi tidak terikat kepada hasilnya, maupun kepada semua unsur-unsur di
sekitarnya. Berbeda dengan seorang ‘agyani’ yang tidak berdaya dengan aktivitas
pikirannya.”
Resi Wasishtha
melanjutkan kisahnya : “Ramji, setelah menyaksikan tubuhnya yang telah rapuh
tersebut Sukra lebih suka untuk meninggalkan tubuhnya tersebut, namun
dicegah oleh Dewa Yama. Dewa Yama menganjurkan kepada Sukra agar menerima tubuh
tersebut, dan melalui tubuhnya itu Sukra harus menjadi guru para asura, di
samping itu masa kehidupannya masih teramat lama. Dewa Yama kemudian kembali ke
istananya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar