Sabtu, 17 November 2012

Siwa Purana 4

Memberi Tuhan Makan


Om Namah Shiwa Ya

Adakalanya orang non-Hindu beranggapan bahwa orang Hindu, Khususnya masyarakat Hindu di Bali itu orang-orang yang sangat boros. Seperti membuat ritual-ritual/upakara-upakara yang besar hingga ratusan  juta bahkan miliaran sehingga hal ini dianggap mubasir.

Contoh misalnya yang kecil saja; sehabis masak biasanya orang Hindu membuat persembahan, yang biasa disebut banten saiban yang kadang disebut ngejot, dengan mempersembakan beberapa jumput nasi. Menurut keyakinan orang Hindu persembahan itu dipersembahkan untuk Tuhan, Dewa-dewi dan Jiwa-jiwa agung lainnya atau dengan bahasa yang lebih sederhana sebut saja memberi Tuhan makan. Lalu pertanyaannya apakah Tuhan Makan? Yang ada malahan hanya semut yang ramai makan nasi tersebut dan juga beberapa binatang kecil lainnya, bahkan juga kucing dan anjing.

Menanggapi pernyataan yang demikian sebenarnya hanya dibutuhkan sedikit uraian. Dengan cara pandang yang sederhana. Dalam beragama, masyarakat hindu memang boros. Boros itu tidak dibenarkan oleh agama. Masyarakat Hindu memang banyak yang membuat upacara/ritual yang mewah-mewah tetapi seringkali tidak diketahui filosofi yang terkandung, tujuannya apa? Dasar hukumnya apa?.
Sehingga ritual/upacara seringkali menjadi beban masyarakat, padahal menurut ketentuan kitab suci kewajiban utama manusia pada jaman kali atau Kali Yuga adalah bersedekah (danam), sedangkan ritual besar merupakan kewajiban yang selanjutnya. Seperti ketentuan kitab Parasara Dharmasastra dan juga Manawa Dharmasastra. Sedangkan menurut Kalisantarana Upanishad dan juga Siwa Purana dikatakan kewajiban Manusia di jaman Kali adalah dengan Bhakti salah satunya menyanyikan nama suci Tuhan (nama smaranam). Perbedaan ketentuan itu bukan sebuah pertentangan, berdasarkan Dharmasastra berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia, sedangkan berdasarkan Upanishad dan Siwa Purana berkaitan dengan Hubungan manusia dengan Tuhan.

Yadnya maupun persembahan kepada Tuhan merupakan kewajiban umat hindu karena itu perintah agama, hanya saja banyak yang tidak menyesuaikan dengan kemampuannya dalam melaksanakan yajna atau korban suci tulus ikhlas. Bahkan adakalanya Yadnya dibuat sebagai bentuk menyatakan diri sebagai orang mampu, sebagai ketenaran dan kemegahan yang tanpa makna, sehingga hal itu akan menghilangkan pahala yadnya/persembahan. Besar kecilnya pahala Yadnya bukan ditentukan oleh besar kecilnya Yadnya tetapi ditentukan sejauh mana keikhlasan seseorang dalam melaksanakaan Yadnya (korban suci).

Apabila suatu persembahan, suatu doa dilakukan untuk mencari kesenangan duniawi, dikatakan tidak dapat mencapai moksa hanya mencapai surga dan akan lahir kembali (reinkarnasi) setelah habis pahala yang dimiliki “Tetapi orang yang selalu menyembah-Ku dengan bhakti tanpa tujuan yang lain dan bersemadi pada bentuk rohani-Ku – Aku bawakan apa yang dibutuhkannya, dan Aku memelihara apa yang dimilikinya” {Bhagavad-gita IX.22}. Hanya dengan Bhaktilah karunia pembebasan (moksa) diperoleh.

Dasar hukum pelaksanaan Yadnya ditemukan di berbagai literatur Hindu. Seperti misalkan di dalam Yajur Veda, kitab-kitab Brahmana, Bhagavad Gita, Siwa Purana, Bhagavata Purana dll.

“Kalau seseorang mempersembahkan daun, bunga, buah, atau air dengan cinta bhakti, Aku akan menerimanya” {Bhagawad Gita IX. 26}.

“Apapun yang engkau lakukan, apapun yang engkau makan, apapun yang engkau persembahkan atau berikan sebagai sumbangan serta pertapaan dan apapun yang engkau lakukan-lakukanlah kegiatan itu sebagai persembahan kepada-Ku, wahai putra Kunti” {Bhagavad Gita IX.27}.

“Dengan cara seperti ini engkau akan dibebaskan dari ikatan terhadap pekerjaan serta hasil yang menguntungkan dan tidak menguntungkan dari pekerjaan itu. Dengan pikiran dipusatkan kepada-Ku dalam prinsip pelepasan ikatan ini, engkau akan mencapai pembebasan dan datang kepada-Ku” {Bhagavad-gita IX.28}.

Berdasarkan waktu pelaksanaannya, Yadnya dikelompokan ke dalam Yadnya yang dilakukan sehari-hari ( nitya karma ) dan Yadnya yang dilakukan sewaktu-waktu ( naimitika karma ). Salah satu dari beberapa nitya karma adalah Yajna Sesa yaitu persembahan berupa makanan yang berupa sejumput nasi yang biasanya dipersembahkan seperti di tempat beras, di tempat sombah, di tempat menumbuk beras, di tungku dapur, di pintu keluar pekarangan (lebuh) dan tempat lainnya yang dianggap penting untuk persembahan tersebut.

Persembahan makanan sering dianggap keliru dan dianggap sebagai pemborosan oleh seorang non-Hindu. Sering dianggap bahwa persembahan tersebut hanya memberi makan untuk semut dan binatang lainnya yang memakan nasi.

Persembahan nasi yang dimakan semut, ini sebenarnya tindakan yang sangat mulia, meski tampak keliru. Di dalam kitab Sarasamuscaya disebutkan apabila seseorang ingin bahagia maka bahagiakanlah makhluk lain. Membahagiakan makhluk bumi lainnya disebut Bhuta Hita. Dengan memberi makan semut berarti kita telah membahagiakan mereka (semut) selain kita mempersembahkannya kepada makhluk penjaga Bhumi dan juga Jiwa-jiwa agung lainnya serta Para Dewa dan Tuhan.

Apabila pemberian makan untuk semut dikaitkan dengan kelangsungan makhluk hidup, hal ini merupakan suatu hal yang ilmiah. Menurut penelitian, bahwa dengan memberi semut makan di sekitar sawah maka beberapa hama padi tidak dapat berkembang. Karena beberapa hama takut dengan semut dan hama itu adakalanya dimakan semut. Disinilah perlunya menjaga ekosistem agar tercipta keharmonisan. Saling menjaga antara mahkluk hidup yang satu dengan mahkluk hidup lainnya.

Kembali pada persoalan persembahan Nasi. Alam semesta ini sebenarnya milik Tuhan, demikian juga dengan bumi dan hasil bumi adalah milik Tuhan, maka wajib hukumnya dipersembahkan kepada Tuhan. Dalam hukum nasional setiap jengkal tanah sebenarnya adalah milik Negara, sehingga setiap orang yang hidup di atas wilayah suatu Negara harus membayar pajak untuk kesejahteraan masyarakat.

Demikian juga berlaku dengan alam semesta, yang sebenarnya semua ini adalah milik Tuhan sehingga wajib hukumnya manusia mempersembahkan hasil bhumi kepada Tuhan, terutama berupa makanan. Mereka yang memakan makanan sebelum dipersembahkan dikatakan sebagai pencuri.

“Para dewa mengurus berbagai kebutuhan hidup. Bila para dewa dipuaskan dengan pelaksanaan yajna (korban suci), mereka akan menyediakan segala kebutuhan untukmu.Tetapi orang yang menikmati berkat-berkat itu tanpa mempersembahkannya kepada para dewa sebagai balasan pasti adalah pencuri” {Bhagavad-gita 3.12}.

“Para penyembah Tuhan dibebaskan dari segala jenis dosa karena mereka makan makanan yang dipersembahkan terlebih dahulu untuk korban suci. Orang lain, yang menyiapkan makanan untuk kenikmatan indria-indria pribadi, sebenarnya hanya makan dosa saja” {Bhagavad-gita 3.13}.

“Setelah melakukan persembahan kepada Dewa manifestasi Tuhan, kepada para Resi, leluhur yang telah suci (Dewa Pitara), kepada Dewa penjaga rumah dan juga kepada tamu. Setelah itu barulah pemilik rumah makan. Dengan demikian ia lepas dari dosa”(Manawa Dharmasastra III.117).

Dalam sloka lainnya, ditentukan ada lima tempat yang utama sebagai tempat mempersembahkan sejumput nasi, seperti di dapur, air, tempat alu, tempat beras, dan talenan. Dengan mempersembahkan nasi pada tempat – tempat itu seseorang dibebaskan dari dosa akibat dari kesalahan dalam mencari bahan makanan dan dalam proses memasak.

Di dalam Mahabharata ada juga sebuah cerita yang sangat erat kaitannya dengan hal persembahan kepada Tuhan dengan makanan atau memberi Tuhan makan. Diceritakan ketika kelompok Brahmana hendak bertamu ke tempat pandawa, sebelum mereka bertamu, mereka sudah diberitahukan sebelumnya. Namun ketika itu ternyata Pandawa tidak memiliki bahan makanan (tidak ada beras )untuk dimasak yang kemudian untuk dipersembahkan kepada para Brahmana sebagai Tamu. Menurut ajaran Hindu tamu dihormati bagaikan Dewa. Di dalam Slokantara dikatakan Tamu itu dapat mengantarkan seseorang ke alam surga kelak. Kewajiban mempersembahkan sesuatu untuk tamu disebut sebagai Atithi Puja.

Ketika Drupadi (istri pandawa) dalam kebingungan karena tidak memiliki bahan makanan, kemudiaan ia memohon kepada Tuhan agar diberi jalan keluar, Drupadi takut kalau nantinya dikutuk oleh Brahmana itu karena tidak menyediakan makanan kepada mereka. Dalam keadaan bingung memikirkan hal itu, Ketika itulah datang Shri Krsna dan mepertanyakan apa sebabnya Drupadi kebingungan. Diceritakanlah masalah yang dihadapi kepada Shri Kresna.

Shri Kresna kemudian menyuruh Drupadi untuk mengambil sedikit beras di tempat penyimpanan berasnya. Ternyata masih tinggal satu butir beras saja yang ada disana dan itu diberikan kepada Shri krsna. Kemudian Shri kresna tersenyum dan menelan sebutir beras.

Sungguh ajaib, para Brahmana yang sudah selesai mandi di sungai yang segera akan bertamu ke rumah Drupadi, tiba-tiba mereka semua merasa kenyang. Karena Shri kresna telah menjadikan orang-orang lapar menjadi kenyang oleh karena persembahan sebutir beras. Sehingga para Brahmana tidak jadi bertamu ke rumah Drupadi.

Jadi kesimpulan dari cerita tersebut, pertama; seseorang tidak boleh menghabiskan beras di penampungan beras, harus ada sisa disana. Kedua; persembahan kepada Tuhan wajib hukumnya meski hanya beberapa jumput nasi karena dengan demikian semua makhluk dapat berbahagia. Demikian juga halnya dengan bayar pajak, meski hanya 10% kita membayar pajak tetapi bisa mensejahterakan orang-orang baik yang miskin maupun yang kaya . Demikianlah betapa pentingnya mempersembahkan makanan kepada Tuhan karena dengan demikian kesejahteraan bersama dapat dicapai.

Om Tat Sat


By: Mertamupu (Hukum Hindu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar