Raja Dusyanta
adalah salah seorang raja bijaksana dari dinasti Puru. Dia dihormati seluruh
rakyatnya. Pada suatu kali dalam perjalanan inspeksi di wilayah kerajaannya,
sang raja mampir ke pertapaan Resi Kanwa. Raja Dusyanta bertemu dengan seorang
putri cantik yang memperkenalkan diri sebagai putri angkat Resi Kanwa.
Shakuntala adalah putri dari Rajarishi Kausika dengan Bidadari Menaka.
Rajarishi Kausika melanjutkan pertapaannya untuk mencapai derajat Brahmarishi.
Dan, nantinya Sang Rajarishi akan mencapai Brahmarishi bergelar Resi
Wiswamitra. Pada suatu hari Menaka harus kembali ke kahyangan dan meninggalkan
bayi perempuan kecil di dekat pasraman Resi Kanwa, sahabat dari Rajarishi
Kausika. Resi Kanwa menemukan bayi perempuan kecil ditemani burung-burung
shakunta, maka anak tersebut diberi nama Shakuntala dan diangkat sebagai putri
angkatnya.
Raja Dusyanta
berbahagia kala mendengar bahwa Shakuntala adalah putri Rajarishi Kausika.
Dusyanta melamar sang putri menjadi istrinya dan berjanji putra mereka akan
menjadi putra mahkota. Shakuntala meminta agar mereka menunggu kepulangan Resi
Kanwa, tetapi sang raja terus mendesaknya. Karena kedua hati telah bertaut,
maka mereka mengadakan perkawinan secara gandharwa. Pada masa itu seorang
kesatria diperbolehkan kawin secara gandharwa. Setelah beberapa lama, Raja
Dusyanta kembali ke istana dengan rasa penuh ketakutan terhadap Resi Kanwa. Ada
beberapa senjata yang paling ditakuti orang di masa itu, senjata raja adalah
pasukannya, sedangkan senjata resi adalah kutukannya. Resi Kanwa datang setelah
Raja Dusyanta pergi. Shakuntala masuk kamar, malu menemui ayah angkatnya.
Dengan mata batinnya, sang resi paham apa yang telah terjadi. Sang resi
berkata, “Shakuntala, aku tidak marah, aku merestui perkawinanmu. Dusyanta
adalah raja besar yang adil bijaksana. Ia raja terbaik. Kamu akan menjadi ibu
dari putra yang akan menjadi maharaja agung.”
Tahun demi
tahun berlalu, Sarwadamana, sang putra menjadi besar dan nampak aura kewibawaan
yang memancar darinya. Tetapi Dusyanta
belum datang juga. Shakuntala merasa waktu berjalan sangat lambat.
Akhirnya Resi
Kanwa memanggil Sarwadamana, “Cucuku, dari pihak ibumu kau adalah cucu dari
Rajarishi Kausika yang agung, yang penuh semangat meniti ke dalam diri, bahkan
meninggalkan tahta, membantu orang yang kesusahan dan dihormati bahkan oleh
seluruh dewa. Dari pihak ayahmu, Dusyanta mempunyai garis keturunan dari Raja
Puru putra Yayati yang bijaksana. Kamu mempunyai genetika bawaan sempurna
sebagai raja, sekarang bawa ibumu menghadap ayahmu. Kau jangan memaksa ayahmu
menerima dirimu sebagai putranya. Bila dia belum menerima, jangan paksa,
yakinlah ada waktunya dia akan memelukmu memanggilmu putra. Aku segera
melakukan samadhi mencoba menghubungi kakekmu yang masih bertapa. Dia akan
membantumu dari jauh. Yakinlah.”
Shakuntala
kemudian menurut saja digandeng sang putra menuju istana. Sang putra berkata,
“Ibu aku telah dipesan kakek, sebaiknya ibu menceritakan kisah sebenarnya
kepada ayahanda. Setelah itu jangan menangis. Diterima atau tidak diterima
ayahanda adalah urusan Gusti. tetapi masalah ini harus terselesaikan. Sehingga
arah hidupku menjadi jelas menjadi putra raja atau mengikuti kakek menjadi
seorang pertapa.” Sepanjang perjalanan semua orang memperhatikan mereka dengan
penuh penghormatan. Seorang ibu muda yang anggun bak dewi kahyangan dengan
putra yang tampan dan memancarkan aura kewibawaan. Wajah sang putra tidak asing
bagi mereka, itu adalah wajah raja Dusyanta.
Sampai di
istana mereka melihat sang raja sedang duduk di singgasana. Sang putra segera
mengajak sang ibunda bersujud menghormati Gusti yang mewujud sebagai raja.
Shakuntala kemudian mengingatkan sang raja tentang kejadian sewaktu sang raja
berkunjung ke rumah Resi Kanwa, “Demikian Paduka Raja Dusyanta, ini adalah
putramu hasil paduan kasih dari kita berdua.” Sang Raja kaget, dan tegang luar
biasa, “Tidak, aku tidak ingat benar siapa engkau, nampaknya kita pernah
bertemu tetapi aku lupa.” Kelemahan dari perkawinan gandharwa adalah tidak
adanya saksi atas perkawinan tersebut. Raja Dusyanta bingung, bagaimana dia
dapat memberi pemahaman kepada para menterinya tentang kejadian tersebut. Siapa
yang dapat membuktikan bahwa remaja tersbut adalah benar-benar putranya? Ini
adalah masalah besar bagi kerajaan. Begitu diakui, maka otomatis sang remaja
menjadi putra mahkota. Yang tahu betul putra siapa adalah ibunya, tetapi apakah
ibunya dapat dipercaya atau tidak? Dan Dusyanta kebingungan.
Shakuntala
berkata, “Ingatlah paduka raja mengajariku agar bertanya pada Atman yang berada
dalam diriku untuk kawin denganmu. Sesuai kesadaranku pada waktu itu Manas,
pikiran kuanggap Atman. Pikiranku segera memberikan persetujuan. Bahkan aku
tidak peduli tentang kesadaranku, yang jelas aku sepenuh hati menjadi istrimu.
Paduka raja, sekarang bertanyalah pada Atman-mu jangan pada Manas-mu! Seorang
raja yang menipu dirinya, menipu Atman-nya tidak akan pernah bisa mendapatkan
ketenangan. Mungkin paduka akan menolakku karena aku anak hasil perkawinan
seorang raja dengan bidadari, tetapi paduka tak dapat menolak darah dagingmu
sendiri. Paduka saya ingatkan bahwa nenek moyang paduka, Ayu adalah putra dari raja Pururawa dengan Urwasi
yang seorang bidadari juga.”
Shakuntala
menangis, hatinya tersayat dan penuh kekecewaan dan kemarahan. Sang putra
segera menggandeng ibunya meninggalkan istana, “Bunda tenanglah, arah hidupku
telah jelas, aku akan menjadi pertapa yang paling baik yang dapat membahagiakan
dirimu. Yakinlah pada putra remajamu ini! Bunda mari pergi tinggalkan istana
ini!” Sang remaja berkata, “Wahai paduka raja, aku mendengar dari kakek Resi
Kanwa, bahwa kebenaran ucapan adalah sama agungnya seperti pelajaran kitab suci
dan membersihkan diri di sungai-sungai suci. Tidak ada dharma yang lebih besar
selain kebenaran. Brahman adalah kebenaran mutlak. Jangan menghina Brahman
dalam diri paduka. Paduka, Aku dan bunda mohon diri.”
Sang raja
tertegun, melihat punggung sang ibu dan sang anak. Hatinya ingin mengakui,
tetapi dia malu kepada seluruh menterinya. Mau bicara tidak bisa, mau berdiri
tidak mampu. Semua yang hadir tersentuh melihat sang ibu muda menangis
terisak-isak, dihibur putra remaja yang tabah dan perkasa. Tiba-tiba datang
suara membahana dari langit: “Dusyanta, perempuan ini adalah istrimu, dan anak
remaja ini adalah putramu. Dia akan menjadi maharaja yang besar melebihi dirimu.
Shakuntala telah berkata benar. Jangan menghina Shakuntala yang telah lama
menderita.” Tiba-tiba nampak para dewa di langit yang berkata, “Kemarahan
seorang perempuan akan menghancurkan seluruh keluarga keturunan Puru. Kejar
segera isterimu, tenangkan isteri yang luhur itu. Panggillah putramu dengan
nama Bharata karena kami sudah memintamu mengambil dia. Bhara berarti
melindungi, mengawal. Karena putramu inilah anak keturunanmu dipanggil sebagai
dinasti Bharata”. Dusyanta segera mengejar Shakuntala dan Bharata dan meminta
mereka menjadi permaisuri dan putra mahkota.
Mata Parikesit
menitik mendengar kisah yang disampaikan Resi Shukabrahma dan berkata pelan,
“Wahai Guru, sejatinya hanya karena rahmat Ilahi kami menjadi salah satu
keturunan Bharata. Bagaimana dengan
Shakuntala-Shakuntala dan Bharata-Bharata lain yang menjadi korban perkawinan
gandharwa, yang ayahnya tetap tidak mengakui?”
Resi
Shukabrahma berkata, “Wahai Raja, semua yang lahir dan hidup tidak dapat lepas
dari hukum sebab-akibat. Menanam padi menunggu panen 4 bulan. Menanam pohon
jambu menunggu panen 7 tahun. Menanam pohon jati bisa menunggu puluhan tahun.
Pikiran, ucapan dan tindakan kita merupakan benih tanaman dan tak ada seorang,
bahkan dewa pun yang tahu kapan panennya. Menerima dan menghadapi panen di
depan mata dengan penuh kesadaran. Itulah intisari kehidupan. Bagaimana pun itu
semua terjadi dalam jaring ilusi maya. Karena kesadaran kita masih pada
tingkatan mental emosional. Para suci kesadarannya telah melampaui kesadaran
mental emosional. Semua tindakannya berdasar intelegensia, selaras dengan alam.
Bahkan sudah mencapai kesadaran murni, kebahagiaan hakiki. Mereka sudah tidak
terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi di luar……”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar