Jumat, 09 November 2012

Kisah Dusyanta: Leluhur Pandawa


Raja Dusyanta adalah salah seorang raja bijaksana dari dinasti Puru. Dia dihormati seluruh rakyatnya. Pada suatu kali dalam perjalanan inspeksi di wilayah kerajaannya, sang raja mampir ke pertapaan Resi Kanwa. Raja Dusyanta bertemu dengan seorang putri cantik yang memperkenalkan diri sebagai putri angkat Resi Kanwa. Shakuntala adalah putri dari Rajarishi Kausika dengan Bidadari Menaka. Rajarishi Kausika melanjutkan pertapaannya untuk mencapai derajat Brahmarishi. Dan, nantinya Sang Rajarishi akan mencapai Brahmarishi bergelar Resi Wiswamitra. Pada suatu hari Menaka harus kembali ke kahyangan dan meninggalkan bayi perempuan kecil di dekat pasraman Resi Kanwa, sahabat dari Rajarishi Kausika. Resi Kanwa menemukan bayi perempuan kecil ditemani burung-burung shakunta, maka anak tersebut diberi nama Shakuntala dan diangkat sebagai putri angkatnya.

Raja Dusyanta berbahagia kala mendengar bahwa Shakuntala adalah putri Rajarishi Kausika. Dusyanta melamar sang putri menjadi istrinya dan berjanji putra mereka akan menjadi putra mahkota. Shakuntala meminta agar mereka menunggu kepulangan Resi Kanwa, tetapi sang raja terus mendesaknya. Karena kedua hati telah bertaut, maka mereka mengadakan perkawinan secara gandharwa. Pada masa itu seorang kesatria diperbolehkan kawin secara gandharwa. Setelah beberapa lama, Raja Dusyanta kembali ke istana dengan rasa penuh ketakutan terhadap Resi Kanwa. Ada beberapa senjata yang paling ditakuti orang di masa itu, senjata raja adalah pasukannya, sedangkan senjata resi adalah kutukannya. Resi Kanwa datang setelah Raja Dusyanta pergi. Shakuntala masuk kamar, malu menemui ayah angkatnya. Dengan mata batinnya, sang resi paham apa yang telah terjadi. Sang resi berkata, “Shakuntala, aku tidak marah, aku merestui perkawinanmu. Dusyanta adalah raja besar yang adil bijaksana. Ia raja terbaik. Kamu akan menjadi ibu dari putra yang akan menjadi maharaja agung.”

Tahun demi tahun berlalu, Sarwadamana, sang putra menjadi besar dan nampak aura kewibawaan yang memancar darinya.  Tetapi Dusyanta belum datang juga. Shakuntala merasa waktu berjalan sangat lambat.

Akhirnya Resi Kanwa memanggil Sarwadamana, “Cucuku, dari pihak ibumu kau adalah cucu dari Rajarishi Kausika yang agung, yang penuh semangat meniti ke dalam diri, bahkan meninggalkan tahta, membantu orang yang kesusahan dan dihormati bahkan oleh seluruh dewa. Dari pihak ayahmu, Dusyanta mempunyai garis keturunan dari Raja Puru putra Yayati yang bijaksana. Kamu mempunyai genetika bawaan sempurna sebagai raja, sekarang bawa ibumu menghadap ayahmu. Kau jangan memaksa ayahmu menerima dirimu sebagai putranya. Bila dia belum menerima, jangan paksa, yakinlah ada waktunya dia akan memelukmu memanggilmu putra. Aku segera melakukan samadhi mencoba menghubungi kakekmu yang masih bertapa. Dia akan membantumu dari jauh. Yakinlah.”

Shakuntala kemudian menurut saja digandeng sang putra menuju istana. Sang putra berkata, “Ibu aku telah dipesan kakek, sebaiknya ibu menceritakan kisah sebenarnya kepada ayahanda. Setelah itu jangan menangis. Diterima atau tidak diterima ayahanda adalah urusan Gusti. tetapi masalah ini harus terselesaikan. Sehingga arah hidupku menjadi jelas menjadi putra raja atau mengikuti kakek menjadi seorang pertapa.” Sepanjang perjalanan semua orang memperhatikan mereka dengan penuh penghormatan. Seorang ibu muda yang anggun bak dewi kahyangan dengan putra yang tampan dan memancarkan aura kewibawaan. Wajah sang putra tidak asing bagi mereka, itu adalah wajah raja Dusyanta.

Sampai di istana mereka melihat sang raja sedang duduk di singgasana. Sang putra segera mengajak sang ibunda bersujud menghormati Gusti yang mewujud sebagai raja. Shakuntala kemudian mengingatkan sang raja tentang kejadian sewaktu sang raja berkunjung ke rumah Resi Kanwa, “Demikian Paduka Raja Dusyanta, ini adalah putramu hasil paduan kasih dari kita berdua.” Sang Raja kaget, dan tegang luar biasa, “Tidak, aku tidak ingat benar siapa engkau, nampaknya kita pernah bertemu tetapi aku lupa.” Kelemahan dari perkawinan gandharwa adalah tidak adanya saksi atas perkawinan tersebut. Raja Dusyanta bingung, bagaimana dia dapat memberi pemahaman kepada para menterinya tentang kejadian tersebut. Siapa yang dapat membuktikan bahwa remaja tersbut adalah benar-benar putranya? Ini adalah masalah besar bagi kerajaan. Begitu diakui, maka otomatis sang remaja menjadi putra mahkota. Yang tahu betul putra siapa adalah ibunya, tetapi apakah ibunya dapat dipercaya atau tidak? Dan Dusyanta kebingungan.

Shakuntala berkata, “Ingatlah paduka raja mengajariku agar bertanya pada Atman yang berada dalam diriku untuk kawin denganmu. Sesuai kesadaranku pada waktu itu Manas, pikiran kuanggap Atman. Pikiranku segera memberikan persetujuan. Bahkan aku tidak peduli tentang kesadaranku, yang jelas aku sepenuh hati menjadi istrimu. Paduka raja, sekarang bertanyalah pada Atman-mu jangan pada Manas-mu! Seorang raja yang menipu dirinya, menipu Atman-nya tidak akan pernah bisa mendapatkan ketenangan. Mungkin paduka akan menolakku karena aku anak hasil perkawinan seorang raja dengan bidadari, tetapi paduka tak dapat menolak darah dagingmu sendiri. Paduka saya ingatkan bahwa nenek moyang paduka,  Ayu adalah putra dari raja Pururawa dengan Urwasi yang seorang bidadari juga.”

Shakuntala menangis, hatinya tersayat dan penuh kekecewaan dan kemarahan. Sang putra segera menggandeng ibunya meninggalkan istana, “Bunda tenanglah, arah hidupku telah jelas, aku akan menjadi pertapa yang paling baik yang dapat membahagiakan dirimu. Yakinlah pada putra remajamu ini! Bunda mari pergi tinggalkan istana ini!” Sang remaja berkata, “Wahai paduka raja, aku mendengar dari kakek Resi Kanwa, bahwa kebenaran ucapan adalah sama agungnya seperti pelajaran kitab suci dan membersihkan diri di sungai-sungai suci. Tidak ada dharma yang lebih besar selain kebenaran. Brahman adalah kebenaran mutlak. Jangan menghina Brahman dalam diri paduka. Paduka, Aku dan bunda mohon diri.”

Sang raja tertegun, melihat punggung sang ibu dan sang anak. Hatinya ingin mengakui, tetapi dia malu kepada seluruh menterinya. Mau bicara tidak bisa, mau berdiri tidak mampu. Semua yang hadir tersentuh melihat sang ibu muda menangis terisak-isak, dihibur putra remaja yang tabah dan perkasa. Tiba-tiba datang suara membahana dari langit: “Dusyanta, perempuan ini adalah istrimu, dan anak remaja ini adalah putramu. Dia akan menjadi maharaja yang besar melebihi dirimu. Shakuntala telah berkata benar. Jangan menghina Shakuntala yang telah lama menderita.” Tiba-tiba nampak para dewa di langit yang berkata, “Kemarahan seorang perempuan akan menghancurkan seluruh keluarga keturunan Puru. Kejar segera isterimu, tenangkan isteri yang luhur itu. Panggillah putramu dengan nama Bharata karena kami sudah memintamu mengambil dia. Bhara berarti melindungi, mengawal. Karena putramu inilah anak keturunanmu dipanggil sebagai dinasti Bharata”. Dusyanta segera mengejar Shakuntala dan Bharata dan meminta mereka menjadi permaisuri dan putra mahkota.

Mata Parikesit menitik mendengar kisah yang disampaikan Resi Shukabrahma dan berkata pelan, “Wahai Guru, sejatinya hanya karena rahmat Ilahi kami menjadi salah satu keturunan Bharata.  Bagaimana dengan Shakuntala-Shakuntala dan Bharata-Bharata lain yang menjadi korban perkawinan gandharwa, yang ayahnya tetap tidak mengakui?”

Resi Shukabrahma berkata, “Wahai Raja, semua yang lahir dan hidup tidak dapat lepas dari hukum sebab-akibat. Menanam padi menunggu panen 4 bulan. Menanam pohon jambu menunggu panen 7 tahun. Menanam pohon jati bisa menunggu puluhan tahun. Pikiran, ucapan dan tindakan kita merupakan benih tanaman dan tak ada seorang, bahkan dewa pun yang tahu kapan panennya. Menerima dan menghadapi panen di depan mata dengan penuh kesadaran. Itulah intisari kehidupan. Bagaimana pun itu semua terjadi dalam jaring ilusi maya. Karena kesadaran kita masih pada tingkatan mental emosional. Para suci kesadarannya telah melampaui kesadaran mental emosional. Semua tindakannya berdasar intelegensia, selaras dengan alam. Bahkan sudah mencapai kesadaran murni, kebahagiaan hakiki. Mereka sudah tidak terpengaruh oleh peristiwa yang terjadi di luar……”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar