Anak Penyelamat Leluhur dari Siksa Neraka
By: Mertamupu
Anak atau disebut putra merupakan asset bagi orang tua dan leluhur. Anak bukan hanya bertanggungjawab atas perihal urusan kehidupan di dunia nyata bagi orang tua, tetapi ia juga memiliki tanggung jawab terhadap orang tua maupun leluhurnya. Anak memiliki tanggung jawab untuk menyelamatkan roh orang tua dari api neraka. Oleh karena itu anak disebut putra.
Anak keturunan merupakan kelanjutan dari kehidupan atau eksistensi keluarga. Anak dalam Bahasa Kawi disebut “Putra” asal kata dari “Put” (berarti neraka) dan “Ra” (berarti menyelamatkan). Jadi Putra artinya: “yang menyelamatkan dari neraka” (Bhagawan Dwija, 2010).
Seorang anak/putra yang suputra (anak yang baik/mulia) merupakan cahaya keluarga, seperti dinyatakan di dalam Canakya Nitisastra “Bagaikan bulan menerangi malam dengan cahayanya yang terang dan sejuk, demikianlah seorang anak yang suputra yang memiliki pengetahuan rohani, insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra yang demikian itu member kebahagiaan kepada keluarga dan masyarakat” (Canakya Nitisastra III.16). Sebuah keluarga tanpa anak bagaikan sayur tanpa garam, kehidupan pasangan suami istri menjadi hambar tanpa kehadiran seorang anak.
Anak yang suputra akan menjadi sumber kebahagian bagi orang tuanya tetapi sebaliknya anak yang kuputra (anak yang jahat) akan menjadi sumber penderitaan bagi keluarga. Seperti untaian sloka kitab suci yang menyatakan “Seluruh hutan terbakar hangus hanya karena satu pohon kering yang terbakar. Begitulah seorang anak yang kuputra menghancurkan dan memberikan aib bagi seluruh keluarga” (Canakya Niti Sastra Bab III. 15). Oleh karena anak merupakan asset masa depan bagi keluarga, baik semasih di dunia nyata maupun nanti di dunia rohani, maka peliharalah sang anak sejak baru berada dalam kandungan.
Sebuah keluarga yang tidak memiliki anak, maka kelak keluarga/orang tuanya tersebut tidak akan memperoleh surga. Ada banyak kisah di dalam cerita kuno yang berkaitan dengan hal ini. Di mana dikatakan orang tua yang tidak memiliki keturunan digantung di atas bambu di bawahnya terdapat berbagai binatang yang mengerikan. Seperti diceritakan di dalam Mahabharata bagian Adi Parwa versi Jawa Kuno.
Dalam Adiparwa (Bab. V) diceritakan pertemuan Sang Jaratkaru dengan roh leluhurnya yang hampir jatuh ke neraka. Leluhurya berkata:
"Nahan ta hetu mami n pegat sangkeng tibeng narakolaka; tattwanikang petung sawilih, hana wangsa mami sakiki, jaratkaru, ngaranya, ndan moksa wih taya, mahyun lupeteng sarwa janmabandhana, ta tan pastry, ya sukla brahmacari".
Artinya : "Beginilah sebabnya mengapa saya putus hubungan dengan dunia roh, kini tergantung pada sebilah bambu, hampir-hampir jatuh ke dalam neraka. Adanya sebilah bambu ini ialah bahwa saya masih mempunyai seorang keturunan yang bernama Jaratkaru, (tetapi) ia berkepentingan untuk mencari moksa melepaskan diri dari ikatan hidup kemanusiaan, la tidak mau kawin, ia menjalankan sukla brahmacari".
Kata-kata leluhurnya ini dijawab, oleh Sang Jaratkaru:
"Hana n pwa marganta muliheng swarga, tan sangsaya rahadyan sanghulun kabeh, marya nghulun brahmacarya, ametanakbi panaka ni nghulun".
Artinya: "Ada jalan untuk tuan pergi ke sorga. Janganlah tuan ragu dan takut. Hamba akan berhenti menjalankan brahmacari. Hamba akan kawin dan mempunyai anak".
Dari penggalan cerita di atas dapat diartikan, bahwa seorang yang tidak memiliki keturunan kelak leluhurnya terancam masuk neraka. Seperti petikan cerita di atas roh leluhur Sang Jaratkaru terancam masuk neraka, karena ia tidak memiliki putra/anak karena Sang Jaratkaru melakukan Sukla Brahmacari. Oleh karena roh leluhurnya terancam masuk neraka, maka Sang Jaratkaru memutuskan untuk tidak melakukan Sukla Brahmacari dan bersedia untuk menikah untuk mempunyai anak. Lalu apa yang dimaksud Sukla Brahmacari? Lontar Wrtisasana menjelaskan “Sukla brahmacari ta pa stri sangkan rare, tekang kapatinira… Sukla brahmacari ialah orang yang tidak kawin dari kecil sampai meninggal. (penggalan sebuah sloka Kitab Wrtisasana (Kirtya No. IIb. 76 halaman 3). Sukla Brahmacari dalam ajaran Kristen dikenal dengan selibat.
Sukla Brahmacari/selibat hanya boleh dilakukan apabila terikat oleh sebuah janji dan juga kewajiban. Di dalam kisah Mahabharata salah satu tokoh yang melakukan Sukla Brahmacari adalah Rsi Bhisma atau Bhagawan Bhisma, sehingga beliau bisa hidup lama. Saudara (tiri) Rsi Bhisma adalah Citrānggada dan Wicitrawirya yang melahirkan Pandu, ayah Panca Pandawa dan Drestarastra, ayah Korawa.
Menurut cerita Mahabharata, Sang Pandu (di Indonesia sering disebut Pandu Dewanata) ia pernah bermimpi ditolak masuk surga, karena sang baginda tidak memiliki anak. Hal ini akibat kutukan Rshi Kindama. Diceritakan ketika Sang Pandu sedang berburu, tanpa sengaja membunuh seorang Rsi. Ketika itu Rshi Kindama yang sedang bersenggama bersama istrinya yang menyamar menjadi sepasang kijang dipanah oleh Sang Pandu. Sebelum wafat, Rshi Kindama mengutuk Sang Pandu bahwa apabila ia hendak bersenggama dengan salah satu istrinya, maka ia akan meninggal.
Oleh karena kutukan tersebut, Sang Pandu tidak lagi memerintah Hastina Pura, tampuk pemerintahan diserahkan kepada Sang Drestarastra, kakak sang Pandu. Setelah menyerahkan pemerintahan kepada kakaknya, sang Pandu melakukan yoga semadi untuk pergi ke sorga bersama para Brahmana. Namun sayang ketika di dalam perjalanan menuju ke surga sang Pandu tidak di izinkan ikut serta ke surga.
“Wahai kau anakku, akan kemanakah engkau?” tanya salah seorang Brahmana, Pandu Menjawab “Hamba mau ikut bersama pendeta”, “Kami akan pergi ke surga, engkau tidak boleh ikut pergi bersama kami, karena engkau tidak memiliki putra,” kata sang Brahmana. Setelah mendapat jawaban seperti itu sang Pandu amat sedih hatinya, kemudian sang baginda kembali lagi ke kediamannya.
Setelah sampai di kediamannya sang Pandu dilanda kegalauan mengingat dirinya tidak akan bisa masuk surga, karena tidak memiliki anak. Sang Pandu meminta janji kepada kedua istrinya yang pernah mereka ungkapkan ketika awal pernikahan mereka. Prtha (Dewi Kunti) anak Raja Kuntibhoja berjanji memberi 3 bagian dan dewi Madri adik Salya (Narasoma) anak seorang raja dari kerajaan Madrapati berjanji memberi 2 bagian kepada suaminya Sang Pandu.
Dalam suasana yang membingungkan, Dewi Kunti teringat akan sebuah anugrah Mantra Sakti yang diberikan oleh Rsi Durwasa, anugrah Mantra Sakti tersebut diberikan kepada Dewi Kunti ketika masih gadis. Fungsi mantra itu untuk mengarad/memanggil para dewa. Digunakanlah mantra sakti itu untuk memanggil Bhatara Dharma, maka dianugrahi seorang anak ahli agama (dharma), diberi nama Yudistira (Dharmawangsa). Kemudian selanjutnya Dewi Kunti memanggil Bhatara Bayu, maka dianugrahi anak yang kuat laksana gunung yang diberi nama Bhima. Kemudian yang terakhir Dewi Kunti memanggil Bhatara Indra maka dianugerahilah anak ahli perang yang diberi nama Arjuna.
Mantra sakti yang dimiliki oleh Dewi Kunti juga diberikan kepada Dewi Madri, kemudian Dewi Madri memanggil Dewa Aswin (dewa kembar) maka dianugerhilah anak yang cerdas dan tampan yang diberi nama Nakula dan Sahadewa.
Meskipun kembar, Nakula dikisahkan memiliki wajah yang lebih tampan daripada Sahadewa, sedangkan Sahadewa lebih pandai daripada kakaknya itu. Terutama dalam hal perbintangan atau astronomi, kepandaian Sahadewa jauh di atas murid-murid Resi Drona lainnya. Selain itu ia juga pandai dalam hal ilmu peternakan sapi. Sebenarnya yang tampan dari kelima putra sang Pandu bukanlah Arjuna melainkan Nakula.
Apa yang pernah dijanjikan oleh kedua istrinya maka telah terpenuhi, sehingga berbahagialah Sang Pandu. Suatu ketika sang Pandu lupa akan kutukan Rshi Kindama kemudian ia memeluk istrinya Dewi Madri oleh karena tidak kuat menahan nafsu asmara yang sedang bergelora, maka seketika itulah sang Pandu mangkat, sedangkan Dewi Madri ikut menceburkan diri ke dalam api pembakaran mayat suaminya sebagai bukti kesetiaannya.
Menceburkan diri ke dalam api sang suami dalam tradisi Hindu kuno hal itu disebut Sati (ritual sati). Tradisi ini di Bali dihapuskan oleh Belanda dan di India dihapuskan oleh Inggris pada tahun 1829 karena dianggap bertentangan dengan kemanusiaan.
Berkaca pada Panca Pandawa, untuk memajukan suatu bangsa dan Negara kelima karakter yang dimiliki oleh Panca Pandawa tersebut harus ada dalam sebuah Negara. Dimana harus ada ahli hukum (agama), ahli perang, sumber kekuatan, wibawa pemerintah dan ahli ekonomi. (kebajikan, ketangkasan, kekuatan, wibawa, kecerdasan). Demikianlah mengapa anak dikatakan sebagai anugrah atau kekayaan yang tak ternilai yang akan menyelamatkan orang tua di dunia nyata dan di dunia rohani. Oleh karena demikian berartinya seorang anak, sehingga ada yang beranggapan bahwa banyak anak banyak rezeki.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar