Prabu Dasarata penuh hasrat mendapatkan seorang putra, sehingga mengawini
tiga orang wanita yang ternyata tiga-tiganya belum dapat memberikan putra juga.
Akhirnya dengan suatu upacara ritual ketiga istrinya melahirkan empat putra.
Keempat putranya saling mengasihi.
Kemudian karena sang prabu kalah janji dengan istri ketiganya yaitu Dewi
Kekayi, maka putra terkasihnya Sri Rama harus meninggalkan istana yang
menyebabkan kesedihan sang prabu yang membawanya keujung kematian.
Resi Gotama bertapa seratus tahun dengan harapan mendapatkan anugerah
isteri seorang bidadari. Dewi Windradi adalah seorang bidadari yang bersedia
menjadi istrinya, akan tetapi dia memiliki cupu manik Astagina yang pada setiap
saat konon dapat berhubungan dengan Bathara Surya lewat cupu tersebut.
Pasangan suami istri tersebut melahirkan tiga anak, Guwarsa yang akhirnya
menjadi Subali, Guwarsi yang menjadi Sugriwa dan Retno Anjani yang melahirkan
Hanuman. Dua bersaudara Subali dan Sugriwa berseteru hingga akhirnya
Subali mati dipanah Sri Rama. Sedangkan Hanuman melakukan pengabdian yang
sungguh-sungguh pada Sri Rama, sang awatara.
Dewi Sukesi, putri raja Alengka Prabu Sumali, seorang wanita yang sangat
percaya diri dan bersemangat. Sang putri menerima saran sang ayahanda bahwa
pemilihan pasangan hidup melalui pertarungan antar ksatria tidak perlu
diperpanjang lagi. Dewi Sukesi kemudian memilih pasangan hidup siapa pun yang
dapat menjabarkan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Resi Wisrawa adalah seorang raja yang meninggalkan kenyamanan istana demi
peningkatan kesadaran. Akan tetapi sang resi masih punya keterikatan dengan
sang putra yang menggantikannya sebagai raja Lokapala. Sang putra mabuk
kepayang ingin mempersunting Dewi Sukesi, akan tetapi ketakutan karena semua
ksatria yang datang meminang sang putri dibunuh oleh Patih Harya Jambumangli
adik Prabu Sumali yang diam-diam jatuh cinta kepada sang keponakan.
Resi Wisrawa berangkat ke Alengka untuk mendapatkan jodoh bagi sang
putra. Akan tetapi sewaktu menguraikan Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating
Diyu kepada Dewi Sukesi, mereka berdua terlena dan melakukan hubungan suami
istri. Dari mereka lahirlah Rahwana, Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana.
Sarpakenaka yang hiperseks sakit hati dengan Dewi Sinta dan minta sang kakak
menculiknya. Kumbakarna tidak menyetujui keserakahan Rahwana memilih makan dan
tidur serta tidak mau melihat kesewenang-wenangan kakaknya. Wibisana tidak
cocok dengan tindakan kakaknya dan ketika kakaknya menculik istri Sri Rama,
ksatria awatara idolanya, maka dia menyeberang ke pihak Sri Rama.
Kisah Ramayana yang berkembang di Nusantara, penuh dengan berbagai karakter
pelaku, dengan berbagai hubungan kekerabatan yang bagaimana pun sampai saat ini
masih relevan untuk dipetik hikmahnya. Berbagai karakter dan persoalan rumah
tangga tersebut terasa dekat dengan kearifan lokal bangsa Indonesia. Setting panggung
dan zaman sudah berubah, akan tetapi karakter para pelaku dan pelbagai
permasalahan kekerabatan pada hakikatnya tidak jauh berbeda. Bahkan sampai saat
ini masih banyak orang tua yang menamakan anaknya, Rama, Bharata, Laksmana,
Sinta, Sita dan lainnya.
Walaupun Epos Ramayana berawal dari India, tetapi begitu sampai Nusantara,
nuansanya disesuaikan. Bahkan di India tidak ada satu pun candi dengan
relief batu tentang Ramayana. Hal tersebut menunjukkan betapa tingginya
peradaban kita saat itu. Akan tetapi, pada saat ini justru beberapa produk
budaya kita, yang secara jujur pernah “kurang mendapat perhatian”, telah
dirawat oleh bangsa lain. Semoga putra-putri Indonesia menyadari jati diri
budaya bangsa, melestarikannya dan bangkit dari keterpurukannya.
Latar belakang Resi
Wisrawa dan Dewi Suksesi
Prabu Sumali, Raja Alengka sadar bahwa sayembara memperebutkan Dewi Sukesi,
sang putri dengan cara perang tanding antar ksatriya telah menimbulkan
pertumpahan darah yang tidak seharusnya terjadi. Telah banyak ksatria mati di
tangan Harya Jambumangli adik, sekaligus patih kerajaan Alengka. Akan tetapi
permintaan sang putri untuk bersedia menjadi isteri dari orang yang sanggup
mengupas Sastrajendra Pangruwating Diyu membuatnya sangat gundah. Bagaimana pun
sang putri adalah seorang gadis yang tegas dan dia terlanjur memanjakan dan
menuruti apa pun kemauan sang putri. Dewi Sukesi memang berbeda dari Dewi Sinta
yang pasrah kepada ayahandanya, Sang Prabu Janaka yang bijaksana untuk
mencarikan jodoh baginya.
Resi Wisrawa sedang mengupas ilmu Sastrajendra Pangruwating Diyu di taman
keputren bersama Dewi Sukesi. ‘Sastrajendra’, Tulisan Agung
tersebut tak jauh dari pemahaman tentang manusia itu sendiri, tentang ‘gumelaring
jagad’, asal-usul jagad, ‘sejatining urip’, makna hidup, ‘sejatining
panembah’, pengabdian kepada Gusti dan ‘sampurnaning pati’, kesempurnaan
kematian.
Resi Wisrawa dalam mengupas Sastrajendra masih menuruti ego pribadi untuk
mendapatkan jodoh bagi sang putra. Dewi Sukesi dalam menerima pengetahuan juga
masih mempunyai keterikatan terhadap ego pribadi untuk mencari suami. Mereka
menuruti hasrat ego-nya, bukan Sang
Keberadaan, belum mencerminkan hubungan antara Guru dan murid.
Terpelesetnya Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi dalam pengupasan Sastrajendra
Beberapa penjelasan Resi Wisrawa, “Pada waktu kita sudah lepas dari
keterikatan, kehilangan rasa memiliki, termasuk memiliki diri sendiri, kita
masuk dalam “kematian”. Di balik “kematian” itulah justru ada “kehidupan”
sejati. Kehidupan yang tidak berawal dan tidak berakhir, yang bebas dari
belenggu keterikatan.”
“Kita berada dalam keindahan cinta.
Alam semesta ini adalah perwujudan cinta Sang Keberadaan. Manusia, hewan,
tanaman tak mungkin ada tanpa cinta. Cinta dan keindahan terdapat dalam naluri,
integensia setiap manusia.”
“Ibarat sungai diam yang mengalirkan air yang selalu baru. Bukan jatidiri
yang berjalan, tetapi waktulah yang berjalan. Cinta melampaui waktu. Tubuh
fisik boleh berubah sesuai usia, akan tetapi cinta itu sendiri abadi. Masa lalu
tidak ada, masa depan belum tiba dan yang ada hanya saat ini dan hal ini perlu
dirayakan.”
“Dalam cinta itu ada kerinduan, bukan kerinduan terhadap hal-hal duniawi
yang bersifat sementara, tetapi kerinduan kepada hal yang tidak dimengerti.
Kebahagian dalam kerinduan tersebut bukan karena kepemilikan, tetapi karena
ridho Sang Keberadaan. Pasrah total terhadap Keberadaan.”
“Sifat keraksasaan dalam diri harus
diruwat, dikembalikan ke keadaan asalnya. Dan untuk mensucikan jiwa, kita harus
menggunakan raga. Anakku Sukesi, mari kita kembali ke bumi untuk menyelesaikan
tugas kita mengendalikan keraksasaan, mengendalikan “Diyu” dalam diri!” Dewi
Sukesi merasa belum terpuaskan keingintahuannya dan belum mau menyudahi
penguraian tentang Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Begitu larutnya mereka dalam penjabaran Sastrajendra, sampai mereka lupa
bahwa “Diyu”, sang raksasa dalam diri mereka yang lama terpendam bangkit dan
menutup kesadaran mereka. Keduanya bahkan gagal memaknai Sastrajendra, Sang
Tulisan Agung. Mereka melakukan hubungan suami istri. Mereka tidak dinikahkan
oleh orang tua atau dinikahkan oleh pelaksana ritual pernikahan, tetapi mereka
dinikahkan oleh syahwat mereka.
Kelahiran putra-putri
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi
Dewi Sukesi mengandung akibat buah cinta terlarangnya dengan Resi Wisrawa.
Dan, kemudian dari rahimnya terlahir segumpal darah, bercampur sebuah wujud
telinga dan kuku. Segumpal darah itu menjadi raksasa bernama Rahwana yang
melambangkan nafsu angkara manusia. Sedangkan telinga menjadi raksasa sebesar
gunung yang bernama Kumbakarna, yang meski pun berwujud raksasa tetapi hatinya
bijak, ia melambangkan penyesalan ayah ibunya. Sedangkan kuku menjadi raksasa
wanita yang bertindak semaunya bernama Sarpakenaka. Kelak Wisrawa dan Sukesi
melahirkan seorang putera bernama Gunawan Wibisana. Anak terakhir ini berupa
manusia sempurna yang baik dan bijaksana, karena terlahir dari cinta sejati,
jauh dari hawa nafsu kedua orang tuannya.
Wibisana lahir normal, disusui sang ibu dengan penuh kasih dan menjadi
lebih lembut. Kejadian di awal kelahiran mempunyai pengaruh besar terhadap
seorang anak. Seorang anak yang lahir dari operasi cesar, dia lahir begitu
mudah tanpa perjuangan, sehingga jangan sampai masa kanak-kanaknya dimanja,
agar dia memiliki daya juang. Bayi yang lahir juga perlu diletakkan agak jauh
dari buah dada ibunya, agar dia berjuang mendapatkan air susu pertama. Daya
juang tersebut diperlukan dalam kehidupan selanjutnya.
Sifat-sifat Rahwana,
Sarpakenaka, Kumbakarna dan Wibisana
Dalam diri manusia, ada tujuh chakra, akan tetapi putra-putri Resi Wisrawa
dan Dewi Sukesi nampak lebih menonjol pada chakra-chakra tertentu.
Chakra ketiga, kenyamanan, apabila tak terkendalikan menyebabkan manusia
mengikuti ahamkara, ego, ingin menang sendiri. Rahwana yang juga disebut Dasamuka
bisa dimaknai mempunyai sepuluh kepala, sepuluh otak, sangat cerdas dan
mempunyai keserakahan yang luar biasa. Rahwana merupakan perwujudan dari sifat
rajas yang agresif dan dominasi unsur alami api yang beraura kemerahan.
Chakra kedua berkaitan dengan kreatifitas dan hubungan dengan seks.
Sarpakenaka sangat kreatif, sehingga dapat mengubah wujud dirinya menjadi
wanita cantik penggoda Sri Rama dan Laksmana. Seandainya saja Sarpakenaka bisa
mentransformasikan energi seks menjadi energi yang kreatif, dirinya akan
sangat berguna bagi dunia. Sayangnya dia malah menjadi hiperseks, sudah
mempunyai dua suami masih mempunyai PIL (Pria Idaman Lain) Kala Maricha,
komandan prajurit andalan Rahwana. Sarpakenaka melambangkan sifat keagresifan
dan dominasi unsur api yang beraura kuning.
Chakra pertama berkaitan dengan hal-hal mendasar, misalnya makan dan minum.
Kumbakarna selain menuruti hasrat makan minum dan tidur, sebetulnya sudah
muncul kesadaran tentang kebenaran. Dia tidak setuju dengan keserakahan
Rahwana, tetapi dia tidak berani melawan dan malah melarikan diri dengan cara
makan dan tidur. Kumbakarna didominasi unsur tanah beraura hitam yang tamas,
malas.
Energi Wibisana, sudah tidak berupa cairan yang mengalir ke bawah perut,
tetapi berwujud uap yang mengarah ke atas, mengaktifkan chakra keempat,
bersifat satwika, tenang dengan aura putih, dengan dominasi unsur ruang.
Wibisana sudah siap menjadi murid Sri Rama yang telah melampaui unsur-unsur
alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar