Daksha adalah
salah satu putra Brahma diantara 9 putra Brahma yang diangkat sebagai
“prajapati”, yang mencipta dan menjaga kelestarian makhluk. Brahma kawin dengan
Prasuti putri dari Swayambhu Manu dan mereka dikaruniai 15 putri. Sati adalah
salah satu putrinya yang dikawinkan dengan Mahadewa. Pada suatu saat diadakan
upacara Yajna Agung yang diketuai oleh Marici, kakak Daksha. Semua penduduk
kahyangan hadir. Dan, pada saat Daksha masuk dia nampak begitu berwibawa
seperti matahari yang menyinari ruangan upacara. Semua resi berdiri dan
menghormat Daksha kecuali Brahma dan Mahadewa. Daksha kemudian bersujud
mengambil debu di kaki Brahma, sang ayahanda dan meletakkannya di kepala. Akan
tetapi Daksha tersinggung dan marah kepada Mahadewa yang tidak berdiri menyambutnya
seperti resi-resi yang lain, padahal Mahadewa adalah menantunya.
Daksha kemudian
mengambil air di dengan telapak tangannya dan mengutuk, “Mahadewa ini adalah
yang terburuk di antara semua dewa, dia tidak akan menerima bagian yajna
seperti dewa yang lain.” Dan Daksha langsung pulang ke rumahnya. Para pengikut
Mahadewa tersinggung dan Nandikeswara berkata, “Daksha ini orang bodoh, ia
sangat angkuh dan melupakan Mahadewa. Sesungguhnya ia bernasib sial, ia jauh
dari rahmat Tuhan. Ia tidak lebih baik dari binatang yang hidup hanya untuk
kepuasan laparnya. Para resi yang setuju dengan kutukan Daksha akan menderita.
Mereka akan mengalami siklus kelahiran dan kematian. Mereka akan disibukkan
dengan urusan duniawi dan meninggalkan Tuhan. Mereka akan terlibat dalam banyak
upacara agama, mereka akan kehilangan cinta mereka terhadap disiplin, tapa.
Mereka akan menjadi peka terhadap bujukan pikiran dan juga terhadap
ketidaktahuan sehingga mereka terlibat dalam hal-hal duniawi.”
Bhrigu saudara
Daksha marah karena ada orang yang mengganggu upacara dan mengutuk, “Aku
mengutuk para pengikut Mahadewa, mereka yang memuja dia sebagai yang terbesar
disebut Prasandi, orang yang munafik. Mereka akan menentang Weda dan tidak
aktif dalam upacara yang ditentukan oleh Weda. Mereka menjadi kotor. Mereka
berpakaian seperti Mahadewa, memakai perhiasan yang dibuat dari tulang.”
Mahadewa merasa sedih dan segera meninggalkan tempat upacara tersebut.
Waktu terus
berjalan dan Daksha telah diangkat oleh Brahma sebagai prajapati yang
terkemuka. Daksa semakin angkuh, dan untuk menunjukkan penghinaannya kepada
Mahadewa, maka dia mengadakan Yajna dengan nama Brihaspati Sawa. Semua
brahmaresi, dewaresi, pitri dan dewa diundang pada upacara tersebut. Rupanya
dalam diri Daksha masih ada perasaan dendam terhadap Mahadewa. Daksha tidak
sadar bahwa dirinya semakin terikat kepada penghormatan dari orang-orang di
sekitarnya. Daksha tidak tahu alasannya mengapa Mahadewa tidak berdiri dan
menghormatinya. Daksha gelisah mengapa Mahadewa, sang menantu bertindak
demikian. Oleh karena itu dia mengadakan Yajna tanpa mengundang Mahadewa.
Sati mendengar
upacara Yajna yang akan diselenggarakan ayahandanya minta ijin suami untuk
menghadiri upacara tersebut, “Aku tahu Kau adalah Tuhan yang mendaur ulang alam
semesta. Akan tetapi aku adalah seorang perempuan yang ingin datang ke upacara
yang diadakan ayahandaku. Aku tahu Kau akan berkata bahwa kita tidak diundang.
Akan tetapi bukankah orang baik akan datang walaupun dia tak diundang untuk
datang ke rumah seseorang?
Mahadewa
tersenyum dan berkata, “Orang selalu berubah, dia memang ayahmu, akan tetapi
ayahmu menjadi sangat angkuh. Ia mabuk kekuasaan. Ayahmu memiliki kualitas
agung dalam hal pengetahuan, tapa, kekayaan, keindahan badan, usia dan
kelahiran mulia. Semua kualitas ini jika terdapat dalam orang yang baik akan
menjadi berkah alam semesta. Bagaimana pun ayahmu telah menjadi sombong karena
memiliki semua itu. Seseorang yang berkata bahwa aku pandit, terpelajar, aku
tapaswi, pertapa, pemikiran seperti ini sudah membuat dia sombong. Dan, ayahmu
tidak rela dengan kebesaran-Ku.” “Ayahmu lebih mencintai kau dibanding kepada
saudari-saudarimu. Akan tetapi dia membenci diriku. Sehingga dia tidak akan
memperlakukanmu dengan penuh kasih sayang seperti yang kau harapkan. Kamu
mungkin belum tahu mengapa aku tidak berdiri kala ayahmu masuk ke tempat
upacara Yajna. Manakala seseorang berdiri dan melakukan namaskara, kedua tangan
ditangkupkan kepada orang lain, maka di dalam hati orang tersebut berkata,
Tuhan dalam diriku sedang menyambut Tuhan yang berada dalam dirimu. Dan Tuhan
dalam diriku adalah Tuhan yang sama dengan yang ada dalam dirimu. Rasa hormat
tidak diberikan kepada manusia, kepada tubuh yang dipakai manusia, tetapi
kepada Tuhan yang ada dalam diri setiap orang. Hanyalah ayahmu yang berpendapat
bahwa mereka menghormati dirinya. Aku tidak bisa melakukan itu. Manakala manusia
baik menemui orang lain yang penuh ego, maka ego tersebut seperti awan yang
menutupi Tuhan yang ada dalam dirinya. Itulah sebabnya aku tidak berdiri dan
menghormatinya, agar dia menyadari kesalahannya yang dengan angkuh merasa orang
menghormatinya dan bukan menghormati Tuhan yang berada dalam dirinya”. “Dulu , manakala ayahmu meremehkan aku dan
berbicara tajam menghina aku di hadapan semua orang, dan aku tidak diberi
bagianku dalam upacara tersebut, dia memang ayahmu akan tetapi dia saat itu memusuhiku.
Demikian pula para pengikutnya. Jika kamu mengabaikan perkataanku dan ingin
datang ke upacara tersebut, kamu tidak akan disambut oleh mereka. Kamu bukan
lagi anaknya, tetapi kamu adalah istri dari Mahadewa.”
Dalam diri
sati terjadi perang batin dan akhirnya Sati memenangkan perasaan kewanitaannya
dan mendatangi upacara Yajna yang diadakan oleh ayahandanya. Sati melihat
upacara yang agung dan semua kursi kehormatan telah terisi. Sati melihat semua
orang dan melihat ke arah ayahnya, akan tetapi ayahnya seolah-olah tidak
melihat dirinya. Tak seorang pun yang berani mengingatkan Daksha, dan tak
seorang pun yang datang menyambut Sati. Hanya ibu dan sudari-saudarinya yang
menyambutnya dengan pelukan. Daksha melakukan Yajna sebagai persembahan kepada
Tuhan, akan tetapi dia tak sadar bahwa dia masih mempunyai rasa kemarahan dan
keangkuhan terhadap Mahadewa. Rasa kemarahan dan keangkuhan adalah rasa bahwa
dirinya besar, padahal melakukan persembahan mestinya dilakukan dengan tulus
ikhlas dan menjadikan diri kita seperti seorang kawula di hadapan Majikan
Agung.
Sati sadar
bahwa Yajna ini ditujukan untuk menghina Mahadewa. Dengan bibir gemetar menahan
kemarahannya Sati berkata, “Seorang bodoh seperti ayahanda memusuhi Tuhan yang
tak ada bandingnya di alam semesta ini. Hanya orang bodoh yang melakukan hal
ini. Makin baik seseorang maka mereka mengabaikan kesalahan dan
mempertimbangkan kebaikan orang lain. Perilaku ayahanda tidak mempengaruhi suamiku,
akan tetapi aku tidak bisa menerima itu. Suamiku disebut Shiwa, segala sesuatu
yang murni, baik dan suci. Ayah membencinya karena ayah adalah ashiwa. Aku malu
badanku ini berasal dari ayahanda penghina Shiwa. Aku tidak ingin dikenal
sebagai Dakshayani, putri Daksha di alam selanjutnya. Badan ini cukup lama
dipakai diriku dan sekarang kulepaskan. Sati duduk dalam posisi yoga dan
badannya mulai terbakar api yang dipanggilnya. Sati menjadi abu.
Para pengawal
Sati menyerang Daksha, akan tetapi Bhrigu tidak ingin orang merusak upacara dan
segera membaca mantra. Dan, dari api persembahan keluar makhluk yang menghalau
para pengawal Sati. Resi Narada mendatangi Mahadewa dan menceritakan apa yang
terjadi pada Sati. Mahadewa tidak terkejut karena dia telah tahu apa yang akan
terjadi. Shiwa kemudian mencabut rambutnya dan melemparkannya ke tanah dan
rambut itu berubah wujud menjadi Wirabhadra makhluk tinggi besar yang
menyala-nyala. Ia mempunyai seribu lengan dan memakai kalung tengkorak seperti
Shiwa. Dia melakukan perintah Shiwa untuk membunuh Daksha dan menghancurkan
segalanya di sana. Bhrigu yang mengutuk pengikut Mahadewa dicabut kumisnya oleh
Wirabhadra. Pusan yang menertawakan Shiwa giginya semua lepas karena pukulan Wirabhadra.
Bhaga yang telah menghasut Daksha untuk mengabaikan Sati matanya dihancurkan.
Daksha akan dipancung tetapi tidak bisa dan Wirabhadra sadar bahwa hal tersebut
terjadi karena Daksha sedang mengadakan Yajna. Maka kepala Daksha dilepas
dengan tangannya dan dilemparkannya ke api sebagai persembahan. Setelah itu Wirabhadra
dan pengawal Shiwa kembali ke Kailasha.
Mereka yang
selamat menceritakan bencana yang menimpa mereka kepada Brahma. Brahma dan
Wisnu tidak hadir dalam acara Yajna karena mereka tidak akan hadir dalam
upacara yang tidak dihadiri oleh Mahadewa. Brahma kemudian minta mereka supaya
minta ampun kepada Mahadewa. Mahadewa telah diperlakukan secara tidak adil, dan
Sati mati karena Daksha. Brahma berkata jika Shiwa tetap marah dunia akan
berakhir. Brahma kemudian mendatangi Shiwa di Kailasha. Shiwa berkata, “Aku
tidak marah dengan mereka yang mengambil bagian dalam Yajna, aku hanya ingin
menghukum Daksha. Ia harus diobati kesombongan dan keangkuhannya. Kata-kata
kutukan Nandikeswara tak dapat dibatalkan. Daksha akan hidup lagi dengan kepala
yang baru, bukan dengan kepalanya yang sekarang telah hancur hangus terbakar
api Yajna. Akhirnya kepala Daksha diganti dengan kepala kambing. Pikiran Daksha
akan dibersihkan dan yang terpisah akan utuh kembali.”
Mereka semua
bersama Wisnu dan Brahma datang ketempat Yajna. Daksha mau berkata akan tetapi
suaranya berhenti di kerongkongan. Air matanya mengalir bukan karena kepalanya
sudah berganti dengan kepala kambing, akan tetapi dia ingat akan kematian Sati.
Akhirnya Daksha bisa bicara dengan patah-patah, “Aku telah menghina-Mu dan
dunia berpikir Engkau sudah menghukum aku untuk itu. Akan tetapi pada
kenyataannya Engkau telah membersihkan pikiranku, Engkau sudah memberikan aku
kelahiran baru. Aku sudah bisa menggunakan tubuhku dengan lebih baik. Aku mohon
ampun kepada-Mu”. Yajna dilanjutkan dan ketiga dewa mengetuai upacara tersebut.
Narayana juga berkenan menampakkan diri. Kita bisa melihat secara simbolis
bahwa kesalahan Daksha adalah keangkuhan disebabkan pemahaman pikirannya yang
salah. Oleh karena itu, Mahadewa menghilangkan sifat keangkuhan Daksha, yang
digambarkan dengan mengganti kepala yang angkuh dengan kepala kambing yang
patuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar