Rabu, 28 November 2012

Kisah Chitraketu: Karma baik kehidupan sebelumnya Asura Writra


Parikesit bertanya kepada Resi Shuka mengapa Writra, seorang asura bisa mencapai kaki Narayana dengan jalan bhakti. Padahal dewa yang mempunyai genetika satwik dan para resi yang mempunyai pikiran jernih, bhaktinya tidak sebesar Writra. Di dunia ini banyak makhluk dan sedikit di antaranya adalah manusia. Dan di antara seluruh manusia hanya sedikit yang berada di jalan dharma. Dan di antara mereka yang berada di jalan dharma sangat sedikit yang berpikir moksha sebagai tujuan hidupnya. Dan di antara 1.000 orang yang mengharapkan moksha hanya 1 orang yang akan mencapai kaki Tuhan. Oleh karena itu Parikesit bertanya kepada Resi Shuka mengapa Writra yang asura dan memerangi dewa dapat mencapai Narayana. Resi Shuka tersenyum dan kemudian mencaritakan latar belakang kehidupan Writra.

Adalah seorang raja dari negeri Surasena bernama Chitraketu. Chitraketu mempunyai segalanya, istri-istri cantik, istana megah dan negeri sejahtera, hanya satu yang tidak dipunyainya, yaitu seorang putra. Pada suatu hari Resi Angirasa putra Brahma datang berkunjung mengajarkan brahmawidya kepadanya. Dan, setelah mendengar masalah sang raja, dia membantu sang raja dengan memberikan ramuan ilahi buatan Twasta, ayah dari Wiswarupa. Ramuan tersebut diberikan kepada istri tertuanya dan dalam beberapa bulan kemudian, sang istri hamil. Sang Raja dan istrinya sangat berbahagia dengan kelahiran putranya. Istri-istri raja yang lain menjadi iri dan pada saat ibunya lengah mereka meracuni sang putra sehingga sang putra meninggal dunia. Raja Chitrakethu dan istrinya menjadi sedih sekali sehingga hidup mereka berantakan karena kesedihan akibat matinya sang putra. Negeri tersebut menjadi suram, karena rakyatnya bingung dengan raja yang sedang menderita kesedihan yang sangat dalam.

Resi Angirasa berkunjung lagi dengan mengajak Resi Narada, tetapi raja Chitraketu tidak mengenali mereka lagi karena kesedihannya. Resi Angirasa memberi nasihat, “Wahai Raja, tidak seharusnya raja bersedih. Raja merasa mempunyai hubungan dengan sang putra, akan tetapi apakah sang putra juga merupakan putranya di kehidupan sebelumnya dan sebelumnya lagi? Apakah sang putra juga putranya di kehidupan yang akan datang dan yang akan datang lagi? Dalam perjalanan waktu Raja telah bersama sang putra, kemudian perpisahan telah datang. Kita semua hidup di dunia dalam waktu sementara dan kemudian kita meninggal. Jadi mengapa bersedih? Tuhan mencipta, memelihara dan kemudian mendaur-ulang, ini adalah hukum alam. Ikatan antara badan dengan atman adalah karena ketidaktahuan tentang atman. Sekali engkau melepaskan awidya, ketidaktahuan ini maka dukacitamu akan lenyap!”

Raja Chitraketu yang sedang sedih tersinggung dengan nasihat Resi Angirasa, “Engkau siapa yang berbicara dengan kata menghibur kepadaku. Orang-orang dengan jiwa bebas sepertimu mengembara di seluruh dunia untuk berbagi pengetahuan Kebenaran yang menipu orang-orang bodoh seperti diriku. Aku memang seperti orang gila karena duka cita yang kau sebut keterikatan dengan anakku. Coba bantulah aku, berilah aku kebahagiaan.” Resi Angirasa berkata, “Wahai raja aku adalah Angirasa yang pernah datang kepadamu membantu kau mendapatkan seorang putra. Dan bersamaku adalah Resi Narada salah seorang saudaraku. Kau adalah seorang panyembah Tuhan dan tidak seharusnya kau menderita. Ilmu Brahmawidya yang pernah kuberikan kepadamu belum matang dan kau masih terikat dengan keinginan memiliki seorang putra. Dan kini kau menjadi semakin menderita karena kehilangan seorang putra. Wahai Raja, perempuan, rumah, kekayaan, kemuliaan, obyek indera, istana, teman dan lain-lainnya semuanya adalah penyebab penderitaan. Pernahkah kau memperhatikan awan yang nampak seperti istana dan kemudian menjadi buyar. Apakah kau bersedih karenanya? Bukankah kau pernah bermimpi yang membahagiakan dan kemudian ada yang merusak kebahagiaanmu dalam mimpi tersebut. Dan, setelah beberapa saat kau sadar bahwa itu semua cuma mimpi. Apakah kau perlu meratapi mimpimu? Kerajaan, kekayaan, istri dan putra semuanya ini adalah obyek seperti yang kau lihat dalam mimpi. Mereka tidak ada saat kau terjaga, manakala kau terbangun dalam keadaan yang benar, keadaan Brahmi. Bangunlah dari mimpi! Tidak ada di dunia ini yang kekal yang riil, yang benar, yang sejati.”

Resi Narada berkata, “Aku akan memberimu mantra dari Upanishad. Setelah mengulanginya selama satu minggu kau akan daapat melihat Adhisesa. Kamu kemudian dapat melepaskan diri dari dualitas dan mencapai keadaan jiwa yang bebas.” Kemudian dengan kekuatan yoganya, Narada membuat mereka yang hadir dapat melihat jiwa sang putra yang telah mati tersebut. Narada berkata kepada jiwa sang putra, “Lihatlah ayah ibumu yang sedih akibat kematianmu. Kembalilah ke dalam tubuhmu dan terimalah nasibmu sebagai seorang pangeran, yang mempunyai kekayaan dan kerajaan yang akan diberikan kepadamu oleh ayahmu!”. Jiwa sang putra berkata, “Jiwa ilahi karena terlibat dalam karma, maka dia dilahirkan di dalam dunia sebagai anak manusia, atau makhluk lainnya. Seperti emas yang diperjualbelikan dan melalui beberapa orang, sang jiwa sendiri tidak terikat dengan siapa yang memilikinya. Hubungan antara emas dan pemiliknya adalah khayal, ilusi, hanya bersifat sementara. Pertimbangkan satu batang emas yang hari ini ditempatkan dalam kotak milik seorang pelit. Padahal kemarin batang emas tersebut ditempatkan dalam kotak tukang emas. Kemudian esok hari akan ditempatkan dalam kotak penyimpanan harta seorang raja. Masing-masing orang berkata bahwa emas itu berada dalam kotak miliknya. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa emas itu bukan milik kotak atau pemilik kotak. Emas berada dalam kotak-kotak tersebut hanya sementara saja. Demikian juga atman tidak mempunyai keterikatan dengan wadah yang dihuninya, dan dengan demikian tidak ada penderitaan atau kesenangan baginya. Ia tidak senang atau berduka kala dipindahkan dari wadah satu kepada wadah yang lain”. Dan, setelah berkata demikian  jiwa sang putra menghilang.

Suatu ketika saat Raja Chitraketu naik kereta pemberian Narayana lewat gunung Kailasa tempat tinggal Mahadewa, dia melihat Mahadewa yang bersinar sedang memangku istrinya dikelilingi oleh para resi dan semua pengikutnya. Raja Chitraketu berkata, “Ini merupakan suatu kejutan, Mahadewa yang dijunjung tinggi  manusia karena kebijaksanaannya sedang bercinta dengan isterinya di muka umum.” Sang Mahadewa hanya tersenyum mendengar perkataan sang raja. Tak seorang pun dari tamu dan muridnya yang berbicara. Tetapi Sati, istrinya tidak bisa menerima kekasaran tamunya dan menggerutu “Manusia ini sangat besar, menguasai brahmawidya, pengetahuan keilahian, dan sedang berpikir untuk memberikan pelajaran etika kepada orang seperti kami.” Sati melanjutkan dengan perkataan lebih keras, “Kamu menganggap semua yang hadir di sini, Resi Narada, Resi Brigu termasuk bodoh dan tidak mengetahui etika. Kukutuk kamu agar lahir sebagai Asura karena keangkuhanmu.”

Raja Chitraketu turun dari kereta dan bersimpuh di depan Sati dengan segala kerendahan hati. “Ibu Dunia, aku menerima kutukanmu. Apa yang ditetapkan para dewa, apa yang diucapkan sebagai kutukan, pada kenyataannya adalah sebagai akibat dari perbuatan diri pada masa yang  lalu. Manusia terperangkap dalam maya, dan tidak mengetahui bagaimana melepaskan diri dari jeratan kelahiran dan kematian yang tak berkesudahan. Atman menjauhi putaran ini. Paramatma menciptakan makhluk bersama mayanya. Ia yang memberi keterikatan, Ia pula yang membebaskan dari keterikatan. Ia tidak pernah terlibat. Ia tak pernah mencintai atau membenci orang. Ia tak punya saudara atau teman. Segalanya nampak mirip baginya. Rasa kebalikannya juga tak ada. Dia berada di luar dualitas. Bagaimana mungkin suatu kemarahan menemukan suatu tempat di dalam-Nya? Tidak Ibu, aku tidak marah karena Ibu mengutuk aku. Tidak juga aku minta Ibu menarik kutukan. Jika kata-kataku menyakiti hatimu aku mohon maaf.”

Setelah memberikan penghormatan, Raja Chitraketu melanjutkan perjalanan dengan senyuman di wajahnya. Semua yang hadir masih ternganga oleh kata-kata sang raja. Mahadewa membalas senyuman dan berkata pelan kepada sang dewi, “Sekarang apakah kau tidak melihat keagungan seorang bhakta Narayana? Tidak ada apa pun yang akan mempengaruhi dia. Surga, neraka, kutukan, berkat semua sama bagi bhakta Narayana. Lihatlah, keadaan menjadi sangat hening. Semua yang hadir sedang menahan napas, angin pun menahan diri untuk tidak bertiup, matahari tetap bersembunyi di balik awan, induk burung pun menunda terbang menikmati tindakan agung salah seorang makhluknya”. Mahadewa melanjutkan, “Ia akan menemukan kedamaian di mana saja. lihatlah kedamaian pada wajah Raja Chitraketu yang telah kauhukum. Dia dapat membalas kutukanmu tetapi hal tersebut tidak dia lakukan.” Kemarahan sang dewi pun berkurang. Raja Chitraketu telah mencapai keadaan jiwa yang bebas.

Karena kutukan Sati, Raja Citraketu dilahirkan kembali pada saat Twasta mengadakan upacara persembahan untuk membalas kesalahan Indra yang telah membunuh Asura Wiswarupa, putranya. Raja Chitraketu lahir sebagai Asura Writra yang memimpin para asura berperang melawan Indra yang memimpin para dewa. Sati pada akhirnya membunuh dirinya saat diabaikan Daksha, ayahnya yang melakukan upacara untuk menghina Mahadewa. Dan akhirnya Sati dilahirkan lagi sebagai Parwati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar