Parikesit
bertanya kepada Resi Shuka mengapa Writra, seorang asura bisa mencapai kaki
Narayana dengan jalan bhakti. Padahal dewa yang mempunyai genetika satwik dan
para resi yang mempunyai pikiran jernih, bhaktinya tidak sebesar Writra. Di
dunia ini banyak makhluk dan sedikit di antaranya adalah manusia. Dan di antara
seluruh manusia hanya sedikit yang berada di jalan dharma. Dan di antara mereka
yang berada di jalan dharma sangat sedikit yang berpikir moksha sebagai tujuan
hidupnya. Dan di antara 1.000 orang yang mengharapkan moksha hanya 1 orang yang
akan mencapai kaki Tuhan. Oleh karena itu Parikesit bertanya kepada Resi Shuka
mengapa Writra yang asura dan memerangi dewa dapat mencapai Narayana. Resi
Shuka tersenyum dan kemudian mencaritakan latar belakang kehidupan Writra.
Adalah seorang
raja dari negeri Surasena bernama Chitraketu. Chitraketu mempunyai segalanya,
istri-istri cantik, istana megah dan negeri sejahtera, hanya satu yang tidak
dipunyainya, yaitu seorang putra. Pada suatu hari Resi Angirasa putra Brahma
datang berkunjung mengajarkan brahmawidya kepadanya. Dan, setelah mendengar
masalah sang raja, dia membantu sang raja dengan memberikan ramuan ilahi buatan
Twasta, ayah dari Wiswarupa. Ramuan tersebut diberikan kepada istri tertuanya
dan dalam beberapa bulan kemudian, sang istri hamil. Sang Raja dan istrinya
sangat berbahagia dengan kelahiran putranya. Istri-istri raja yang lain menjadi
iri dan pada saat ibunya lengah mereka meracuni sang putra sehingga sang putra
meninggal dunia. Raja Chitrakethu dan istrinya menjadi sedih sekali sehingga
hidup mereka berantakan karena kesedihan akibat matinya sang putra. Negeri
tersebut menjadi suram, karena rakyatnya bingung dengan raja yang sedang
menderita kesedihan yang sangat dalam.
Resi Angirasa
berkunjung lagi dengan mengajak Resi Narada, tetapi raja Chitraketu tidak
mengenali mereka lagi karena kesedihannya. Resi Angirasa memberi nasihat,
“Wahai Raja, tidak seharusnya raja bersedih. Raja merasa mempunyai hubungan
dengan sang putra, akan tetapi apakah sang putra juga merupakan putranya di
kehidupan sebelumnya dan sebelumnya lagi? Apakah sang putra juga putranya di
kehidupan yang akan datang dan yang akan datang lagi? Dalam perjalanan waktu
Raja telah bersama sang putra, kemudian perpisahan telah datang. Kita semua
hidup di dunia dalam waktu sementara dan kemudian kita meninggal. Jadi mengapa
bersedih? Tuhan mencipta, memelihara dan kemudian mendaur-ulang, ini adalah
hukum alam. Ikatan antara badan dengan atman adalah karena ketidaktahuan
tentang atman. Sekali engkau melepaskan awidya, ketidaktahuan ini maka
dukacitamu akan lenyap!”
Raja
Chitraketu yang sedang sedih tersinggung dengan nasihat Resi Angirasa, “Engkau
siapa yang berbicara dengan kata menghibur kepadaku. Orang-orang dengan jiwa
bebas sepertimu mengembara di seluruh dunia untuk berbagi pengetahuan Kebenaran
yang menipu orang-orang bodoh seperti diriku. Aku memang seperti orang gila
karena duka cita yang kau sebut keterikatan dengan anakku. Coba bantulah aku,
berilah aku kebahagiaan.” Resi Angirasa berkata, “Wahai raja aku adalah
Angirasa yang pernah datang kepadamu membantu kau mendapatkan seorang putra.
Dan bersamaku adalah Resi Narada salah seorang saudaraku. Kau adalah seorang
panyembah Tuhan dan tidak seharusnya kau menderita. Ilmu Brahmawidya yang
pernah kuberikan kepadamu belum matang dan kau masih terikat dengan keinginan
memiliki seorang putra. Dan kini kau menjadi semakin menderita karena
kehilangan seorang putra. Wahai Raja, perempuan, rumah, kekayaan, kemuliaan,
obyek indera, istana, teman dan lain-lainnya semuanya adalah penyebab
penderitaan. Pernahkah kau memperhatikan awan yang nampak seperti istana dan
kemudian menjadi buyar. Apakah kau bersedih karenanya? Bukankah kau pernah
bermimpi yang membahagiakan dan kemudian ada yang merusak kebahagiaanmu dalam
mimpi tersebut. Dan, setelah beberapa saat kau sadar bahwa itu semua cuma
mimpi. Apakah kau perlu meratapi mimpimu? Kerajaan, kekayaan, istri dan putra
semuanya ini adalah obyek seperti yang kau lihat dalam mimpi. Mereka tidak ada
saat kau terjaga, manakala kau terbangun dalam keadaan yang benar, keadaan
Brahmi. Bangunlah dari mimpi! Tidak ada di dunia ini yang kekal yang riil, yang
benar, yang sejati.”
Resi Narada
berkata, “Aku akan memberimu mantra dari Upanishad. Setelah mengulanginya
selama satu minggu kau akan daapat melihat Adhisesa. Kamu kemudian dapat
melepaskan diri dari dualitas dan mencapai keadaan jiwa yang bebas.” Kemudian
dengan kekuatan yoganya, Narada membuat mereka yang hadir dapat melihat jiwa
sang putra yang telah mati tersebut. Narada berkata kepada jiwa sang putra,
“Lihatlah ayah ibumu yang sedih akibat kematianmu. Kembalilah ke dalam tubuhmu
dan terimalah nasibmu sebagai seorang pangeran, yang mempunyai kekayaan dan
kerajaan yang akan diberikan kepadamu oleh ayahmu!”. Jiwa sang putra berkata,
“Jiwa ilahi karena terlibat dalam karma, maka dia dilahirkan di dalam dunia
sebagai anak manusia, atau makhluk lainnya. Seperti emas yang diperjualbelikan
dan melalui beberapa orang, sang jiwa sendiri tidak terikat dengan siapa yang
memilikinya. Hubungan antara emas dan pemiliknya adalah khayal, ilusi, hanya
bersifat sementara. Pertimbangkan satu batang emas yang hari ini ditempatkan
dalam kotak milik seorang pelit. Padahal kemarin batang emas tersebut
ditempatkan dalam kotak tukang emas. Kemudian esok hari akan ditempatkan dalam
kotak penyimpanan harta seorang raja. Masing-masing orang berkata bahwa emas
itu berada dalam kotak miliknya. Tetapi mereka tidak menyadari bahwa emas itu
bukan milik kotak atau pemilik kotak. Emas berada dalam kotak-kotak tersebut
hanya sementara saja. Demikian juga atman tidak mempunyai keterikatan dengan
wadah yang dihuninya, dan dengan demikian tidak ada penderitaan atau kesenangan
baginya. Ia tidak senang atau berduka kala dipindahkan dari wadah satu kepada
wadah yang lain”. Dan, setelah berkata demikian
jiwa sang putra menghilang.
Suatu ketika
saat Raja Chitraketu naik kereta pemberian Narayana lewat gunung Kailasa tempat
tinggal Mahadewa, dia melihat Mahadewa yang bersinar sedang memangku istrinya
dikelilingi oleh para resi dan semua pengikutnya. Raja Chitraketu berkata, “Ini
merupakan suatu kejutan, Mahadewa yang dijunjung tinggi manusia karena kebijaksanaannya sedang
bercinta dengan isterinya di muka umum.” Sang Mahadewa hanya tersenyum
mendengar perkataan sang raja. Tak seorang pun dari tamu dan muridnya yang
berbicara. Tetapi Sati, istrinya tidak bisa menerima kekasaran tamunya dan menggerutu
“Manusia ini sangat besar, menguasai brahmawidya, pengetahuan keilahian, dan
sedang berpikir untuk memberikan pelajaran etika kepada orang seperti kami.”
Sati melanjutkan dengan perkataan lebih keras, “Kamu menganggap semua yang
hadir di sini, Resi Narada, Resi Brigu termasuk bodoh dan tidak mengetahui
etika. Kukutuk kamu agar lahir sebagai Asura karena keangkuhanmu.”
Raja
Chitraketu turun dari kereta dan bersimpuh di depan Sati dengan segala
kerendahan hati. “Ibu Dunia, aku menerima kutukanmu. Apa yang ditetapkan para
dewa, apa yang diucapkan sebagai kutukan, pada kenyataannya adalah sebagai
akibat dari perbuatan diri pada masa yang
lalu. Manusia terperangkap dalam maya, dan tidak mengetahui bagaimana
melepaskan diri dari jeratan kelahiran dan kematian yang tak berkesudahan.
Atman menjauhi putaran ini. Paramatma menciptakan makhluk bersama mayanya. Ia
yang memberi keterikatan, Ia pula yang membebaskan dari keterikatan. Ia tidak
pernah terlibat. Ia tak pernah mencintai atau membenci orang. Ia tak punya
saudara atau teman. Segalanya nampak mirip baginya. Rasa kebalikannya juga tak
ada. Dia berada di luar dualitas. Bagaimana mungkin suatu kemarahan menemukan
suatu tempat di dalam-Nya? Tidak Ibu, aku tidak marah karena Ibu mengutuk aku.
Tidak juga aku minta Ibu menarik kutukan. Jika kata-kataku menyakiti hatimu aku
mohon maaf.”
Setelah
memberikan penghormatan, Raja Chitraketu melanjutkan perjalanan dengan senyuman
di wajahnya. Semua yang hadir masih ternganga oleh kata-kata sang raja.
Mahadewa membalas senyuman dan berkata pelan kepada sang dewi, “Sekarang apakah
kau tidak melihat keagungan seorang bhakta Narayana? Tidak ada apa pun yang
akan mempengaruhi dia. Surga, neraka, kutukan, berkat semua sama bagi bhakta
Narayana. Lihatlah, keadaan menjadi sangat hening. Semua yang hadir sedang
menahan napas, angin pun menahan diri untuk tidak bertiup, matahari tetap
bersembunyi di balik awan, induk burung pun menunda terbang menikmati tindakan
agung salah seorang makhluknya”. Mahadewa melanjutkan, “Ia akan menemukan
kedamaian di mana saja. lihatlah kedamaian pada wajah Raja Chitraketu yang
telah kauhukum. Dia dapat membalas kutukanmu tetapi hal tersebut tidak dia
lakukan.” Kemarahan sang dewi pun berkurang. Raja Chitraketu telah mencapai
keadaan jiwa yang bebas.
Karena kutukan
Sati, Raja Citraketu dilahirkan kembali pada saat Twasta mengadakan upacara
persembahan untuk membalas kesalahan Indra yang telah membunuh Asura Wiswarupa,
putranya. Raja Chitraketu lahir sebagai Asura Writra yang memimpin para asura
berperang melawan Indra yang memimpin para dewa. Sati pada akhirnya membunuh
dirinya saat diabaikan Daksha, ayahnya yang melakukan upacara untuk menghina
Mahadewa. Dan akhirnya Sati dilahirkan lagi sebagai Parwati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar