Prithu adalah
salah seorang raja dunia yang berhasil mengadakan upacara seratus aswamedha
menyamai upacara yang dilakukan oleh Dewa Indra. Dalam upacara seratus
aswamedha Prithu tersebut Indra mencoba menggagalkan upacara dengan mencuri
sebuah kuda dengan berpura-pura menjadi sebagai seorang sadhu. Peristiwa ini
dianggap sebagai mulainya tindakan munafik di dunia, yaitu seseorang yang
berniat jahat yang berpura-pura berpenampilan sebagai orang baik. Tindakan
Indra ini digagalkan oleh Resi Atri yang menyuruh putra Prithu untuk mengejar
pencuri kuda dan diminta tidak perlu ragu melihat wujud pencuri sebagai seorang
sadhu. Putra Prithu berhasil mengembalikan kuda ke seratus dari aswamedha ini
sehingga dikenal sebagai Wijitashwa.
Setelah ribuan
tahun memerintah sebagai raja, Prithu merasa usianya sudah tua dan sudah merasa
waktunya untuk meninggalkan tubuh fisiknya. Prithu mengangkat Wijitashwa
sebagai pengganti, kemudian dia melakukan yoga pelepasan dirinya yang diikuti
oleh Archis, istri setianya. Putra Wijitashwa bernama Hawirdhana tidak ingin
menjadi raja, maka sebagai raja pengganti Wijitashwa ditunjuk Barhishat, putra
sulung dari Hawirdhana. Raja Barhishat terkenal dengan sebutan Prachinabarhis,
prachina berarti arah ke timur dan barhis berarti rumput Kusa untuk
persembahan. Raja Prachinabarhis terobsesi oleh upacara ritual yajna. Begitu
selesai suatu upacara dia melanjutkan lagi dengan upacara ritual berikutnya.
Demikian ritual demi ritual dilakukannya sepanjang waktu. Resi Narada paham
bahwa niat dari raja Prachinabarhis adalah baik, maka sang dewaresi mendatangi
sang raja dan bertanya mengapa dia mempunyai obsesi untuk melakukan ritual
tanpa henti. Sang raja menjawab bahwa kebanyakan manusia terperangkap dalam
jaring perasaan sehingga terikat dengan istri, anak-anak, rumah, kekayaan dan
kerajaan. Kebanyakan manusia tidak mengetahui bagaimana mencapai dunia yang
lain, oleh karena itu sang raja melakukan ritual terus-menerus agar tidak
sempat berpikir terhadap jaring perasaan tersebut.
Kedatangan
Narada membuat sang raja sadar bahwa mungkin sekali tindakannya tersebut tidak
tepat maka segera dia memohon sang dewaresi untuk memberi petunjuk. Resi Narada
berkata, “Wahai raja, engkau mempunyai niat untuk melepaskan diri dari
keterikatan, dan niat itu benar. Engkau berupaya melepaskan diri dari
keterikatan terhadap istri, anak, kekayaan dan kekuasaan. Akan tetapi engkau
justru terikat dengan upacara ritual, sebuah keterikatan yang lain.” Dengan
kekuatan yoganya, kemudian Resi Narada menunjukkan ribuan sapi yang telah
dibunuh untuk keperluan ritual. “Wahai raja, ribuan sapi sedang menantikan
kematianmu untuk membalas dendam kepadamu.” Sang raja kaget dan menjadi sadar
bahwa dia telah berbuat kesalahan. Kemudian Resi Narada menyampaikan kisah Raja
Puranjana kepada sang raja.
Pada suatu
waktu, ada seorang raja terkenal bernama Puranjana. Dia mempunyai sahabat
bernama Awijnata, ‘yang tak diketahui’. Mereka selalu tak terpisahkan, sampai
suatu kali Puranjana berkeinginan untuk mencari tempat tinggal yang sesuai
dengan seleranya. Akhirnya Puranjana menemukan sebuah kota bernama Bhogawati,
‘kota kesenangan’. Kota tersebut mempunyai sembilan gerbang untuk memenuhi
kebutuhan penduduk kota. Kota tersebut juga dijaga oleh lima pasang penjaga dan
seekor ular raksasa berkepala lima. Kota tersebut dihuni seorang putri yang
amat menawan bernama Puranjani. Tak sabar Puranjana bertanya tentang asal-usul
sang putri yang dijawab bahwa dia tidak tahu orang tuanya siapa. Dia hanya tahu
bahwa dia telah berada di kota tersebut. Mereka yang berada di sekeliling
dirinya adalah sahabat-sahabatnya, mereka menjaga dirinya di kala dia sedang
tidur. Sang putri mengucapkan selamat datang ke kotanya dan berkata bahwa
tamunya akan mendapat banyak harta dan kenikmatan di dalam kota. Akhirnya sang
raja tinggal di kota tersebut dan putri tersebut diambilnya sebagai isteri.
Puranjana lupa akan waktu dan larut dalam keasyikan hidup di kota Bhogawati
bersama isterinya.
Puranjana
mempunyai kesukaan untuk berburu, sampai suatu kali isterinya berkata, mengapa
sang raja hanya mencari kesenangan diri dan melupakan dia. Sang raja patuh
terhadap isterinya dan kemudian mereka selalu berdua siang dan malam. Mereka
lupa waktu sehingga dikaruniai seratus sepuluh putri dan seribu seratus putra.
Putri dan putra mereka, semuanya kawin dan menurunkan keturunan. Sang raja
terlibat dalam upacara ritual pengorbanan hewan tak berdosa saat kelahiran dan
saat perkawinan putra-putrinya. Raja Puranjana asyik dengan kenikmatan dunia
yang didapatkan di kota Bhogawati dan lalai bahwa ada pemimpin perampok bernama
Chandawega yang selalu menunggu kesempatan menghancurkan kotanya. Chandawega
mempunyai tiga ratus enam puluh pasang pengawal yang kuat yang terdiri dari 360
pria berkulit putih dan 360 pasangannya yang berkulit hitam. Keamanan kotanya memang
dijaga ular perkasa berkepala lima, tetapi dengan berjalannya sang waktu, sang
ular penjaga pun semakin tua dan lemah. Puranjana sadar, pada suatu hari akan
tiba saatnya kotanya jatuh dan dikuasai Chandawega. Sang raja bingung, karena
tidak pernah berpikir bahwa suatu saat kotanya akan hancur juga. Dia mulai muak
terhadap kenikmatan duniawi dalam kotanya. Isteri dan anak keturunannya pun
tidak peduli tentang ancaman nyata yang akan tiba. Rasa jenuh menghantui
dirinya.
Ada juga musuh
dari Kota Bhogawati, yaitu Sang Kala, waktu yang mempunyai putri bernama Jara,
Usia Tua. Jara ingin mempunyai suami, akan tetapi tak ada seorang pun yang
berminat dengannya. Jara kemudian jatuh cinta pada Narada dan ditolak sehingga
mengutuk bahwa Narada akan selalu mengembara tanpa sesuatu tempat yang disebut
miliknya. Akhirnya Jara mendatangi Kematian yang menasihatinya bahwa tidak ada
seorang pun yang mencintainya, dan jalan satu-satunya adalah Jara perlu
mengendap-endap mendatangi semua orang. Kematian berkata bahwa dia punya
saudara bernama Prajwara, Kecemasan. Dan Jara diminta kawin dengan Prajwara dan
mendatangi semua manusia dengan sembunyi-sembunyi. Bila Jara dan Prajwara sudah
menguasai seseorang, maka kematian akan mendatangi orang tersebut.
Raja Puranjana
sadar, ada dua musuh utamanya, Chandawega yang menghancurkan kotanya dari luar
dan Jara beserta Prajwara yang langsung menyelinap ke dalam kamarnya. Dirinya
diliputi kecemasan yang nyata. Ada ketidakrelaan dalam dirinya untuk
meninggalkan kota penuh kenikmatan. Pada saat dirinya disergap dan takluk
kepada Jara dan Prajwara, dia melihat kotanya dihancurkan oleh Chandawega.
Kesedihan menyelimutinya kala dirinya dibawa Kematian keluar dari kota dan
melihat Prajwara membakar kotanya.
Karena Raja
Puranjana tetap ingat akan istri dan kotanya, maka dia dilahirkan lagi sebagai
putri raja Widharba dan dinamakan Widharbi. Widharbi kawin dengan Pandya,
seorang raja yang bijaksana dan mempunyai satu putri dan tujuh putra. Suaminya
adalah seorang pemuja Narayana dan kesadarannya meningkat. Kala suaminya
meninggal dan dirinya sedang menyiapkan ritual pembakaran dirinya, seorang
brahmana datang dan berkata, “Kamu ingat saya?” Puranjana yang sudah lahir
sebagai Widharbi mulai ingat siapa brahmana yang menyapa dirinya. Brahmana
tersebut berkata, “Saya adalah sahabatmu yang paling dekat, Awijnata. Pada
waktu itu kau tertarik masuk Kota Bhogawati, kamu melupakan alam ketuhanan.
Beruntung, kamu lahir lagi, mempunyai suami yang taat kepada Tuhan yang dapat
mempengaruhi dirimu sehingga kesadaranmu meningkat dan bisa bertemu kembali
denganku. Sejatinya kau bukan Puranjana, bukan pula Widharbi, kau adalah
proyeksi dari-Ku. Pikiranmu membuat kau semakin menjauh dari-Ku”. Raja
Prachinabarhis larut dalam kisah Narada dan Narada melanjutkan.
Puranjana
adalah pembuat “pura”, pembuat kota, pembuat raga yang disebut Jiwa. Jiwa telah
melupakan sahabat sejatinya Awijnata. Awijnata tidak lain dari adalah Tuhan,
disebut demikian karena ia tidak sepenuhnya dipahami Jiwa. Bhogawati, kota
tempat kesenangan adalah raga manusia . Puranjani yang dijadikan istrinya
adalah pikiran manusia. Kota atau raga tersebut memiliki dua tangan, dua kaki
dan sembilan lubang. Lima pasang sahabat yang menghuni kota adalah panca indera
dan fungsi dari panca indera tersebut, mata dan indera penglihat, kulit dan
indera peraba, telinga dan indera pendengar, hidung dan indera pembau serta
lidah dengan indera perasa. Sang jiwa merasa dapat menikmati lewat
indera-inderanya. Sembilan gerbang kota adalah dua mata, dua lubang hidung, dua
lubang mata, dua alat ekskresi dan satu lubang mulut. Lewat lubang-lubang ini
sang jiwa memuaskan diri. Ruangan dalam tempat bercengkerama dengan sang istri
adalah hati. Sang jiwa meskipun merasa bebas dan tak terganggu, merasa dapat
bertindak, akan tetapi sang jiwa selain menikmati juga mengalami penderitaan.
Sang Ular pengawal kota berkepala lima adalah 5 “Prana” yang mengawal kehidupan
manusia. Ketika Jiwa bersatu dengan pikiran dan melupakan Tuhan, maka ia ingin
menikmati benda-benda, ia berpikir tubuh manusia dikaruniai dengan dua tangan,
dua kaki dan sembilan lubang untuk menjadi yang terbaik di antara semua. Chandawega
adalah lama waktu satu tahun. Ke 360 pengawal pria berkulit putih dan 360
wanita berkulit hitam adalah siang hari dan malam hari. Walau sang jiwa sudah
dibawa Kematian dari raga yang telah hancur, dia masih teringat akan kenikmatan
ragawi, sehingga dia dilahirkan kembali. Beruntunglah sang jiwa setelah lahir
kembali menjadi putri raja Widharba, dia mendapatkan suami yang baik, sehingga
kesadaran datang dan akhirnya dapat bertemu kembali dengan sang Awijnata, yang
sebetulnya selalu bersamanya, tetapi terabaikan karena keasyikan bermain dengan
panca indera dan sang raga. Keterikatan pada dunia membuat Puranjana, Jiwa
melupakan Awijnata, Tuhan sehingga mengalami kesenangan dan penderitaan silih
berganti dan bahkan membuat Puranjana lahir kembali.
Resi Narada
menguraikan ilmu Brahmawidya kepada raja Prachinabarhis bahwa satu-satunya cara
yang telah membantu manusia untuk belajar tentang Kebenaran adalah bhakti
kepada Narayana. Narayana adalah segalanya, Ia adalah tempat perlindungan dari
semua penderitaan. Bhakti kepada Narayana membuat pikiran terlepas dari obyek
duniawi sehingga dapat menyadari jati diri. Atman, jiwa sejatinya tidak berbeda dengan Paramatman,
Jiwa Yang Agung.
Resi Narada
bercerita tentang Brahmana Awijnata yang berkata kepada Widharbi, “Aku adalah Awijnata,
sahabatmu yang paling dekat. Pada waktu kau tertarik masuk Kota Bhogawati, kamu
melupakanku, melupakan alam ketuhanan. Beruntung, kamu lahir lagi, mempunyai
suami yang taat kepada Tuhan yang dapat mempengaruhi dirimu sehingga
kesadaranmu meningkat dan bisa bertemu kembali dengan-Ku. Sejatinya kau bukan
Puranjana, bukan pula Widharbi, kau adalah proyeksi dari-Ku. Pikiranmu membuat
kau semakin menjauh dari-Ku”.
Resi Narada
melanjutkan, “Dengarkan cerita tentang Tuhan dan berpikir tentang Dia siang dan
malam, keduanya pasti melenyapkan kesengsaraan
yang disebut siklus kelahiran dan kematian. Widharbi yang kawin dengan
raja Pandya mempunyai satu putri dan tujuh putra. Putri itu adalah Asa, harapan
untuk mendengarkan kisah Tuhan. Ketujuh putra adalah Srawana, Kirtana, Smarana,
Padasewana, Archana, Wandana, dan Dasya. Berkumpul dengan seorang pemuja
Narayana (Asa) akan membuat kamu akan mengambil tujuh jalan memuja Dia (7
saudara Asa).”
Dimulai dengan
Shrawana (mendengarkan cerita tentang Tuhan), Kirtana (mengucapkan syair
berulang-ulang), Smarana (mengingat-Nya berulang-ulang dalam pikiran), Padasewana
(berserah diri pada kaki-Nya), Archana (memuja-Nya sebagai persembahan), Wandana
(hormat kepada-Nya) dan Dasya (melayani-Nya). Apabila orang melakukan hal
tersebut maka pikirannya akan terarahkan kepada Tuhan. Dan, Atman, Jiwa akan
menyadari Paramatman, Tuhan. Sehingga Puranjana menjadi satu dengan Awijnata.
Srawana,
mendengarkan cerita tentang Tuhan berarti mendengar dengan penuh perhatian
terhadap kisah-kisah Ketuhanan. Dengan Srawana pikiran akan terfokus pada
Tuhan. Srimad Bhagawatam menyatakan, “Telinga yang belum mendengarkan nama dan
kemuliaan Tuhan lebih buruk dari anjing, babi, unta atau keledai”.
Kirtana,
mengucapkan syair berulang-ulang berarti menyanyikan merdu dan mengagungkan
lagu-lagu Ketuhanan. Nyanyian penuh rasa terus menerus ini akan mengisi pikiran
dengan Tuhan. Srimad Bhagawatam
menyatakan, bahwa “lidah yang tidak menyanyikan Lila (permainan) Tuhan
adalah sebagai seperti lidah katak bernyanyi”.
Smarana,
mengingat-Nya berulang-ulang dalam pikiran berarti melakukan pengucapan nama-nama
suci Tuhan yang menyenangkan dan lila Tuhan tanpa penyimpangan dalam
pikiran-Nya. Pikiran benar-benar ditarik dari objek duniawi, dan pikiran selain
Tuhan itu diusir keluar dari pikiran. Bhagawad Gita menyatakan, “Wahai Partha,
dia yang terus-menerus mengingat Aku”.
Padasewana,
berserah diri pada kaki-Nya berarti melayani dan menyembah kaki Tuhan. Tentang
kaki Tuhan, Chhandogya Upanishad mengatakan, “semua makhluk adalah kakinya.
Jadi melayani semua makhluk dapat dianggap sebagai melayani dari kaki Tuhan”.
Archana,
memuja-Nya sebagai persembahan berarti melakukan persembahan bagi Tuhan. Ibadah
ini juga dapat dilakukan dengan memusatkan pikiran pada setiap wujud Tuhan.
Dalam Bhagawad Gita dinyatakan, “Barangsiapa mempersembahkan Tuhan dengan penuh
pengabdian yang tulus ikhlas, daun, bunga, buah atau air, Dia akan menerima itu
semua”.
Wandana,
hormat kepada-Nya berarti penghormatan pada Tuhan dan kepada setiap wujud
Tuhan. Dikatakan dalam Srimad Bhagawatam bahwa “ruang, udara, api, air, bumi,
bintang, pohon, sungai, lautan dan semua makhluk merupakan wujud Tuhan, maka
seorang pemuja akan bersujud menerima mereka sebagai Tuhan”. Dengan mengetahui
bahwa Tuhan bersemayam dalam segala sesuatu, seseorang harus menunjukkan hormat
dengan penuh keyakinan, kasih dan pengabdian.
Dasya,
melayani-Nya berarti penyerahan diri sebagai hamba-Nya. Seseorang yang menerima
dirinya sebagai hamba Tuhan akan melayani-Nya dan mematuhi petunjuk-Nya. Dalam
semua tindakan ia merasa bahwa ia melayani Tuhan dan melaksanakan perintah-Nya
dengan keyakinan penuh serta pengabdian dalam dirinya. Dia juga melayani semua
makhluk sebagai wujud dari Tuhan. Bila tujuh cara sudah dilakukan manusia akan
sampai pada Sakhya, suka dan tidak suka sesuai kehendak-Nya dan Niwedana,
menganggap dirinya sebagai persembahan.
Raja
Prachinabarhis berkata, “Wahai Resi Narada, mohon dijelaskan perihal jiwa yang
tidak menyadari ancaman yang sedang menyergapnya, karena kelengahannya dalam
menikmati dunia.” Resi Narada tersenyum dan merasa berbahagia, “Baik, akan
kuambil contoh yang berbeda. Ada seekor rusa beserta pasangannya asyik merumput
di taman rumput luas nan subur. Kembang yang berbau harum di padang tersebut
membuat dia merasa sangat bahagia. Ia berpikir tak ada suatu hal yang akan
merusak kebahagiaannya. Tetapi sang rusa tak sadar akan bahaya adanya serigala
yang berada tak jauh di depannya yang siap menerkamnya sewaktu-waktu. Sang rusa
juga tak pernah sadar bahwa di belakangnya juga ada seorang pemburu yang sudah
membidikkan anak panahnya kepada dirinya. Kesenangan dunia adalah seperti wangi
kembang dalam taman tersebut. Pria dan wanita
menjelajah dalam taman tersebut mencari kesenangan. Sementara sang kala,
waktu dalam wujud serigala siap menerkamnya dari depan. Sedangkan di belakang
dia ada berbagai penyakit dalam wujud
anak panah dari si pemburu yang sudah dibidikkan ke arahnya. Aku menceritakan
kisah Raja Puranjana, agar kamu menyadari bahwa berbuat baik saja belum
mengarahkan kamu kepada Kebenaran mutlak. Kamu tidak perlu mengejar perbuatan
baik saja. Kamu perlu mengejar Tuhan, dan kenyamanan dunia akan diberikan
kepadamu sebagai hasil hukum sebab-akibat dari tindakanmu. Berkumpul dengan
para sadhu akan membuat kamu mempunyai rasa cinta terhadap kisah Ketuhanan.
Manakala kamu menempuh tujuh jalan kamu akan mencapai langkah terakhir yaitu
penyerahan diri.
Raja
Prachinabarhis langsung bersujud mencium kaki Resi Narada dan membasahi kaki
sang resi dengan air matanya, “Terima kasih wahai resi Narada, kisah tersebut
telah membuka hati nurani hamba.” Narada
berkata, “Wahai Raja, kisah ini adalah Brahmawidya, pengetahuan tentang
ketuhanan.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar