Raja Bahuka
dari dinasti Surya meninggal dan salah seorang istrinya akan masuk tempat
pembakaran mayat. Sang istri dihentikan para resi karena mereka mengetahui
bahwa ia sedang hamil. Isteri yang lain kemudian menjadi iri karena hanya dia
yang hamil. Berarti hanya istri tersebut yang akan menurunkan seorang putra
mahkota. Para istri Bahuka lainnya mencampur racun dalam makanan istri Bahuka
yang sedang hamil tersebut. Harapan mereka gagal, sang anak tetap lahir dan
menjadi putra mahkota. Dia dinamakan Sagara, dia yang beracun.
Sagara
akhirnya menjadi maharaja dan melakukan ritual Aswamedha, ritual menggunakan
kuda diikuti pasukan lengkap. Para raja yang tidak berani mengganggu kuda
tersebut berarti menyatakan tunduk kepada maharaja. Mereka yang berani
mengganggu akan langsung diperangi pasukan raja tersebut. Alkisah kuda yang
dipakai sebagai ritual tersebut dicuri Dewa Indra dan diletakkan dalam gua
tempat Resi Kapila bertapa. Para putra Sagara yang berjumlah 60.000 orang
mencari jejak kuda dan akhirnya sampai ke gua Resi Kapila. Para putra raja
merasa sangat marah karena ada orang yang berani mencuri kuda ritual Aswamedha.
Mereka tersinggung, karena orang yang mencuri kuda tersebut berarti menantang
maharaja. Mereka menemukan kuda yang dicari berada di belakang Resi Kapila yang
sedang bertapa. Mereka berkata, “Lihat pencuri kuda ini, berpura-pura bertapa
setelah mencuri kuda, mari kita bunuh dia beramai-ramai!” Dalam keadaan marah
karena ada yang mengganggu acara Aswamedha, mereka tidak dapat melihat seorang
Resi Suci yang mungkin tidak tahu permasalahannya. Resi Kapila yang terganggu
tapanya, membuka mata dan sorotan mata sang resi membuat 60.000 putra Sagara
menjadi debu. Bhagawan Abyasa, sang penulis menyampaikan bahwa kemarahan yang
tak dapat dikendalikan akan membunuh diri sendiri.
Dari salah
satu istrinya, Sagara mempunyai putra yaitu Asamanja ayahanda dari Amsuman.
Setelah Asamanja meninggal dunia, Amsuman menjadi andalan kakeknya, Raja
Sagara. Amsuman kemudian mencari informasi tentang nasib ke 60.000 pamannya.
Akhirnya Ansuman bertemu Resi Kapila beserta kuda dan tumpukan debu yang
menggunung di dekatnya. Ansuman merasakan kedamaian di depan sang resi dan
segala kekacauan pikirannya tiba-tiba lenyap. Ansuman kemudian sadar bahwa Resi
di depannya adalah Resi Kapila yang sangat bijak yang telah terkenal di seluruh
dunia. “Guru Resi, kami hanya dapat melihat hal-hal yang bersifat duniawi,
obyek-obyek indera. Guru Resi adalah Gusti yang mewujud untuk membimbing
manusia. Tolonglah kami untuk menemukan paman-paman kami!” Amsuman menangis dan
jatuh di kaki Resi Kapila. Resi Kapila berkata pelan, “Wahai anak muda,
ambillah kuda kakekmu. Indra telah meninggalkan kuda tersebut ketika aku larut
dalam meditasi yoganidra. Para pamanmu
mati karena terbakar oleh keangkuhan. Satu-satunya sarana yang dapat mensucikan
mereka kembali adalah air sungai Gangga.”
Mendengar
laporan Amsuman tentang ke 60.000 putranya, Raja Sagara merasa tak bahagia dan
tak lama kemudian menobatkan Amsuman sebagai raja dan pergi bertapa. Raja
Sagara tidak pernah mengira bahwa upacara Aswamedha yang direncanakannya
membuat ke-60.000 arwah putranya menderita. Amsuman, kakek Bhagiratha berusaha
mendatangkan Dewi Gangga ke bumi demi keselamatan para pitra, leluhurnya,
tetapi sampai maut datang menjemput, keinginannya belum tercapai. Dilipa, putra
Amsuman, ayahanda Bhagirata juga tidak berhasil membawa Dewi Gangga ke bumi
sampai akhir hayatnya. Bhagiratha, cucu Ansuman meninggalkan kerajaannya kepada
para menterinya dan bertekad untuk membawa Dewi Gangga ke bumi untuk
menyelamatkan para leluhurnya.
Pada suatu
ketika, Bhagiratha mendapat penglihatan tentang Dewi Gangga, “Dewi engkau lahir
di kaki Narayana. Ketika Wamana menapakkan kaki tiga langkah sewaktu peristiwa
dengan Raja Bali, kakinya dibersihkan tujuh resi dan Brahma menggunakan diri-Mu. Berkahi kami dan
rumah kami dengan diri-Mu.” Kemudian seakan-akan Bhagiratha mendapat jawaban
dari sang dewi, “Diriku menghormati upaya leluhurmu dalam beberapa generasi
untuk membawaku ke bumi. Akan tetapi kamu tidak mengetahui dampak yang terjadi
kala diriku turun ke bumi. Siapa yang kuat menahan kecepatanku? Kemudian,
mengapa pula aku harus turun ke bumi? Orang yang berdosa kala mandi di airku
akan bersih, dan dosa mereka tertinggal dalam diriku. Bagaimana aku dibersihkan dari kotoran
mereka?” Bhagiratha menjawab, “Duhai Dewi, para resi suci, para penglihat
agung, mereka telah melampaui perbudakan karma. Mereka tidak punya pikiran selain
Tuhan. Manakala mereka berendam di airmu mereka akan membersihkanmu. Masalah
kekuatanmu ketika turun ke bumi, kami akan minta bantuan Mahadewa.”
Dewi Gangga
jujur, air bersifat mensucikan, tetapi setelah banyak orang kotor yang mandi
bagaimana cara dia membersihkan dirinya. Dirinya hanya memberikan vibrasi
sesuai apa yang ada dalam dirinya. Kesucian para suci itulah yang mengembalikan
kesucian air. Oleh karena itu manusia perlu waspada dalam melakukan ziarah atau
tirtayatra. Banyak orang yang setelah ziarah di tempat tertentu malah menjadi
pedagang, karena aura dagang meliputi tempat ziarah atau tirtayatra tersebut.
Para sucilah yang memberikan vibrasi kesucian, berada dekat para suci
meningkatkan kesucian diri.
Bhagiratha
melakukan tapa untuk memperoleh bantuan Shiwa, Sang Mahadewa. Dan Mahadewa
bersedia membantunya. Dewi Gangga dengan sedikit kesombongan turun ke bumi dan
airnya hilang ditahan rambut Sang Mahadewa. Gangga tidak bisa lepas dari rambut
Sang Mahadewa. Setelah itu Gangga diturunkan dengan menetes agar tidak angkuh
lagi. Gangga kemudian membagi dalam tujuh aliran dan salah satu aliran
mengikuti kereta Bhagirata yang diarahkan menuju gua tempat para leluhurnya
yang telah menjadi debu. Dan, akhirnya tumpukan debu leluhurnya tersebut
termurnikan.
Perjuangan
membawa sungai Gangga ke bumi memerlukan waktu yang panjang, hingga beberapa
generasi. Demikian juga perjuangan untuk memperoleh kesadaran bukan merupakan
pekerjaan sambilan yang mudah dilakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar