ARTHA, SIDDHARTHA & PARAMARTHA
Oleh: Sugi Lanus
Kata artha diserap ke dalam
bahasa Indonesia menjadi harta atau arta yang berarti kekayaan (uang di
dalamnya). Dikenal luas istilah arta benda yang bermakna berbagai benda
kepemilikan. Berkembang pula ungkapan gila harta: mabuk kepayang lupa
laut-daratan diperbudak nafsu menimbun kekayaan (duit); dan istilah gila harta
sepadang dengan mata duitan, atau dalam ungkapan zaman sekarang kerap disebut
matre! Apa sesungguhnya makna kata artha?
ARTHA dalam literatur SANSEKERTA
Dalam literatur Sansekerta, kata
artha mengandung makna yang netral. Artha berarti tujuan. Simak saja gelar
beliau yang tercerahi meraih kesempurnaan pikiran dalam samadi, beliau yang
telah mencapai ke-buddha-an bergelar SIDDHARTHA (siddha+artha). Beliau yang
terjapai dan terpenuhi (siddha) tujuannya (artha). Artha dalam konteks
siddhartha adalah tujuan mulia kehidupan yaitu pencerahan bathiniah. Tujuan
perjalanan sang roh, yaitu tercerahi atau moksa.
Demikian juga artha dalam Catur
Purusartha (catur=empat; purusa=manusia, tertinggi; artha=tujuan). Penyusun
Catur Purusartha adalah dharma, artha, kama, moksa. Jika digambarkan seekor
burung; dharma dan artha berada di satu sayap, dan kama dan moksa adalah sayap
lainnya. Ada kewajiban (dharma) dan tujuan (artha), ada getar energi (kama) dan
keheningan tertinggi (moksa). Empat variable kehidupan itulah yang menjadi
pilar-pilar penyusun dan sekaligus saran pembebasan manusia.
Śrīmad Bhāgavatam, 5.6.17, menyebutkan:
parama-puruṣa-artham — bermakna the best of all human achievements.
Parama=tertinggi, purusa=manusia, artham=pencapaian. Sebait kutipan itu
berbunyi seperti ini: yasyām eva kavaya ātmānam avirataḿ vividha-vṛjina-saḿsāra-paritāpopatapyamānam
anusavanaḿ snāpayantas tayaivaparayā nirvṛtyā hy apavargam ātyantikaḿ
parama-puruṣārtham api svayam āsāditaḿ no evādriyante
bhagavadīyatvenaivaparisamāpta-sarvārthāḥ
[Pelayan Tuhan selalu menyucikan
diri dalam pelayanan kebaktian agar terbebas dari berbagai kesengsaraan
eksistensi material. Dengan jalan ini, pelayan Tuhan menikmati kebahagiaan
tertinggi (parama-puruṣārtham), dan pembebasan dipersonifikasikan(bahkan)
datang untuk melayani mereka. Meskipun demikian, mereka tidak menerima layanan
tersebut, sekalipun jika ditawarkan oleh Yang Maha Tinggi. Untuk pelayan Tuhan,
pembebasan (mukti) menjadi tidak penting karena mereka telah mencapai
mencapaian transendental melalui pelayanan kasih, mereka telah mencapai semua
yang diinginkan dan telah melampaui semua keinginan material].
Dalam konteks tersebut artha
bukan benda kepemilikan, bukan uang, bukan harta gona-gini atau deposito, tapi
sebuah tujuan di jalan dharma untuk mencapai moksa. Ini pula yang menjadi
penjelas gelar Sang Buddha, Siddharta Gotama. Siddha+artha, Ga+uttama.
Siddha=terjapai-terpenuhi,artha=tujuan, ga=jalan, utama=mulia. Beliau yang
tercapai tujuannya di jalan kemuliaan.
SANG HYANG PARAMARTHA
Pemeluk Hindu (di Bali) mewarisi
berbagai gelar atau sebutan Tuhan dari khasana Sastra Jawa Kuna, baik dalam
kakawin atau kidung. Gelar Tuhan tersebut seperti: Sang Hyang Paramakawi, Sang
Hyang Paramatma, Sang Hyang Paramacintya. Oleh penyair periode Jawa Kuna, Tuhan
diberi gelar sebagai “Penyair Tertinggi”, Sang Hyang Paramakawi. Sebagai titik
renungan dan sekaligus tujuan kehidupan, Tuhan diberi gelar “Tujuan Tertinggi.”
Gelar inilah yang kini kita kenal sebagai Sang Hyang Paramartha. Serupa kata
artha dalam Purusartha dan Siddharta, kata artha dalam Paramartha dekat dengan
kebenaran, keheningan dan kesujatian.
Berikut salah satu kutipan dari
naskah klasik Jawa Kuno, lontar Nirartha Prakreta yang dipercaya dikarang oleh
Danghyang Nirartha. Beliau memuja yang tertinggi pada pembuka karyanya, sebagai
‘tujuan tertinggi’ (Bhatara Paramartha), sebagai berikut:
‘Santawya ngwah i jon Bhatara
Paramarthatyanta rih niskala’. [Mohon maaf pada beliau maha pelindung
Paramartha yang bersifat gaib]
Tuhan dalam pembuka sastra
kakawin, yang biasanya dipuja dalam manggala (bait pertama atau bait pembuka),
menjadi tujuan utama manusia, menjadi tujuan terdalam perenungan seorang kavya
(penulis kakawin). Jalinan bahasa dan untaian kisah dalam kakawin diharapkan
mengetarkan bathin pembaca, dan tentunya penulisnya sendiri. Menulis kakawin,
dan juga membacanya, adalah jalan memasuki getar keindahan sampai akhirnya
“memasuki” pintu keindahan dan memahami Dia yang memiliki keindahan tertinggi,
Sang Hyang Paramartha (Beliau tujuan tertinggi keberadaan manusia).
Bagi para kawi (penulis karya
sastra kakawin), Sang Hyang Paramartha adalah langit keindahan. Horizon kemana
kita mesti terbang mengepakkan dua sayap (dwija) terbang melintasi lautan
perulangan (samsara), untuk meraih kelahiran ruhaniah (dwijati). Dari dwija
(sayap dua) ke dwijati (kelahiran kedua) menuju Paramartha.
Kata artha yang pada awalnya
dekat dengan siddharta dan paramartha, tampaknya dalam proses penyerapan kata
tersebut ke dalam bahasa Indonesia menjadi harta atau arta, telah kita
mengkorupsi maknanya. Kita telah menghempaskannya pada urusan keduniawian. Arta
telah menikung dan identik dengan arta benda dan gila harta. Arta tidak lagi
berdampingan dengan Sang Hyang Paramartha (Tuhan).
Dalam konteks kekinian, dalam
hidup yang senantiasa ‘terhimpit waktu’, barangkali penting untuk menimbang
kembali untuk mengembalikan artha dan Paramartha berdamping-dampingan, mungkin
dengan demikian kita bisa ber-artha dalam keseimbangan batiniah.
Sumber:
http://berbudaya.com/2011/12/28/artha-siddhartha-paramartha/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar