Jumat, 30 November 2012

Kisah Wena: Kelahiran Putra Yang Dipaksakan Karena Hasrat Orang Tua


Setelah 30 ribu tahun memerintah, maka Dhruwa telah mempersiapkan sistem pemerintahan yang baik, serta sebuah institusi dari kumpulan para resi sebagai Dewan Pertimbangan Agung Kerajaan. Segala sesuatu telah dipersiapkan dengan baik dan mestinya pemerintahan selanjutnya akan berjalan dengan lancar. Akan tetapi sebuah sistem yang baik tetap memerlukan manusia yang handal untuk menjalankan sistemnya. Ternyata tidak mudah mendapatkan seorang raja yang baik yang melindungi negara dan rakyatnya serta sekaligus menjadi bhakta yang saleh. Utkala adalah putra Dhruwa yang menggantikannya sebagai raja. Utkala adalah seorang ahli filsafat dan di usia muda sudah mendapat gelar Brahmi. Namun ia tidak begitu memperhatikan kepemerintahan. Dia tidak menjaga kemuliaan dan kewibawaan sebagai seorang raja.

Para resi akhirnya memilih Watsara, adik Utkala sebagai penggantinya. Selanjutmya setelah Utkala sudah merasa tua maka dia menunjuk putranya, Anga sebagai raja penggantinya. Pada suatu hari, Anga yang belum dikaruniai seorang putra mengadakan upacara Aswamedha, persembahan kepada Narayana, akan tetapi sampai akhir upacara tidak ada dewa yang hadir. Sang Raja merasa sangat sedih dan bertanya kepada para bijak, apakah kesalahannya sehingga para dewa tidak berkenan hadir. Para resi menjawab, bahwa tidak ada sesuatu yang salah dalam upacara tersebut. Bisa jadi dikarenakan kesalahan sang raja dalam kelahiran sebelumnya. Kemudian para resi menyarankan sebaiknya raja mengadakan upacara yang lain untuk meminta putra terlebih dahulu.

Sebagai seorang raja tentu saja dia berhasrat mempunyai seorang putra yang dapat meneruskan tahtanya setelah dia memasuki usia tua. Sang raja tidak sadar bahwa waktunya belum tepat. Sang raja masih diliputi suasana kekecewaan dan kemarahan kepada para dewa yang tidak berkenan menerima persembahannya. Sang raja dan para resi mempersiapkan Upacara Yajna untuk memohon putra. Manakala upacara berakhir, keluar sebuah bentuk api yang memakai perhiasan serba keemasan dan membawa periuk emas menuju sang raja. Raja menerima “payasa”, sejenis makanan dari beras bercampur susu. Payasa tersebut kemudian diberikan kepada Sunita sang permaisuri untuk dimakannya. Setelah beberapa waktu seorang putra lahir dan dinamakan Wena. Sejak kecil Wena ternyata mempunyai sifat adharma. Ia suka sekali membunuh binatang, walaupun binatang yang tidak berbahaya dan tidak mengganggu manusia. Ia ringan tangan dan sangat kejam sehingga semua orang menghindarinya. Bila ada orang yang tidak disenanginya, maka dia tak segan untuk membunuhnya. Sang raja telah berupaya mendidiknya dan mendatangkan para resi untuk menunjukkan jalan yang benar. Akan tetapi semuanya kewalahan, karena Wena mempunyai sifat kepala batu dan selalu merasa paling benar sendiri.

Sang raja sangat sedih dan makan hati melihat kelakuan putranya. Dia berkata pada dirinya sendiri, “Adalah salahku sendiri yang mempunyai obsesi untuk memperoleh seorang putra. Akan tetapi putraku sangat mengecewakan diriku. Ternyata lebih berbahagia orang yang tidak punya putra dibandingkan dirinya yang mempunyai putra yang memalukan. Orang menganggap aku seorang raja yang tidak mampu mendidik putraku sendiri. Aku telah menerima aib dan kebencian dari semua rakyatku karena perbuatan putraku.” Perasaan tersebut sangat menggelisahkannya, sampai suatu saat datang sebuah kesadaran kepada sang raja, “Bagaimana pun jahatnya anakku, manakala aku berpikir tentang Tuhan, kurasakan bahwa Tuhan telah sangat berbaik hati kepadaku. Tuhan telah membimbingku ke arah yang benar. Kusadari bahwa selama ini aku telah begitu terikat dengan kemewahan dan kemegahan istana serta melupakan-Nya. Kesadaran seseorang yang selalu mengalir keluar seperti diriku, tidak mungkin membuatku mengenal Tuhan yang berada dalam diriku. Ternyata kesenangan pikiran dan indra manusia terhadap obyek yang di luar itu tidak pernah membahagiakan. Aku menderita kala upacara Aswamedha tidak diterima para dewa. Dan kemudian datang kebahagiaan saat aku mendapatkan seorang putra. Sekarang aku menderita karena ulah kejahatan putraku. Tuhan telah berbuat baik hati kepadaku dengan memberikan putra yang tidak baik. Karena ketidakbaikan putraku, aku menjadi tidak suka terhadap istana dan kehidupan duniawiku. Aku menjadi sadar sudah waktunya bagiku untuk meniti kembali ke dalam diri. Keterikatanku pada istana dan keluarga telah dipotong oleh pisau tajam kejahatan putraku.” Dan akhirnya, pada suatu malam sang raja Anga meninggalkan istana dan tidak pernah kembali.

Selama ini Raja Anga selalu tergantung dengan obyek di luar diri. Raja Anga belum belajar untuk mencintai diri sendiri apa adanya, dia selalu mengkaitkan dirinya dengan kekayaan, kekuasaan dan kerabatnya, dan tatkala anaknya mengecewakannya dia bahkan menjadi benci kepada dirinya sendiri. Para resi segera mengadakan pertemuan dan memutuskan bahwa raja harus segera diganti. Tanpa seorang raja, para perampok dan penjahat akan merajalela, oleh karena itu tak ada pilihan lain selain mengangkat Wena sebagai raja. Setelah Wena menjadi raja. Ia menjadi mabuk akan kekuasaan dan kekayaan. Ia menjadi semakin angkuh dan semakin jahat. Ia memerintahkan larangan terhadap semua upacara persembahan bagi Tuhan. Seluruh rakyatnya harus patuh kepada sang raja tanpa terkecuali. Mereka yang melawan diteror oleh Wena dan kaki tangannya. Para punggawa yang jahat mendapatkan kesempatan dan mereka yang baik disingkirkan. Para resi kembali berada dalam dilema, ternyata mempunyai raja yang lalim juga membuat rakyat menderita. Mereka melihat bahwa Wena sangat dipengaruhi oleh sifat hewani yang serakah, mau menang sendiri dan menggunakan kekerasan untuk mencapai apa yang diinginkannya. Rakyat sekarang menderita karena rajanya lalim dan tidak menderita karena para perampok dan penjahat. Suasana kerajaan seperti ini tidak dapat dipertahankan lebih lama lagi.

Mereka mencoba mengingatkan sang raja bahwa tugas raja adalah melindungi rakyat dan bukan mengganggunya. Akan tetapi Wena justru berkata bahwa yang melakukan adharma adalah para resi. Karena mereka taat pada dewa dan bukan pada raja, padahal raja adalah pelindung mereka. “Aku adalah wujud Narayana sendiri yang perlu kau sembah dan kau puja.” Para bijak sangat kecewa dan sadar apabila pemerintahan sang raja diteruskan, maka negara berada dalam ambang kehancuran. Para resi berdoa kepada Narayana agar Wena cepat mati dan akhirnya Wena mati.

Ada suatu hal yang dilupakan oleh para resi. Mereka tidak paham dengan penderitaan Ibu Bumi. Mereka lupa bahwa Ibu Bumi sangat kelelahan mendapatkan penghuni kejam seperti Wena. Binatang-binatang yang hidup di atasnya diburu dan dibunuh hanya untuk kesenangan. Hutan-hutan dibabat hanya untuk menyenangkan orang-orang serakah. Setiap malam Ibu Bumi mendengarkan rintihan rakyat yang menderita dalam ketakutan. Para punggawa yang jujur justru disudutkan dan dibuat tidak berkutik dan hanya bisa berdoa penuh keputusasaan. Emas di dalam bukit ditambang semena-mena dan dipakai perhiasan para punggawa yang pongah. Para pekerja hanya dibayar dengan upah yang kecil dan tidak berani protes atau nyawanya akan terancam. Ibu bumi semakin tertekan.

Kondisi semakin parah kala Wena mati, para punggawa jahat semakin merajalela. Ditambah perampok dan penjahat bergerak di seluruh pelosok negeri. Para resi sadar bahwa keputusan mereka untuk mengusulkan Raja Anga mempunyai seorang putra, keputusan mereka mengganti Raja Anga yang meninggalkan istana dengan Wena, dan keinginan mereka agar Wena mati, ternyata membawa dampak yang sangat besar. Rakyat dan alam menjadi sangat menderita. Mereka baru sadar, bahwa mereka hanya menggunakan pikiran mereka. Dan pikiran mereka tidak menjangkau situasi yang akan terjadi di masa depan. Akhirnya mereka pasrah kepada Tuhan, bagaimana baiknya menyelesaikan masalah dunia yang terlanjur rusak tersebut. Para resi seakan-akan mendapat petunjuk untuk menggunakan pengetahuan rahasia yang pada saat ini setara dengan kloning manusia. Para resi tahu bahwa Sunita ibu Wena sangat sayang kepada putranya dan tidak rela putranya dikremasi. Sunita telah memberikan obat agar jasad putranya masih utuh. Para resi sadar bahwa dalam diri Wena terdapat potensi pembawa kejahatan yang muncul karena frustrasi orang tuanya saat persembahan mereka ditolak para dewa. Disamping itu, para resi juga sadar bahwa dalam diri Wena terdapat genetik potensi kebaikan sebagai genetik turunan dari Dhruwa. Para resi kemudian datang kepada Sunita dan mohon ijin untuk membuat putra dari jasad Wena.

Dari paha Wena, para resi menghasilkan seorang bayi yang hitam dan buruk rupa yang diberi nama Nisadha yang setelah remaja akan pergi dari istana. Anak keturunan Nisadha juga akan dipanggil dengan sebutan Nisadha. Demikian, lahirlah kelompok manusia yang disebut Nisadha yang akan sering disebutkan dalam kisah-kisah Srimad Bhagawatam. Kemudian dari lengan Wena dilahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama Prithu dan seorang bayi perempuan yang diberi nama Archis. Kedua bayi tersebut adalah titisan dari Narayana dan Laksmi. Mereka akan menjadi suami istri dan dunia menjadi besar pada masa pemerintahan Raja Prithu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar