Dalam
Dinasti Bharata ada seorang pangeran bernama Rantidewa. Ia mempunyai kekayaan
yang tak terkira, tetapi ia selalu membaginya kepada orang yang membutuhkannya.
Di balik materi yang dimiliki Pangeran Rantidewa, terdapat rasa kasih yang
begitu besar. Semua harta benda yang diberikan kepadanya, dibagikan kepada
mereka yang membutuhkannnya. Pangeran Rantidewa sudah tidak mempunyai rasa
‘aku’ dan ‘milikku’. Pangeran Rantidewa sudah mengalahkan egonya, jiwanya sudah
tidak sakit. Gusti Hyang Maha Kuasa juga menganugerahkan kepadanya istri dan
anak-anak yang memahami jiwa sang pangeran.
Dikisahkan
ada suatu saat Pangeran Rantidewa pernah sudah tidak mempunyai apa pun juga.
Pada saat itu tubuh pangeran Rantidewa sangat lemah. Sudah empat puluh delapan
hari sang pangeran tanpa memiliki suatu apa pun. Bahkan tidak ada makanan yang
tersedia di depan Pangeran Rantidewa beserta isteri dan anak-anaknya. Yang
tersisa pada sang pangeran hanya rasa kepuasan diri setelah membantu mereka
yang membutuhkan bantuan.
Pada
hari keempat puluh sembilan, dikisahkan sang pangeran memperoleh makanan.
Setelah selesai berdoa dan bersiap untuk
makan, seorang brahmana datang meminta makanan. Rantidewa berkata kepada
dirinya sendiri, “Hyang Widhi ada di mana-mana dan sekarang Ia telah datang
kepadaku meminta makanan. Merupakan kebahagiaan bagi diriku untuk dapat
melayani Hyang Widhi di balik wujud sang brahmana.” Dan, sebagian makanan
diserahkan kepada tamunya. Kemudian,
isteri dan anaknya mendapatkan sebagian.
Dan,
ketika Pangeran Rantidewa mulai makan sebagian dari bagiannya, seorang sudra
datang minta makanan. Pangeran Rantidewa menyadari bahwa pada dasarnya semua
orang adalah Brahman. Manusia dan dunia ini adalah proyeksi dari Brahman.
Sejatinya yang ada hanyalah Brahman. Tidak ada yang lain kecuali Brahman. Dan
dia memberi bagian makanan miliknya kepada orang sudra tersebut.
Setelah
sebagian nasi diberikan kepada orang sudra tersebut, dan Pangeran Rantidewa belum
sempat makan sisanya, datang pengemis bersama empat anjingnya minta diberi
makanan. Rantidewa memberikan semua sisa makanan yang ia punyai dan ia senang
karena telah mengurangi rasa lapar dari tamu dan binatang piaraannya.
Manakala
Pangeran Rantidewa akan minum dari air yang tersisa padanya, seorang chandala
datang minta air. Jantung Rantidewa dikoyak rasa kasih pada chandala, “Aku
tidak menginginkan kekayaan. Aku tidak ingin minta tempat di surga. Yang aku
lakukan adalah mengambil penderitaan orang lain dan membebaskan dirinya dari
penderitaan.” Dan, air yang tersisa padanya pun diberikan pada chandala
tersebut.
Pangeran
Rantidewa ikhlas, bukan hanya harta kepemilikannnya yang dipersembahkan kepada
Hyang Maha Kuasa yang mewujud dalam berbagai bentuk. Nasi, air dan bahkan
dirinya pun dipersembahkannya. Kemudian sang pangeran menutup matanya, mengatur
napasnya dan mulai masuk dalam keheningan.
Selagi
Pangeran Rantidewa masuk dalam keheningan, tiba-tiba para tamunya berkumpul dan
mereka mewujud menjadi diri mereka yang sebenarnya, Brahma, Wisnu, Shiwa dan
para dewa lainnya. Mereka disenangkan oleh tindakan Pangeran Rantidewa.
Pangeran Rantidewa menghormati mereka dan sama sekali tidak minta anugerah apa
pun. Pangeran Rantidewa sadar dibalik wujud para dewa, kuasa Ilahi, adalah Dia
yang tak berwujud. Di balik wujud selalu ada yang tak berwujud. Yang penting
bukan menyembah tetapi melayani-Nya. Pikirannya ditujukan kepada-Nya. Ketika sedang merenungkan Hyang Maha Pengasih,
awarana yang disebut maya yang terdiri dari tiga guna meninggalkannnya.
Pangeran Rantidewa terjaga dan menyatu dengan Yang Maha Agung, Paramatma, Param
Brahman, menurut lidah para leluhur kita.
Resi
Shukabrahma berkata kepada Parikesit, “Demikianlah wahai raja, Pangeran
Rantidewa memerintah kerajaannya selama beberapa puluh tahun kemudian.
Memerintah dengan dilandasi kesadaran. Dinasti Bharata patut berbangga
mempunyai leluhur yang amat bijaksana.”
Mata
Parikesit menitik mendengar kisah yang disampaikan Resi Shukabrahma dan berkata
pelan, “Wahai Guru, sejatinya hanya karena rahmat Ilahi kami menjadi salah satu
keturunan Pangeran Rantidewa.
Ada
perbedaan yang jelas sekali antara Kasih dan Kasihan. Kasih adalah sesuatu yang
timbul tanpa alasan. Tidak ada logika, tidak ada matematika, tidak ada kalkulasi.
Kasih juga bukan filsafat. Kasih berada di atas segalanya. Dalam Rasa Kasihan,
ego kita, keangkuhan kita masih tetap ada. Kita memberikan sedekah kepada fakir
miskin. Ini bukan Kasih – kita hanya tergerak karena rasa kasihan. Sewaktu
memberikan sedekah pun keangkuhan kita tetap ada: Aku yang memberikan sedekah
itu, aku yang membantu pembangunan tempat ibadah itu, aku yang melayani mereka
yang susah. Di mana-mana Anda akan menemukan ‘aku’ atau keangkuhan, Kasih tidak
akan pernah ada. Kasih belum bisa muncul. Kasih adalah pelepasan keangkuhan.
Begitu ‘aku’ terlepaskan, Kasih pun muncul.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar